Indonesia, dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” seringkali dihadapkan pada realitas yang kontras. Kasus penolakan pembangunan lembaga pendidikan berbasis agama minoritas menjadi cerminan nyata dari tantangan toleransi dan keberagaman yang masih bergulat di negeri ini. Peristiwa di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, adalah salah satu contohnya, di mana niat mendirikan sekolah Kristen justru berujung pada polemik panjang, menguji komitmen negara terhadap hak-hak dasar warganya.
Dalam riset berjudul “Kristenphobia dan Diskriminasi Agama Terhadap Penolakan Pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Kota Parepare (Perspektif HAM dan Maqashid Syariah)” yang dilakukan oleh Agus Muchsin dan Rusdianto Sudirman dari Fakultas Syariah dan Hukum Islam IAIN Parepare, fenomena penolakan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel dianalisis secara mendalam. Penelitian yang dipresentasikan pada seminar hasil penelitian IAIN Parepare Tahun 2025 ini menyoroti bagaimana ketakutan tidak berdasar (Kristenphobia) dan diskriminasi agama mengancam hak fundamental warga negara, khususnya dalam konteks pendidikan dan kebebasan berkeyakinan.
Akar Penolakan dan Sentimen Identitas
Penolakan terhadap pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare melibatkan Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P) dan sejumlah kelompok lain yang mengatasnamakan masyarakat. Awalnya, alasan penolakan dikemas dalam narasi administratif, seperti ketidaksesuaian data luas lahan, ketidakjelasan prosedur perizinan (UKL-UPL, Andalalin, PBG), dan kekhawatiran akan dampak lingkungan serta kemacetan. Warga yang diwawancarai menyatakan, “Kami bukan menolak agama tertentu, tetapi perizinannya dari awal tidak jelas. Tiba-tiba ada alat berat yang masuk. Sebagai warga, kami hanya ingin agar segala sesuatu sesuai prosedur dan tidak ada yang disembunyikan.”
Namun, dari observasi lapangan, peneliti menemukan bahwa alasan-alasan administratif tersebut bercampur dengan kecemasan identitas dan sentimen keagamaan yang berkembang. Kelompok penolak, termasuk Forum Masyarakat Soreang Peduli Kota Santri, menyoroti lokasi pembangunan yang berada di wilayah mayoritas Muslim sebagai alasan utama, meskipun pihak yayasan telah mengklaim memenuhi semua persyaratan. Bahkan, Ketua Pokja III DPRD Parepare, Ibrahim Suanda, secara eksplisit menyatakan penolakan karena “masyarakat di sekitar sana tidak menerima” dan mempertanyakan dokumen perizinan, yang berujung pada perintah penutupan sekolah.
Fenomena ini, menurut riset, sangat berkaitan dengan konsep Kristenphobia, yaitu ketakutan dan kecemasan yang dirasakan umat Islam terhadap umat Kristen. Ketakutan ini tidak hanya terbatas pada pendirian gereja atau perayaan Natal, tetapi juga meluas pada pembangunan sekolah Kristen. Hal ini menunjukkan bahwa argumen perizinan seringkali hanya menjadi alat legitimasi sosial, sementara motif utamanya adalah keberatan yang bersifat agama, yang dianggap mengancam keberadaan kelompok mayoritas.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Kaca Mata Hukum
Penolakan terhadap pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel menimbulkan masalah serius terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Gugatan yang diajukan oleh FM2P, yang menyatakan ketidaknyamanan warga Muslim terhadap kehadiran sekolah Kristen, secara eksplisit menunjukkan bahwa penolakan ini didasari oleh perbedaan agama, bukan faktor hukum yang objektif. Ini berpotensi melanggar beberapa prinsip dasar HAM yang dijamin konstitusi dan standar internasional.
Pelanggaran pertama adalah terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk bebas memeluk agama dan mengembangkan pendidikan keagamaan. Pasal 22 UU No. 39/1999 tentang HAM juga menegaskan kewajiban negara melindungi kelompok minoritas. Lebih lanjut, ICCPR Pasal 18 melarang pembatasan kebebasan beragama kecuali untuk alasan ketertiban umum yang dapat dibuktikan secara objektif, bukan preferensi mayoritas.
