Degradasi lingkungan telah menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan hidup, bukan hanya di tingkat global, melainkan juga di Indonesia. Laporan Global Forest Watch menyoroti Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kehilangan hutan alam tropis tertinggi dalam dua dekade terakhir. Angka ini mencerminkan urgensi untuk mencari solusi etis dan praktis dalam menjaga kelestarian alam, melampaui kerangka hukum formal yang seringkali belum efektif.
Dalam riset berjudul The Convergence of Hadith and Pasang ri Kajang in the Framework of Wilāyatul Amri on Environmental Conservation yang dilakukan oleh Tim Peneliti IAIN Parepare, terungkap sebuah fenomena menarik. Penelitian ini menyelidiki bagaimana dua sistem nilai yang berbeda—tradisi profetik Islam (Hadis) dan kearifan lokal masyarakat adat Kajang (Pasang ri Kajang)—dapat bertemu dalam tujuan konservasi lingkungan, bahkan tanpa adanya hubungan genealogis atau epistemologis langsung. Studi ini bertujuan menganalisis titik temu nilai-nilai ekologis dalam Hadis dan Pasang ri Kajang, serta relevansi konsep wilāyat al-amr dalam melegitimasi integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam tata kelola lingkungan.
Penelitian sebelumnya seringkali menyandingkan nilai Islam dengan kearifan lokal dalam kerangka integratif, seolah ada pengaruh timbal balik. Namun, riset ini mengkritisi pandangan tersebut. Masyarakat Ammatoa, misalnya, melestarikan lingkungan murni berdasarkan Pasang ri Kajang, bukan karena pemahaman terhadap hadis atau ajaran Islam tentang ekologi. Temuan ini menunjukkan adanya keselarasan nilai ekologis yang bersifat konvergensi independen, bukan integrasi. Artinya, kedua sistem nilai ini berkembang secara mandiri, namun mencapai orientasi etis yang serupa dalam menjaga alam.
Hadis: Landasan Etika Lingkungan Profetik
Dalam tradisi Islam, Hadis Nabi Muhammad SAW memuat prinsip-prinsip ekologis yang sangat kuat, melampaui sekadar aspek ibadah. Hadis-hadis ini menjadi landasan etika lingkungan yang komprehensif, mencakup larangan merusak alam, anjuran menanam pohon, menjaga keseimbangan hayati, serta menghindari tindakan mubazir. Misalnya, larangan menebang pohon sidr di kawasan Arab, larangan mencemari air, ancaman bagi pelaku penyiksaan hewan, dan ajakan menanam pohon bahkan saat kiamat tiba, semuanya menegaskan komitmen Islam terhadap kelestarian lingkungan.
Nilai-nilai ekologis ini terangkum dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah, khususnya hifz al-bī’ah (pemeliharaan lingkungan). Maqāṣid al-sharī‘ah menempatkan lingkungan sebagai unsur vital dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia secara kolektif. Nabi Muhammad SAW, dalam kapasitasnya sebagai pemegang wilāyat al-amr (otoritas kepemimpinan), menetapkan aturan-aturan ini sebagai kebijakan syariat yang wajib dipatuhi. Fungsinya tidak hanya bersifat moral, tetapi juga otoritatif, membentuk etika ekologis Islam yang kuat dan mengikat.
Pasang ri Kajang: Kearifan Adat Penjaga Alam
Di sisi lain, Pasang ri Kajang hadir sebagai sistem kearifan lokal yang mengikat komunitas Ammatoa di Kajang. Ia adalah living law atau hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun (turie), bukan dari teks-teks agama. Pasang ri Kajang memuat prinsip-prinsip etika lingkungan yang kokoh, seperti kamase-masea (kesederhanaan) yang membatasi konsumsi berlebihan, larangan menebang pohon sembarangan, serta pemeliharaan borong karamaka' (hutan keramat).
