Perubahan kurikulum di perguruan tinggi Indonesia seringkali terasa seperti tarian tanpa henti, mengikuti irama pergantian kepemimpinan atau kebijakan menteri. Setiap beberapa tahun, mahasiswa dan dosen dihadapkan pada nomenklatur baru, pendekatan berbeda, dan terkadang, kebingungan yang berkelanjutan. Apakah setiap perubahan ini benar-benar membawa peningkatan kualitas substansial, ataukah hanya sekadar ganti baju yang memakan anggaran dan energi? Fenomena ini memunculkan pertanyaan kritis tentang stabilitas dan efektivitas pendidikan tinggi di tanah air.
Dalam riset berjudul Model Pengembangan Kurikulum Berbasis Local Wisdom Dan Kecerdasan Global yang dilakukan oleh Rustan Efendy, Hamdanah, Muh. Ilham Jaya, Fakhriyah Nur Arfian Alinda Herman dan Nurul Al Ihram dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, ditemukan bahwa perubahan kurikulum di Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) selama periode 2018-2024 lebih bersifat politis dan aksidental, alih-alih didasarkan pada kebutuhan substantif pengembangan kompetensi. Temuan ini menyoroti urgensi untuk merancang model kurikulum yang lebih stabil dan berkelanjutan, berakar pada budaya lokal namun berwawasan global.
Pergulatan Kurikulum: Antara Kebijakan dan Kebutuhan
Program Studi PAI IAIN Parepare, sebagai objek penelitian, telah mengalami tiga kali perubahan kurikulum dalam enam tahun terakhir: dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) pada 2018-2020, Kurikulum Merdeka (MBKM) pada 2020-2024, hingga Outcome Based Education (OBE) pada 2023-2024. KKNI berfokus pada sikap, pengetahuan, dan keterampilan; MBKM menekankan otonomi mahasiswa dan pembelajaran berbasis proyek; sementara OBE menargetkan capaian pembelajaran lulusan (CPL) yang spesifik. Meskipun memiliki karakteristik unik, ketiga model kurikulum ini ternyata memiliki kesamaan substansial, yaitu pengembangan berpikir kritis dan relevansi dengan dunia kerja.
Perubahan yang terjadi lebih banyak menyentuh aspek nomenklatur dan administratif, bukan pada inti pengembangan kompetensi. Ironisnya, setiap kali kurikulum berganti, implementasinya seringkali belum tuntas sebelum kebijakan baru muncul lagi. Ini menciptakan siklus perubahan yang boros sumber daya, membingungkan dosen dan mahasiswa, serta menghambat pencapaian tujuan pendidikan yang optimal. Kebijakan nasional, tuntutan globalisasi akan kompetensi abad ke-21, dan respons institusi menjadi faktor pendorong utama perubahan ini, seringkali tanpa evaluasi mendalam terhadap efektivitas kurikulum sebelumnya.
Realitas ini menunjukkan adanya krisis epistemologis dalam pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Kurikulum seharusnya dibangun di atas landasan filosofis dan pedagogis yang kokoh, bukan sekadar respons pragmatis terhadap kebijakan temporer. Ketika kurikulum menjadi instrumen politik, otonomi akademik program studi terancam, dosen mengalami kelelahan, dan mahasiswa kehilangan arah. Akibatnya, lulusan yang diharapkan berkualitas sulit tercapai karena implementasi yang tidak pernah tuntas.
Menyelami Esensi Kearifan Lokal dan Kompetensi Global
Penelitian ini menemukan bahwa di tengah pusaran perubahan kurikulum, ada dua kompetensi inti yang sangat dibutuhkan: kearifan lokal (local wisdom) dan kecerdasan global (global competence). Survei menunjukkan 91% responden menganggap penting integrasi nilai budaya dan tradisi lokal dalam kurikulum PAI, sementara 88% menyatakan kebutuhan akan keterampilan lunak global seperti berpikir kritis, komunikasi internasional, dan literasi digital.
Kearifan lokal diartikan sebagai konstruksi keyakinan, nilai, dan filosofi hidup yang diwariskan turun-temurun, seperti "siri' na pacce" dari Bugis-Makassar atau "tongkonan" dari Toraja. Ini bukan sekadar tradisi masa lalu, melainkan sistem nilai hidup yang relevan untuk menjaga identitas, harmoni sosial, dan keberlanjutan. Di sisi lain, kecerdasan global mencakup kesadaran keberagaman kultural, kemampuan kolaboratif lintas budaya, literasi teknologi, dan adaptasi terhadap perubahan. Kedua dimensi ini krusial untuk menghasilkan lulusan yang berakar kuat pada budaya sendiri namun memiliki wawasan luas.
Integrasi kedua kompetensi ini menjadi pilar utama model kurikulum yang diusulkan. Ini berarti kearifan lokal dan kecerdasan global tidak hanya menjadi konten tambahan, melainkan fondasi epistemik kurikulum yang stabil. Model ini bertujuan melampaui perubahan kebijakan yang bersifat aksidental, dengan fokus pada kompetensi inti yang inheren dan berkelanjutan. Lulusan yang dihasilkan diharapkan memiliki identitas yang kuat (rooted in local culture) sekaligus berpikiran global (global minded), mampu bersaing di kancah internasional tanpa kehilangan jati diri.
Membangun Fondasi Kurikulum Berkelanjutan
Model pengembangan kurikulum berbasis kearifan lokal dan kecerdasan global yang diusulkan menawarkan kerangka kerja operasional bagi program studi untuk merancang kurikulum yang stabil dan adaptif. Implikasi teoretisnya adalah kontribusi baru dalam teori pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan dimensi lokal-global secara sinergis, bukan secara dikotomis.
Penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah konkret untuk mengimplementasikan model ini. Pertama, Kementerian Pendidikan perlu memberikan fleksibilitas lebih besar kepada perguruan tinggi untuk mengembangkan model kurikulum khas berbasis konteks lokal. Ini akan mendorong desentralisasi pengembangan kurikulum, memungkinkan setiap institusi beradaptasi dengan kebutuhan unik daerahnya.
Kedua, institusi pendidikan tinggi harus menetapkan kompetensi inti yang tidak berubah, terlepas dari pergantian kebijakan. Kompetensi ini akan menjadi fondasi yang kokoh, memastikan bahwa esensi pendidikan tetap terjaga. Ketiga, program studi harus merancang kurikulum secara kolaboratif, melibatkan dosen, mahasiswa, alumni, dan pemangku kepentingan lainnya. Pendekatan ini akan memastikan kurikulum relevan dan sesuai dengan kebutuhan nyata.
Terakhir, membangun kemitraan strategis internasional untuk kolaborasi pembelajaran sangat penting. Ini akan memperkaya pengalaman mahasiswa dengan perspektif global, sekaligus mempromosikan kearifan lokal di kancah dunia. Dengan demikian, IAIN Parepare, dan perguruan tinggi Islam lainnya di Indonesia, dapat menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif, berakar kuat pada budaya, dan berwawasan global, menjadi rujukan nasional untuk pengembangan kurikulum pendidikan tinggi yang khas Indonesia.
Identitas Riset
Judul: Model Pengembangan Kurikulum Berbasis Local Wisdom Dan Kecerdasan Global
Peneliti: Rustan Efendy, Hamdanah, Muh. Ilham Jaya, Nurul Al Ihram
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka
Catacutan, A. B., Kilag, O. K. T., Jr, F. M. D., Tiongzon, B. D., Malbas, M. H., & Abrdan, C. F. K. (2023). Competence-based curriculum development in a globalized education landscape. Excellencia: International Multi-Disciplinary Journal of Education, 1(4).
