Skip to Content

Riset: Mengurai Jerat Kesalahpahaman Bid'ah Melalui Analisis Linguistik Hadis

December 26, 2025 by
Fikruzzamansaleh

Perdebatan seputar ‘bid’ah’ atau inovasi dalam agama Islam seringkali memicu ketegangan yang tak kunjung usai di tengah masyarakat. Frasa seperti ‘setiap bid’ah adalah sesat’ kerap menjadi landasan untuk menolak segala bentuk kebaruan, bahkan yang sebenarnya bertujuan baik.

 Namun, apakah pemahaman ini sudah tepat dan komprehensif? Dalam riset berjudul Fahmu Aḥādīth al-Bidʿah: Dirāsah Lughawiyyah Taḥlīliyyah li Thalāthati Aḥādīth al-Bidʿah al-Mukhtārah (Memahami Hadis-Hadis Bid'ah: Studi Linguistik Analitis Tiga Hadis Bid'ah Pilihan) yang dilakukan oleh Aksa Muhammad Nawawi, Sultan Ahmad Syafe'i, dan Nun Athirah Syamil dari IAIN Parepare, sebuah pendekatan baru ditawarkan untuk melihat kembali makna ‘bid’ah’ dari sudut pandang linguistik. 

Pendekatan ini bertujuan mengurai kesalahpahaman yang sering terjadi akibat penafsiran harfiah teks keagamaan. Melalui analisis mendalam, tim peneliti menemukan bahwa banyak kesalahpahaman tentang bid'ah berakar pada pembacaan teks yang kaku, terlepas dari dimensi semantik, pragmatis, dan retoris bahasa Arab klasik. Hadis-hadis kunci seperti ‘setiap bid’ah adalah sesat, setiap kesesatan di neraka’, ‘siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan darinya maka ia tertolak’, dan ‘siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka ia tertolak’ seringkali disalahartikan karena gagal memahami nuansa linguistiknya.

Padahal, Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad SAW adalah dua sumber utama ajaran Islam yang saling melengkapi. Hadis berfungsi sebagai penjelas dan implementasi praktis dari ajaran Al-Qur'an. Oleh karena itu, pemahaman yang cermat dan mendalam terhadap Hadis menjadi krusial, tidak semua riwayat dapat diterima begitu saja tanpa verifikasi yang memadai. Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis teks hadis secara mendalam, khususnya pada tiga hadis yang paling sering dikutip dalam perdebatan bid’ah. 

Tujuannya adalah mengungkap makna yang sebenarnya dimaksudkan oleh Nabi SAW, menghindari penafsiran sempit atau kaku yang sering memicu perpecahan di kalangan umat.Mengurai Makna ‘Kull’, ‘Minhu’, dan ‘Alayhi’Analisis linguistik yang dilakukan oleh peneliti fokus pada tiga kata kunci dalam hadis-hadis tersebut: ‘kull’ (كل), ‘minhu’ (منه), dan ‘alayhi’ (عليه). Ketiganya memiliki peran penting dalam menentukan cakupan makna bid’ah. Kata ‘kull’ (كل) dalam frasa ‘kullu bid’atin dhalalah’ (setiap bid’ah adalah sesat) secara linguistik memang bersifat umum. Namun, dalam tradisi bahasa Arab klasik, kata umum seringkali memiliki konteks khusus atau ‘umum yang dimaksudkan khusus’ (‘āmm yurādu bihi al-khāṣṣ*). 

Ini berarti tidak semua kebaruan otomatis tergolong bid’ah yang sesat. Sebagai contoh, Al-Qur'an menyebut angin ‘menghancurkan segala sesuatu’ (QS. Al-Ahqaf: 25), namun jelas tidak semua hal di alam semesta hancur oleh angin tersebut. Pemahaman harfiah tanpa mempertimbangkan pengecualian dan konteks akan mengarah pada generalisasi yang berlebihan. Frasa ‘mā laysa minhu’ (sesuatu yang bukan darinya) dalam hadis kedua berfungsi sebagai pembatas. Huruf jar ‘min’ (من) di sini menunjukkan jenis atau lingkup larangan. 

