Skip to Content

Riset: Narasi Moral dan Digital Menjelmakan Kembali Politik Uang dalam Debat Pilkada Sulawesi Selatan

December 10, 2025 by
Fikruzzamansaleh

Fenomena politik uang menjadi bayang-bayang yang terus menghantui setiap gelaran pemilihan umum di Indonesia, tak terkecuali di tingkat lokal. Praktik ini, yang sering kali dianggap merusak integritas demokrasi, ternyata tidak menghilang begitu saja. Sebaliknya, ia bermetamorfosis, beradaptasi dengan tuntutan zaman dan ekspektasi publik yang semakin kritis. Di tengah hiruk-pikuk debat kandidat kepala daerah, politik uang kini bersembunyi di balik retorika yang lebih halus, jauh dari transaksi tunai yang terang-terangan.


Dalam riset berjudul "Reframing Money Politics through Economic, Digital, and Moral Narratives in Urban Candidate Debates of South Sulawesi" yang dilakukan oleh Nahrul Hayat, Abd. Rahman, dan Nanda Mikola Saputra, terungkap bagaimana politik uang secara simbolis dibingkai ulang dalam pemilihan lokal tahun 2024. Studi ini menyoroti debat wali kota di dua kota perkotaan, Makassar dan Parepare, Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa meskipun pembelian suara eksplisit tidak ada, para kandidat secara halus merekonstruksi logika transaksional melalui kosakata ekonomi, digital, dan moral.


Penelitian ini menggunakan analisis pembingkaian wacana kualitatif, dipandu oleh empat dimensi pembingkaian Entman dan model wacana kritis Fairclough, untuk menguraikan bagaimana etika elektoral secara linguistik direkonstitusi dalam performa legitimasi yang dimediasi. Temuan menunjukkan tiga jalur pembingkaian ulang yang saling terkait: narasi ekonomi yang memoralisasi kesejahteraan sebagai legitimasi, narasi digital yang menyamakan transparansi dengan moralitas, dan narasi moral yang mengemas kesalehan dan ketulusan sebagai modal politik. Substitusi simbolik ini menggambarkan persistensi patronase di bawah bentuk linguistik modern, yang oleh studi ini dikonseptualisasikan sebagai ekonomi moral diskursif demokrasi.


Ekonomi: Kesejahteraan sebagai Legitimasi Terselubung


Di Makassar dan Parepare, para kandidat secara konsisten menggunakan narasi ekonomi untuk membingkai ulang politik uang. Bantuan ekonomi tidak lagi disajikan sebagai pertukaran transaksional, melainkan sebagai bentuk pemberdayaan, tanggung jawab, dan kepedulian. Di Makassar, janji-janji kredit mikro dan pelatihan bisnis diungkapkan dalam pernyataan seperti "Tidak ada keluarga yang boleh tertinggal," mengubah bantuan menjadi tugas pembangunan.


Debat di Parepare mengadopsi registrasi yang lebih afektif, dengan frasa seperti "Ketika rakyat sejahtera, pemimpin pun sejahtera." Responden survei, sebanyak 61,1%, mengidentifikasi "bantuan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah" dan program serupa sebagai pengganti tidak langsung politik uang tradisional. Seorang peserta FGD dari Makassar (29 Oktober 2025) menegaskan, “Para kandidat tidak pernah secara eksplisit menyebut politik uang, tetapi mereka membungkusnya dengan istilah yang lebih lembut. Mereka berbicara tentang modal usaha, subsidi, dan bantuan. Kedengarannya seperti kebijakan programatik, tetapi masyarakat mengerti maksudnya.”


Narasi ekonomi ini mempertahankan logika timbal balik namun menyelimutinya dengan bahasa yang termoralisasi, mengubah "memberi" menjadi tindakan etis kepemimpinan. Ini mencerminkan apa yang Aspinall dan Berenschot (2019) sebut sebagai ekonomi moral klientelisme, di mana kesejahteraan diarahkan sebagai kewajiban moral, bukan sekadar imbalan.