Kedua, penolakan ini berpotensi melanggar prinsip non-diskriminasi. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif, dan Pasal 3 ayat (3) UU No. 39/1999 menjamin perlindungan dari diskriminasi berdasarkan agama. Tindakan mengharuskan pemeluk agama lain “meminta persetujuan” dari kelompok mayoritas merupakan bentuk Discriminatory Veto Power, yang mengindikasikan diskriminasi struktural. Ini menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum, di mana hak-hak minoritas dapat diabaikan berdasarkan sentimen mayoritas.
Ketiga, hak atas pendidikan juga terlanggar. Tuntutan FM2P agar pembangunan sekolah dihentikan dan dipindahkan jelas membatasi hak kelompok Kristen untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai agama mereka. Pasal 12 UU Sisdiknas dan ICCPR Pasal 27 melindungi hak minoritas untuk menjalankan budaya, agama, dan pendidikan. UNESCO Convention Against Discrimination in Education (1958) secara tegas melarang pembedaan hak pendidikan berdasarkan agama. Menolak sekolah karena berbasis Kristen berarti menghalangi jaminan konstitusional hak minoritas untuk mengakses pendidikan keagamaan.
Terakhir, penolakan ini berimplikasi pada pelanggaran hak atas kesetaraan di hadapan hukum. Argumen FM2P yang menyatakan sekolah “mengganggu rasa keadilan umat Muslim” tidak memiliki ukuran hukum yang objektif. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU HAM menjamin kesetaraan semua warga negara tanpa diskriminasi. Penggunaan alasan teknis perizinan sebagai “topeng legal” untuk menyembunyikan motif agama tergolong Indirect Discrimination, di mana kebijakan yang tampak netral justru merugikan kelompok tertentu berdasarkan agama.
Maqashid Syariah: Etika Kemanusiaan di Tengah Konflik
Dari perspektif Maqashid Syariah, penolakan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel bertentangan dengan tujuan-tujuan utama syariat Islam yang bertujuan menjaga dan melindungi berbagai aspek kehidupan manusia. Lima prinsip dasar, yaitu perlindungan agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal), seharusnya menjadi panduan dalam menciptakan masyarakat yang toleran dan adil.
Dalam konteks hifz al-din, Maqashid Syariah memerintahkan perlindungan keyakinan semua orang, bukan hanya satu kelompok. Penolakan terhadap sekolah minoritas melanggar prinsip ini, karena Islam mengajarkan kebebasan beragama dan hak individu untuk menjalankan keyakinannya tanpa merasa terancam. Klaim FM2P bahwa sekolah “mengganggu keyakinan warga mayoritas Muslim” adalah bentuk penyempitan makna perlindungan agama yang seharusnya inklusif.
Untuk hifz al-nafs, klaim FM2P bahwa sekolah “meresahkan masyarakat” dan menimbulkan ancaman bagi keselamatan jiwa warga tidak didasarkan pada bukti konkret. Maqashid Syariah menolak penggunaan ketakutan tidak beralasan sebagai dasar kebijakan publik. Perlindungan jiwa seharusnya berarti menciptakan ruang aman bagi semua orang, terlepas dari latar belakang agama.
Pada aspek hifz al-aql, pendidikan adalah elemen penting dalam pengembangan akal. Penolakan pembangunan sekolah menghambat proses pendidikan dan pengembangan intelektual, yang bertentangan dengan prinsip Maqashid Syariah yang menekankan akses pendidikan berkualitas bagi setiap individu. Kritik administratif terhadap perizinan seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menolak keberadaan sekolah berbasis agama.
Argumen FM2P tentang hifz al-nasl, yang mengkhawatirkan “pengaruh” sekolah Kristen terhadap akidah generasi muda Muslim, bersifat spekulatif dan menimbulkan ketakutan tidak beralasan. Maqashid Syariah tidak membenarkan diskriminasi untuk mencegah kelompok lain menjalankan hak-hak mereka. Sebaliknya, menjaga keturunan harus dilakukan dengan mendorong toleransi dan saling menghormati antarumat beragama.