Ini berarti, yang ditolak bukanlah segala sesuatu yang baru secara mutlak, melainkan hal-hal baru yang tidak memiliki dasar atau akar dalam prinsip-prinsip syariat Islam. Inovasi yang sejalan dengan tujuan syariat dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam tidak termasuk dalam kategori ini. Adapun frasa ‘laysa alayhi amruna’ (tidak ada perintah kami atasnya) dalam hadis ketiga, huruf jar ‘ala’ (على) dalam konteks ini menunjukkan ketergantungan atau kesesuaian dengan dasar tertentu. Ini bukan berarti Nabi tidak pernah melakukan suatu perbuatan, melainkan bahwa perbuatan tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar syariat. 

Dengan demikian, yang ditolak adalah tindakan yang tidak berlandaskan pada metodologi atau prinsip syariat, terlepas dari apakah Nabi pernah melakukannya atau tidak. Analisis linguistik ini menunjukkan bahwa hadis-hadis tentang bid’ah tidak dimaksudkan untuk melarang semua bentuk inovasi, melainkan untuk membatasi larangan pada bid’ah yang tidak memiliki dasar dalam agama dan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Ini adalah peringatan terhadap penyimpangan, bukan definisi konseptual yang mencakup semua bentuk kebaruan secara mutlak. 

Transformasi Pemahaman dan Praktik Keagamaan Pemahaman linguistik yang lebih mendalam ini memiliki dampak transformatif pada praktik keagamaan. Masyarakat tidak lagi menggeneralisasi semua praktik baru sebagai sesat, melainkan mampu membedakan antara inovasi yang merusak agama dengan inovasi yang justru menguatkannya. Contoh nyata adalah pengumpulan Al-Qur'an pada masa sahabat atau salat Tarawih berjamaah yang tidak ada di zaman Nabi, namun diterima sebagai bid’ah hasanah (inovasi baik) karena sejalan dengan tujuan syariat dan kemaslahatan umat. 

Pendekatan ini juga mendorong para ulama untuk mengeluarkan fatwa yang lebih adil, kontekstual, dan proporsional. Alih-alih langsung menghukumi suatu perbuatan sebagai sesat, kini ditekankan pada kebijaksanaan dan dialog. Ini membantu mencegah praktik takfir (pengkafiran) dan polarisasi di masyarakat yang seringkali bermula dari perbedaan penafsiran. 

Dengan demikian, integrasi linguistik Arab dan studi Hadis menjadi krusial untuk mencapai pemahaman agama yang lebih moderat, kontekstual, dan ilmiah, menjauhi penafsiran harfiah yang sempit dan cenderung eksklusif. Hal ini membuka jalan bagi umat Islam untuk lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama. Masa depan pemahaman agama akan semakin inklusif dan produktif, di mana umat tidak lagi terjebak pada dikotomi usang antara ‘tradisional’ dan ‘modern’, melainkan mampu menavigasi kompleksitas kehidupan dengan hikmah dan relevansi syariat. Pengembangan program keagamaan modern di masjid, misalnya, dapat dianggap sebagai bagian dari sunah hasanah jika selaras dengan tujuan kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama.

Identitas Riset Judul: 

Fahmu Aḥādīth al-Bidʿah: Dirāsah Lughawiyyah Taḥlīliyyah li Thalāthati Aḥādīth al-Bidʿah al-Mukhtārah (Memahami Hadis-Hadis Bid'ah: Studi Linguistik Analitis Tiga Hadis Bid'ah Pilihan)\nPeneliti: Aksa Muhammad Nawawi, Sultan Ahmad Syafe'i, Nun Athirah Syamil Institusi: IAIN Parepare Tahun: 20xx 

Daftar Pustaka / Referensi

 Araby, Muhammad. 2017. 'Menelisik Konsep Bid'Ah Dalam Perspektif Hadis'.