Di sudut-sudut industri kreatif lokal, sebuah paradoks etika mencolok: para pelaku usaha dengan teguh memegang prinsip “timbangan jujur” dalam setiap transaksi, namun pada saat yang sama, mereka abai terhadap dampak ekologis dari operasionalnya. Fenomena ini, yang sering tersembunyi di balik narasi kesalehan ekonomi, menjadi titik krusial dalam upaya mewujudkan keberlanjutan. Bagaimana mungkin kejujuran dalam berdagang bisa berjalan beriringan dengan kerusakan lingkungan?
Dalam riset berjudul “Harmonisasi Ekonomi Hijau dan Etika Bisnis: Menjembatani Kesenjangan antara 'Timbangan Jujur' dan 'Pengabaian Lingkungan' untuk Keberlanjutan Lokal pada Industri Kreatif” yang dilakukan oleh Andi Bahri S, A. Nurul Mutmainnah, Dwi Anugrah Husni, dan Nurizal Ismail dari Institut Agama Islam Negeri Parepare, permasalahan ini dibedah secara mendalam. Studi ini menyoroti bagaimana nilai-nilai agama yang kuat, seperti menjaga harta (Hifz al-Māl), seringkali hanya diterapkan pada integritas transaksi finansial, sementara tanggung jawab ekologis (Hifz al-Bi'ah) terpinggirkan, bahkan dikesampingkan, dalam praktik sehari-hari. Ini bukan soal niat jahat, melainkan sebuah dilema moral yang kompleks, diperparah oleh ketiadaan infrastruktur pendukung dan tekanan ekonomi.
Dualisme Moral di Pedesaan: Sakralisasi Pasar, Profanisasi Alam
Penelitian kualitatif fenomenologis yang dilakukan di Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang, menyibak adanya “dualisme teologis” di kalangan pengepul besi tua dan pandai besi. Bagi mereka, “kesucian timbangan” adalah identitas moral yang tak bisa ditawar. Ketakutan akan dosa memanipulasi takaran atau mengambil hak orang lain (Hifz al-Māl) menjadi kompas utama dalam menjaga integritas transaksi. Mas Jun, salah satu informan, dengan tegas menyatakan, “Rezeki itu harus halal. Saya paling takut kalau timbangan tidak pas, itu mengambil hak orang.” Senada, Agus Guntoro menambahkan, “Bekerja itu ibadah. Kalau curang di timbangan, rezeki tidak berkah, keluarga bisa sakit.”
Namun, di sisi lain, integritas ini seolah terputus ketika berhadapan dengan alam. Praktik “kelalaian lingkungan” seperti pembakaran kabel terbuka yang melepaskan polutan udara dan pembuangan limbah B3 ke tanah, terjadi secara sistemik dan dinormalisasi. Ironisnya, perilaku destruktif ini bukan didorong oleh niat buruk, melainkan oleh “kekosongan institusional” dan logika bertahan hidup. Alam, dalam pandangan mereka, seringkali dianggap sebagai objek “bebas nilai” yang boleh dikorbankan demi kelangsungan usaha. Ini menunjukkan adanya “Eco-Theological Decoupling,” yaitu pemisahan antara etika transaksi dan etika lingkungan dalam domain teologi mereka.
Rasionalisasi “Darurat Ekonomi” dan Normalisasi Risiko Kesehatan
Para pelaku industri kreatif di Massepe menyadari dampak negatif dari praktik mereka, seperti bau menyengat, asap, dan risiko penyakit. Namun, mereka menetralkan rasa bersalah tersebut dengan argumen “darurat ekonomi.” Polusi seringkali dianggap sebagai “konsekuensi tak terhindarkan” atau “risiko kerja” karena ketiadaan modal untuk teknologi bersih atau infrastruktur pendukung. Kamiseng, seorang pekerja las, pasrah menerima sesak napas dan batuk akibat debu besi dan asap las, “Sering sesak napas dan batuk karena debu karat dan asap las. Tapi ya dinikmati saja, namanya orang cari makan.”
Fenomena ini disebut sebagai “Pattern of Economic Emergency Rationalization,” di mana kelalaian lingkungan bukan dipandang sebagai kejahatan moral, melainkan sebagai “biaya bertahan hidup.” Kalkulasi efisiensi destruktif juga berperan. Membakar kabel untuk mengambil tembaga, misalnya, jauh lebih cepat daripada mengupas manual, meskipun mereka tahu asapnya mengganggu tetangga. Dalam hitungan bisnis mikro mereka, waktu adalah uang, dan polusi udara dianggap sebagai eksternalitas yang tidak mengurangi keberkahan rezeki.
Kekosongan Institusional: Akar Masalah yang Lebih Dalam
Akar masalah yang lebih fundamental adalah “kekosongan institusional” (institutional void). Data lapangan menunjukkan bahwa pelaku usaha sebenarnya tidak sepenuhnya resisten terhadap konsep keberlanjutan. Mereka memiliki “kepatuhan pasif,” bersedia berubah jika ada fasilitas atau arahan otoritas. Mas Jun, misalnya, pernah merasa bersalah saat ingin membuang limbah besi tetapi tidak tahu harus membuangnya ke mana.
