Hari Guru selalu menjadi momen yang menggerakkan ingatan kita pada para pendidik, orang-orang yang menyalakan lentera pengetahuan di ruang-ruang belajar. Namun di perguruan tinggi, figur “guru” tidak hanya bertumpu pada dosen. Ada tenaga kependidikan yang memastikan administrasi berjalan, ada pustakawan yang menata alur informasi, ada teknisi yang menjaga sistem tetap berfungsi, dan ada petugas akademik yang menjadi jembatan antara mahasiswa dan kebijakan. Semua peran ini membentuk satu ekosistem kampus yang hidup, di mana proses belajar tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga soal kerja bersama.
Di dalam kerja bersama itu, selalu ada dinamika yang tidak tampak. Terkadang, prasangka muncul diam-diam, menyusup di antara celah komunikasi yang tak selesai. Ketika ada surat yang lambat diproses, kita mudah mengira ada kelalaian. Ketika seorang dosen jarang terlihat, kita tergoda menilai komitmen. Ketika aturan baru diterapkan, kita cepat menduga ada niat mempersulit. Kita sering melengkapi kekosongan informasi dengan imajinasi kita sendiri, dan imajinasi yang belum diverifikasi bisa berubah menjadi jarak yang tak perlu. Dari jarak itulah ketidakpercayaan lahir.
Dalam sejarah peradaban Islam, saya menemukan bahwa kemajuan ilmu hanya mungkin terjadi di ruang yang bebas dari kecurigaan. Pada masa keemasan Baghdad, Spanyol, dan Mesir, tiga pusat peradaban Islam yang menjadi tempat bertemunya para ilmuwan dari berbagai madzhab, disiplin, dan tradisi, kepercayaan menjadi mata uang intelektual yang paling berharga. Para ilmuwan, ahli fikih, penerjemah, filosof, dan birokrat bekerja dalam suasana saling menghargai. Mereka berbeda pendapat, namun perbedaan itu menjadi energi dialog, bukan bahan prasangka. Di sisi lain, masa-masa kemunduran kerap ditandai oleh hilangnya kepercayaan, suburnya fitnah, dan merebaknya keraguan terhadap integritas satu sama lain. Pelajaran itu sederhana: ilmu tidak tumbuh dalam ruang yang dipenuhi prasangka.
Karena itu, kampus sebaiknya tidak dipahami semata sebagai struktur organisasi, melainkan sebagai ekosistem yang hidup. Dosen membutuhkan tenaga kependidikan agar tata kelola akademik berjalan. Tenaga kependidikan membutuhkan dosen agar proses yang dirancang memiliki arah keilmuan. Mahasiswa membutuhkan keduanya sebagai penopang pembelajaran yang utuh. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah; semua saling terkait. Jika dosen adalah penjaga ilmu, maka tendik adalah penjaga kelangsungannya. Keduanya hadir untuk tujuan yang sama: keberlangsungan pendidikan.
Hari Guru dengan demikian bukan hanya perayaan, tetapi ruang untuk memeriksa ulang cara kita saling memandang. Apakah kita masih mudah menilai sebelum tabayyun? Apakah kita memberi ruang dialog sebelum menarik kesimpulan? Apakah kita melihat manusia sebelum melihat kesalahan? Barangkali jawabannya belum sepenuhnya. Namun perubahan tidak harus dimulai dengan sesuatu yang besar. Ia bisa berawal dari sapaan kecil, pertanyaan yang tulus, klarifikasi yang santun, atau penghargaan yang diberikan tanpa diminta. Hal-hal sederhana itulah yang menjaga ekosistem kampus tetap sehat.
Pada akhirnya, dosen, tenaga kependidikan, dan seluruh civitas academica berada dalam barisan tujuan yang sama: mencerdaskan, memajukan, serta menjaga martabat pengetahuan. Kampus hanya akan menjadi ruang peradaban jika rasa hormat, komunikasi yang jernih, dan kepercayaan dipelihara dengan kesadaran bersama. Di Hari Guru ini, mari tidak hanya merayakan, tetapi juga memperkuat kemesraan kerja kolaboratif yang sudah berjalan, sekaligus membuka ruang dialog yang lebih hangat, lebih manusiawi, dan lebih saling memahami.
Di perguruan tinggi, kita bukan pihak yang berjarak, bukan kompetitor, dan bukan kelompok yang berdiri sendiri. Kita adalah satu ekosistem yang saling membutuhkan, tumbuh bersama, dan bergerak menuju visi yang sama. Kita, seluruh insan pendidikan sedang membangun masa depan ilmu, dan kita melakukannya bersama.