Di tengah sorotan publik terhadap akuntabilitas keuangan pemerintah daerah, kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) seringkali menjadi barometer utama. Namun, realitasnya, banyak daerah masih bergulat dengan tantangan pelik untuk mencapai standar pelaporan yang optimal. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, sebagai garda terdepan pengawasan, kerap kali menemukan berbagai kelemahan, bahkan hingga memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP) pada LKPD.
Dalam riset berjudul “From Individual Competence to Organizational Capability: Empirical Evidence on Internal Control Dominance in Local Government Financial Reporting Quality” yang dilakukan oleh Indrayani dan Rismala dari IAIN Parepare, terungkap temuan signifikan mengenai faktor-faktor penentu kualitas pelaporan keuangan di entitas pemerintah daerah, khususnya di Kabupaten Sidenreng Rappang. Studi ini menyoroti bagaimana kapabilitas sumber daya manusia dan mekanisme kontrol internal berinteraksi dalam membentuk integritas dan transparansi laporan keuangan.
Jebakan Opini WDP dan TMP
Kualitas laporan keuangan pemerintah daerah di Indonesia masih menghadapi sejumlah isu fundamental. Observasi lapangan, sejalan dengan temuan BPK RI hingga tahun 2024, menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah daerah masih menerima opini WDP atau TMP. Kondisi ini bukan hanya mengindikasikan ketidakpatuhan terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), tetapi juga menyingkap kendala mendasar terkait kapasitas dan kapabilitas manajemen keuangan di tingkat regional.
Di Kabupaten Sidenreng Rappang sendiri, meskipun telah ada kemajuan dalam tata kelola keuangan, beberapa hambatan tetap nyata. Masalah utama meliputi pengelolaan aset yang suboptimal, sistem pengendalian internal yang masih lemah, dan kompetensi sumber daya manusia yang terbatas. Keterbatasan ini menghambat implementasi SAP berbasis akrual, menciptakan tantangan serius dalam upaya meningkatkan kualitas laporan keuangan daerah, serta pada akhirnya memengaruhi kredibilitas dan akuntabilitas manajemen keuangan publik di mata masyarakat dan lembaga pengawas.
Fondasi Teori Akuntabilitas Publik
Secara teoritis, riset ini berakar pada dua kerangka utama yang saling melengkapi. Pertama, Teori Kewenangan (Stewardship Theory) yang diajukan oleh Donaldson dan Davis pada tahun 1991. Teori ini menekankan bahwa pemerintah daerah, sebagai pengelola (steward), memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk mengelola sumber daya publik dengan integritas, kejujuran, dan profesionalisme demi kepentingan masyarakat (principal). Laporan keuangan berkualitas menjadi manifestasi akuntabilitas kewenangan ini. Namun, teori ini juga menggarisbawahi pentingnya mekanisme kontrol untuk memastikan niat baik pengelola diterjemahkan menjadi tindakan konkret yang sesuai regulasi dan kepentingan publik.
Kedua, Teori Berbasis Sumber Daya (Resource-Based View/RBV) dari Barney pada tahun 1991. RBV memandang organisasi sebagai kumpulan sumber daya dan kapabilitas unik. Dalam konteks ini, kompetensi sumber daya manusia dianggap sebagai sumber daya strategis yang memenuhi kriteria VRIO (Valuable, Rare, Inimitable, Organized), sementara sistem pengendalian internal dipandang sebagai kapabilitas organisasi yang memfasilitasi pemanfaatan optimal sumber daya tersebut. Ketika kedua elemen ini terintegrasi dengan baik dalam sistem tata kelola organisasi, akan tercipta keunggulan kompetitif berupa kemampuan menghasilkan laporan keuangan berkualitas tinggi secara konsisten dan berkelanjutan.
Metode dan Pendekatan Riset
Studi ini mengadopsi pendekatan kuantitatif dengan kerangka kausal-asosiatif untuk menganalisis dinamika sebab-akibat antarvariabel. Data dikumpulkan melalui survei terhadap 90 responden, yang merupakan pejabat keuangan dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Sidenreng Rappang. Kuesioner menggunakan skala Likert lima poin untuk mengukur variabel kompetensi sumber daya manusia, pengendalian internal, dan kualitas laporan keuangan.