Keinginan untuk bekerja aman dan sehat, serta membuang limbah dengan benar, seringkali terbentur pada ketiadaan infrastruktur fisik seperti Tempat Penampungan Sementara (TPS) B3 atau “Bank Sampah Logam” yang terintegrasi. Mereka juga membutuhkan bantuan modal untuk membeli alat pelindung diri atau teknologi bersih. Ini menciptakan kondisi “involuntary negligence” (kelalaian yang tidak disengaja/terpaksa), di mana kemauan moral (willingness) ada, tetapi kapasitas (capacity) teknis untuk melaksanakannya nol.
Rekonstruksi Makna Berkah dan Insentif Ekonomi untuk Keberlanjutan
Temuan ini menegaskan bahwa harmonisasi ekonomi hijau dan etika bisnis di industri kreatif lokal tidak bisa dicapai melalui pendekatan regulasi yang bersifat memaksa semata. Sebaliknya, diperlukan rekonstruksi nilai dan fasilitasi struktural. Para peneliti menyarankan tiga dimensi strategis untuk transformasi ekosistem industri kreatif di Sidrap:
1. Implikasi Teologis: Rekonstruksi Makna “Berkah” (Theological Reconstruction: Redefining ‘Barakah’).* Mengingat kuatnya kepatuhan informan terhadap nilai agama, pintu masuk paling efektif untuk keberlanjutan adalah bahasa agama. Diperlukan reorientasi dakwah ekonomi dari sekadar menekankan “Halal” (legalitas zat/transaksi) menuju konsep “Thayyib” (kualitas/dampak). Polusi harus dibingkai sebagai bentuk kecurangan takaran terhadap alam, sama dosanya dengan mencurangi timbangan. Dengan demikian, ketakutan akan dosa akan otomatis bekerja untuk mengerem perilaku destruktif.
2. Implikasi Praktis: Internalisasi Eco-Integrity dalam Operasional (Practical Implication: Operationalizing Eco-Integrity).* Studi ini menyiratkan perlunya transformasi model bisnis dari “Efisiensi Destruktif” (bakar kabel biar cepat) menjadi “Efisiensi Etis.” Ini mustahil tanpa insentif. Pemerintah dapat mendukung pembentukan asosiasi pengepul yang menetapkan standar harga bertingkat (tiered pricing), misalnya harga beli lebih tinggi untuk tembaga hasil kupasan manual dibanding hasil bakaran. Selisih harga dapat disubsidi silang dari dana CSR atau dana desa, mengubah kalkulasi rasional pengepul menjadi strategi profitabilitas.
3. Implikasi Kebijakan: Mengisi Kekosongan Institusional (Policy Implication: Filling the Institutional Void).* Pemerintah Kabupaten Sidrap, melalui Dinas Lingkungan Hidup, didesak untuk segera membangun infrastruktur fisik seperti “Sentra Pengolahan Limbah B3 Terpadu” skala mikro di kecamatan Massepe dan menginisiasi “Bank Sampah Logam” berbasis syariah. Pemerintah dapat menyediakan fasilitas angkut limbah residu secara gratis sebagai insentif bagi pengepul yang mau menyetorkan limbahnya secara terpilah. Intervensi kebijakan harus bersifat enabling (memampukan) daripada punitive (menghukum).
Kelalaian lingkungan di sektor informal bukanlah akibat kebodohan atau keserakahan, melainkan jeritan kesalehan yang tak terfasilitasi. Menuntut pengepul miskin mengelola limbah B3 secara mandiri tanpa dukungan infrastruktur adalah bentuk kekerasan struktural terselubung. Kunci keberlanjutan lokal bukan pada impor standar moralitas Barat, melainkan pada upaya memperluas definisi “kebaikan” yang sudah ada. Ketika menjaga alam dirasakan sebagai bagian dari menjaga timbangan agar tetap lurus di hadapan Tuhan, barulah harmonisasi sejati tercapai, dan keberkahan rezeki yang mereka rindukan dapat terwujud secara holistik.
Identitas Riset
Judul: Harmonizing Green Economy and Business Ethics: Bridging the Gap Between 'Honest Scales' and 'Environmental Negligence' for Local Sustainability in Creative Industries
Peneliti: Andi Bahri S, A. Nurul Mutmainnah, Dwi Anugrah Husni, Nurizal Ismail
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka / Referensi
Andi Bahri S, A. Nurul Mutmainnah, Dwi Anugrah Husni, Nurizal Ismail. (2025). Harmonizing Green Economy and Business Ethics: Bridging the Gap Between 'Honest Scales' and 'Environmental Negligence' for Local Sustainability in Creative Industries. JEBIS: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol x, No.x, July - December 20xx.