Nilai-nilai Pasang juga mencakup borong kanangngi a'rupa tau (hutan menentukan martabat manusia) dan turi'e na rere tu tama (apa yang ditanam sekarang untuk generasi berikutnya). Prinsip-prinsip ini memosisikan alam sebagai entitas moral yang harus dijaga, setara dengan menjaga komunitas manusia itu sendiri. Konsistensi masyarakat Kajang dalam mematuhi Pasang telah membuktikan efektivitasnya dalam menjaga keberlanjutan hutan adat mereka.
Kepemimpinan adat Ammatoa memegang peranan sentral dalam menegakkan Pasang ri Kajang. Ammatoa berfungsi sebagai wilāyat al-amr adat, yang memiliki kewenangan menetapkan larangan membuka hutan, memberi sanksi sosial, dan memimpin ritus-ritus adat yang memperkuat komitmen ekologis komunitas. Keberhasilan konservasi di Kajang bukan semata karena sistem hukum formal, melainkan karena otoritas moral dan sosial Ammatoa yang diakui dan dipatuhi oleh masyarakat.
Konvergensi Otoritatif: Titik Temu Tanpa Integrasi
Penelitian ini menemukan bahwa hubungan antara Hadis dan Pasang ri Kajang dalam isu pelestarian lingkungan bersifat konvergensi, bukan integrasi. Meskipun Pasang tidak dibangun berdasarkan syariat Islam, nilai-nilai ekologisnya selaras dengan prinsip-prinsip Hadis Nabi. Keselarasan ini terjadi tanpa pengaruh historis atau teologis, melainkan dari orientasi moral universal yang sama: menjaga keberlanjutan alam dan mencegah kerusakan.
Konsep wilāyat al-amr menjadi titik temu analitis yang relevan untuk memahami konvergensi ini. Baik Nabi Muhammad SAW maupun Ammatoa, dalam konteks struktur sosial masing-masing, menjalankan fungsi otoritas yang setara. Keduanya menetapkan aturan ekologis yang wajib dipatuhi, mengawasi kepatuhan masyarakat, dan menjaga keteraturan alam sebagai bagian dari keteraturan sosial. Nabi menetapkan larangan merusak alam berdasarkan syariat, sementara Ammatoa menetapkan larangan membuka hutan berdasarkan Pasang. Dengan demikian, kesamaan nilai ekologis lahir dari kesamaan fungsi sosial otoritas tersebut.
Penelitian ini memperkenalkan konsep “konvergensi ekologis otoritatif” sebagai pendekatan alternatif dalam membaca relasi antara Islam dan kearifan lokal. Konsep ini membantu menghindari kesalahan analitis yang mengasumsikan bahwa keselarasan nilai selalu lahir dari integrasi atau pengaruh agama terhadap adat. Sebaliknya, ia menegaskan pentingnya memisahkan sumber epistemik namun tetap menemukan jembatan etik pada orientasi yang sama: menjaga keberlanjutan alam bagi generasi manusia. Model konvergensi ini membuka ruang baru bagi kajian hubungan Islam-adat, khususnya dalam isu lingkungan, dengan memberikan kerangka kerja yang lebih kritis dan metodologis.
Pengakuan terhadap konvergensi ekologis otoritatif ini dapat menjadi landasan penting bagi pengembangan kebijakan lingkungan yang lebih inklusif. Pemerintah dan pembuat kebijakan dapat merumuskan program konservasi yang mengintegrasikan nilai-nilai agama dan kearifan lokal secara sinergis, tanpa harus menyeragamkan sumber epistemologisnya. Ini akan memperkuat legitimasi upaya konservasi di tingkat komunitas, mendorong partisipasi aktif masyarakat adat, dan menciptakan model tata kelola lingkungan yang berkelanjutan, berakar pada nilai-nilai yang dihormati secara universal.
Identitas Riset
Judul: The Convergence of Hadith and Pasang ri Kajang in the Framework of Wilāyatul Amri on Environmental Conservation
Peneliti: Tim Peneliti IAIN Parepare
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka / Referensi
Creswell, John W. 2013. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches. Thousand Oaks: Sage Publications.