Kompetensi sumber daya manusia diukur berdasarkan tiga dimensi Spencer & Spencer (1993): pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pengendalian internal dinilai berdasarkan lima elemen Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dan kerangka COSO: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Sementara itu, kualitas laporan keuangan dievaluasi menggunakan delapan indikator SAP (Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010): relevansi, transparansi, akuntabilitas, kepatuhan, keandalan, pemahaman, komparabilitas, dan ketepatan waktu. Analisis regresi linear berganda menggunakan SPSS diterapkan untuk menguji hipotesis, setelah melalui serangkaian uji asumsi klasik untuk memastikan validitas model.
Kesenjangan Kompetensi vs. Sistem
Hasil analisis regresi linear berganda mengungkapkan temuan yang menarik. Kapabilitas sumber daya manusia tidak menunjukkan asosiasi yang signifikan secara statistik dengan kualitas laporan keuangan (nilai t = -1.764, p = 0.081). Koefisien regresi negatif sebesar -0.241 mengindikasikan bahwa peningkatan kompetensi individu tidak serta-merta berbanding lurus dengan peningkatan kualitas laporan keuangan, terutama jika tidak didukung oleh sistem dan prosedur organisasi yang kuat. Temuan ini menyiratkan bahwa kompetensi individu karyawan belum menjadi faktor dominan dalam menentukan kualitas laporan keuangan pemerintah daerah.
Dalam konteks Teori Kewenangan, kondisi ini mencerminkan bahwa motivasi moral dan profesionalisme aparatur sipil negara belum sepenuhnya termanifestasi menjadi perilaku yang mendorong akuntabilitas dan transparansi pelaporan. Ketika kompetensi teknis tidak diimbangi dengan etos kerja dan orientasi pada tanggung jawab publik, kompetensi tersebut tidak mampu menghasilkan laporan keuangan yang andal. Dari perspektif Teori Atribusi, hasil ini dapat dijelaskan oleh dominasi faktor eksternal dibandingkan faktor individu. Karyawan yang kompeten secara personal pun bisa terhambat oleh keterbatasan sistem, budaya organisasi, dan kurangnya dukungan struktural seperti supervisi dan prosedur kerja standar. Artinya, kinerja ditentukan bukan hanya oleh “kemampuan” tetapi juga oleh “kekuatan situasional.”
Dominasi Pengendalian Internal
Sebaliknya, variabel pengendalian internal menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan dan dominan (nilai t = 15.757, p < 0.001) terhadap kualitas laporan keuangan. Koefisien regresi positif sebesar 1.376 menunjukkan bahwa efektivitas pengendalian internal yang lebih baik berkontribusi pada peningkatan kualitas laporan keuangan yang substansial. Ini menegaskan bahwa kerangka pengendalian internal yang kokoh sangat fundamental untuk menjamin kredibilitas, relevansi, dan transparansi dokumentasi keuangan pemerintah daerah.
Dari sudut pandang Teori Kewenangan, pengendalian internal berfungsi sebagai mekanisme penjaga kepercayaan antara “principal” (masyarakat) dan “steward” (pemerintah daerah). Ketika pengendalian internal beroperasi efektif—melalui pemisahan fungsi, verifikasi berlapis, audit internal, dan evaluasi risiko—potensi penyimpangan berkurang, dan kepercayaan publik meningkat. Ini menjadikan pengendalian internal bukan sekadar alat administratif, melainkan instrumen moral yang mendukung integritas aparatur.
Dalam kerangka Teori Atribusi, sistem pengendalian internal dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal yang memperkuat perilaku kerja individu. Struktur kontrol yang jelas, prosedur yang ketat, dan pengawasan yang efektif menciptakan tekanan situasional positif bagi karyawan untuk patuh pada peraturan. Bahkan, karyawan dengan kompetensi moderat pun dapat menunjukkan kinerja yang baik jika sistem pengendalian internal memberikan arah, batasan, dan umpan balik yang jelas. Dalam konteks ini, pengaruh signifikan pengendalian internal menunjukkan bahwa perilaku organisasi lebih ditentukan oleh desain sistem daripada karakteristik individu semata.