Terakhir, dalam aspek hifz al-mal, penolakan ini berpotensi merugikan Yayasan Gamaliel secara ekonomi. Maqashid Syariah menekankan pentingnya melindungi hak-hak ekonomi semua pihak, termasuk kelompok minoritas yang berusaha memberikan pendidikan. Gugatan administratif yang berkaitan dengan perizinan seharusnya tidak berdampak pada hak ekonomi warga tanpa dasar yang kuat.
Pola Nasional dan Tanggung Jawab Negara
Fenomena penolakan pembangunan lembaga pendidikan Kristen, seperti yang terjadi di Parepare, bukanlah peristiwa terisolasi. Bapak Jopie Anton Rorie, Sekretaris Majelis Pendidikan Kristen, dalam wawancara dengan tim peneliti, menegaskan bahwa ini adalah pola nasional yang sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. “Situasi penolakan yang kami hadapi di Parepare ini bukan kali pertama kami jumpai. Hampir setiap kali ada niatan untuk mendirikan sekolah berbasis Kristen, sering kali muncul reaksi resistensi dari sebagian kelompok masyarakat, meskipun kami telah memenuhi semua persyaratan yang dipersyaratkan secara administratif,” ujarnya.
Bapak Jopie menyoroti bahwa penolakan semacam ini jarang berasal dari pelanggaran prosedur, melainkan dipicu oleh tekanan sosial, informasi yang keliru, dan ketidakpahaman masyarakat mengenai fungsi lembaga pendidikan Kristen. Ia menekankan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan hak atas pendidikan dan kebebasan beragama dapat dilaksanakan tanpa hambatan. “Kendalanya muncul ketika pemerintah terpengaruh oleh tekanan dari kelompok tertentu, sehingga keputusan yang diambil tidak lagi berdasarkan pada regulasi yang ada,” tambahnya.
Pendekatan hukum menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ini, mengikat semua pihak tanpa memandang latar belakang agama. Selain itu, dialog dan literasi mengenai keragaman sangat penting untuk meredakan ketakutan berbasis prasangka. Sekolah Kristen Gamaliel, sebagaimana ditegaskan oleh pengurus yayasan, “tidak hanya untuk anak-anak Kristen, tetapi terbuka untuk semua. Tujuan kami adalah pendidikan, bukan dakwah,” menawarkan alternatif pendidikan yang positif dan inklusif bagi warga Parepare.
Membangun Harmoni di Tengah Keberagaman
Penolakan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare mencerminkan tantangan besar terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Agar harmoni sosial tidak terganggu dan ketidakadilan struktural tidak terus berlanjut, diperlukan penanganan sistematis terhadap fenomena Kristenphobia dan diskriminasi agama. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mendorong dialog antaragama yang konstruktif, meningkatkan toleransi melalui pendidikan inklusif, dan memastikan penegakan hukum yang adil tanpa bias agama.
Pemerintah memiliki tanggung jawab proaktif untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi semua warga negara, melindungi hak-hak kelompok minoritas, dan tidak menyerah pada tekanan mayoritas yang tidak berdasar. Pendekatan Maqashid Syariah, yang mengedepankan fleksibilitas, konteks sosial, dan etika kemanusiaan, menawarkan kerangka etis yang kuat. Ini menegaskan bahwa mayoritas tidak hanya dilarang menindas minoritas, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan keamanan, kebebasan, dan keberlangsungan hidup mereka. Hanya dengan komitmen bersama terhadap nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap keberagaman, masyarakat Parepare dapat melangkah menuju tatanan sosial yang lebih inklusif dan berkeadilan.
dentitas Riset
Judul: Kristenphobia dan Diskriminasi Agama Terhadap Penolakan Pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel Di Kota Parepare (Perspektif Ham Dan Maqashid Syariah)
Peneliti: Agus Muchsin, Rusdianto Sudirman
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka
Arrumningtyas, Sherlin Mulya. 2020. “Kristen Phobia Dan Tindakan Umat Islam Terhadap Keberadaan Gereja Pentakosta Di Indonesia (GPDI) Hosana Kaliputih Kebonagung Puri Mojokerto.” Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
