Peringatan Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar rutinitas seremonial untuk mengenang kegagalan pemberontakan di masa lalu. Lebih dari itu, momen ini merupakan refleksi mendalam tentang ketangguhan ideologi bangsa dalam menangkis berbagai bentuk tantangan, baik fisik maupun pemikiran. Setiap episode pemberontakan yang berusaha menggantikan dasar negara justru semakin mengukuhkan bahwa Pancasila telah terpatri dalam sanubari bangsa sebagai fondasi karakter yang kokoh. Makna sejati Pancasila terletak pada kemampuannya menjadi kompas moral sekaligus perekat kebhinekaan, dengan nilai-nilai luhur—Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan—yang semestinya menjadi DNA setiap insan Indonesia.
Memasuki abad ke-21, tantangan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) semakin kompleks, khususnya dalam ruang organisasi. Dunia digital menghadirkan arus informasi yang deras, menciptakan lingkungan kerja yang sarat disrupsi, volatilitas, dan keberagaman lintas generasi. Hoaks, polarisasi opini, serta intoleransi mudah menyusup ke dalam dinamika tim, menggerus rasa saling percaya dan kohesivitas. Tanpa fondasi karakter yang kuat, organisasi hanya akan melahirkan SDM yang terampil secara teknis, tetapi rapuh secara mental dan spiritual—rentan terhadap konflik serta kehilangan arah.
Di sinilah kesaktian Pancasila menemukan relevansinya secara praktis. Nilai-nilainya harus diterjemahkan menjadi prinsip operasional dalam pengelolaan SDM. Salah satunya melalui penguatan moderasi beragama di tempat kerja, yakni menciptakan ekosistem organisasi yang inklusif, menghargai perbedaan keyakinan, dan menegakkan etika universal semua agama seperti kejujuran, amanah, dan kasih sayang dalam perilaku sehari-hari. Hal ini dapat dipadukan dengan penerapan “kurikulum cinta” dalam program pelatihan dan pengembangan. Kurikulum ini bukan tentang romantisme, melainkan penanaman cinta kasih dalam interaksi: cinta terhadap tanah air dan organisasi (nasionalisme), cinta terhadap sesama rekan kerja (kolaborasi dan empati), serta cinta terhadap keadilan (fairness dalam sistem penghargaan dan pengambilan keputusan). Integrasi antara moderasi beragama dan kurikulum cinta inilah yang menyulam benang-benang karakter unggul.
Hasil dari proses ini adalah lahirnya SDM unggul yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berintegritas tinggi dan berkarakter Pancasila. Dalam konteks Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), implementasi tersebut perlu dilakukan secara sistematis: mulai dari rekrutmen yang menilai tidak hanya keterampilan teknis tetapi juga keselarasan nilai (value fit), program orientasi yang menanamkan filosofi Pancasila, pelatihan yang mengasah kecerdasan emosional dan spiritual, hingga sistem penilaian kinerja yang menghargai kontribusi terhadap iklim kerja kolaboratif dan inklusif. Organisasi pada akhirnya harus menjadi miniatur Indonesia—tempat gotong royong dipraktikkan, musyawarah dijunjung tinggi, dan keadilan sosial dirasakan oleh seluruh anggota tim.
Bung Karno pernah berucap, “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ungkapan ini menyiratkan betapa dahsyatnya kekuatan SDM dengan semangat dan karakter tangguh. Tantangan kita hari ini bukan lagi mencabut gunung, melainkan membangun bangsa yang mampu bersaing di era global. Karena itu, amanah tersebut harus diwujudkan dengan melahirkan bukan hanya sepuluh, melainkan jutaan pemuda—SDM unggul—yang ditempa dalam organisasi dengan nilai-nilai Pancasila, dimoderasi dalam beragama, serta dihangatkan oleh kurikulum cinta. Hanya dengan cara itu kita dapat mengguncangkan dunia dengan prestasi dan peradaban luhur yang kita bangun bersama.