Dari perspektif RBV, sistem pengendalian internal adalah kapabilitas organisasi yang bernilai strategis. SPIP yang terimplementasi dengan baik menciptakan rutinitas, kebiasaan kerja, dan pola koordinasi yang sulit ditiru oleh organisasi lain. Kapabilitas ini memberikan keunggulan institusional dengan menghasilkan laporan keuangan yang akurat, tepat waktu, dan sesuai standar SAP. Dengan demikian, pengendalian internal memenuhi kriteria VRIO: bernilai (menjamin keandalan laporan), langka (tidak semua daerah memiliki SPIP yang efektif), sulit ditiru (karena tertanam dalam budaya dan pengalaman organisasi), dan terorganisasi dengan baik.
Sinergi untuk Akuntabilitas Berkelanjutan
Efek gabungan kedua faktor—kompetensi sumber daya manusia dan pengendalian internal—menunjukkan signifikansi statistik yang kuat (F = 145.149, p < 0.001), dengan koefisien R2 sebesar 0.769. Angka ini mengindikasikan bahwa sekitar 77% variasi dalam kualitas laporan keuangan dapat dijelaskan oleh kedua variabel prediktor ini secara bersama-sama. Ini mengukuhkan bahwa peningkatan berkelanjutan dalam pelaporan keuangan publik bergantung pada kemajuan simultan kapabilitas sumber daya manusia dan mekanisme kontrol institusional.
Temuan ini menggarisbawahi bahwa kualitas pelaporan keuangan pemerintah daerah mencerminkan integrasi efektivitas sumber daya manusia dan infrastruktur tata kelola yang kuat. Kompetensi teknis dan kapasitas individu harus dilengkapi oleh sistem organisasi yang kokoh. Ketika personel yang kompeten beroperasi dalam sistem pengendalian internal yang kuat, sinergi ini menciptakan akuntabilitas institusional yang menghasilkan laporan keuangan berkualitas. Kemampuan organisasi untuk mengelola dan mengintegrasikan sumber daya internal ini melalui kapabilitas sistemik (pengendalian internal) disebut sebagai kapabilitas dinamis, yaitu kemampuan organisasi untuk mengonfigurasi ulang sumber daya internalnya guna merespons tuntutan eksternal seperti audit BPK, transparansi publik, dan reformasi tata kelola keuangan daerah.
Langkah Konkret untuk Tata Kelola Keuangan Berintegritas
Berdasarkan hasil riset ini, Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang, dan juga pemerintah daerah lainnya, perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat tata kelola keuangannya. Prioritas utama adalah penguatan implementasi Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) agar tidak hanya menjadi formalitas administratif, melainkan mekanisme pemantauan aktif yang berjalan komprehensif dan berkelanjutan dalam setiap tahapan penyusunan laporan keuangan.
Pengembangan kompetensi sumber daya manusia juga tetap krusial, namun harus lebih terarah. Pelatihan dan pendidikan harus fokus pada aspek praktis, seperti implementasi SAP berbasis akrual, penggunaan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah (SIPD/SIMDA), serta penanaman etos kerja berbasis integritas dan akuntabilitas publik. Program pelatihan ini perlu diintegrasikan dengan sistem evaluasi kinerja yang berorientasi pada akuntabilitas, bukan sekadar pemenuhan formalitas.
Kolaborasi yang lebih erat antara Inspektorat Daerah, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pengelola keuangan juga sangat dibutuhkan. Pengawasan harus dimulai sejak awal proses transaksi keuangan sebagai bentuk kontrol preventif, bukan hanya dilakukan di akhir periode pelaporan. Selain itu, penelitian lanjutan dapat mengeksplorasi faktor-faktor lain seperti pemanfaatan teknologi informasi, budaya organisasi, atau kualitas audit internal yang semakin signifikan dalam konteks tata kelola digital dan akuntabilitas publik yang meningkat.
Identitas Riset
Judul: From Individual Competence to Organizational Capability: Empirical Evidence on Internal Control Dominance in Local Government Financial Reporting Quality
Peneliti: Indrayani, Rismala
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka
Adhayanti, L. (2024). Analysis of the Supreme Audit Agency's findings on the internal control system of local governments in South Sulawesi.