Digital: Transparansi sebagai Kebajikan Otomatis


Makassar menunjukkan orientasi kuat terhadap wacana teknologi, memposisikan sistem digital sebagai penjamin kejujuran dan transparansi. Parepare menggunakan retorika serupa, meskipun dengan tingkat kemajuan teknologi yang lebih rendah, berfokus pada publikasi anggaran daring dan akses publik ke catatan administrasi. Hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang moderat, dengan 50% responden menilai kepercayaan mereka pada titik tengah.


Meskipun demikian, peserta FGD mengingatkan bahwa janji digital seringkali hanya formalitas. “Transparansi digital kedengarannya bagus, tapi seringkali hanya formalitas. Itu tidak otomatis menjamin integritas,” ujar seorang peserta FGD dari Makassar (29 November 2025). Meskipun ada keraguan ini, narasi digital mencerminkan tren global legitimasi algoritmik (Couldry & Hepp, 2017), yang membingkai ulang transparansi menjadi komoditas politik performatif.


Deklarasi seperti “Ketika semua transaksi digital, tidak ada yang bisa bersembunyi” mengartikulasikan bentuk “moralitas datafied” (Couldry & Mejias, 2019), di mana kebajikan dialihdayakan ke sistem otomatis. Pembingkaian ini membangun transparansi sebagai hasil administratif, bukan komitmen pribadi. Namun, ambivalensi publik tetap ada, mengakui nilai simbolis sistem tersebut tetapi meragukan efektivitas operasionalnya.


Moral: Kesalehan dan Ketulusan sebagai Modal Politik


Debat di Parepare secara intensif menggunakan referensi moral dan agama, memposisikan kepemimpinan sebagai perpanjangan dari akuntabilitas ilahi. Pernyataan seperti "Seorang pemimpin harus jujur di hadapan Tuhan" mencontohkan etika performatif yang dijelaskan oleh Moffitt (2020). Responden menunjukkan ambivalensi terhadap daya tarik ini; 50% melihatnya strategis, sementara hanya 16,7% menafsirkannya sebagai tulus.


Peserta FGD mencatat bahwa narasi moral selaras dengan ekspektasi budaya tetapi seringkali kurang substansi kebijakan konkret. “Ketika berbicara tentang moralitas, para kandidat terdengar mirip. Mereka berbicara dari hati, tetapi publik menginginkan bukti, bukan hanya sentimen,” kata seorang peserta FGD dari Parepare (12 Oktober 2025). Meskipun demikian, daya tarik semacam itu berfungsi sebagai modal simbolik (Bourdieu, 1991), memungkinkan kandidat mengubah kebajikan spiritual menjadi legitimasi politik.


Referensi pada berkah dan amal mengaburkan batas antara kemurahan hati dan timbal balik, menyucikan pertukaran politik dan menanamkan logika klientelis dalam kosakata agama. Ini sejalan dengan konsep "moralisme budaya" Woodward (2011), di mana bahasa agama menjadi jalan pintas komunikasi untuk membangun kepercayaan diri di tengah kerapuhan institusional.


Dilema Demokrasi dan Ambiguitas Publik


Pembingkaian ulang politik uang ini menghasilkan paradoks demokratis: modernisasi bahasa politik mungkin menyembunyikan, alih-alih menyelesaikan, tantangan etika. Respon survei terbagi rata; 33,3% merasa lebih percaya, 33,3% tidak terpengaruh, dan 33,3% kurang percaya setelah mendengar narasi ini.


Peserta FGD menyoroti kerentanan struktural di mana kesulitan ekonomi dan pengawasan yang lemah membuat bujukan simbolis dan material sama-sama persuasif. “Masyarakat berjuang secara ekonomi, dan itu membuat mereka rentan—tidak hanya terhadap tawaran uang tunai tetapi juga janji-janji yang dikemas sebagai program atau ‘kepedulian.’ Entah itu uang, sembako, atau bicara tentang pemberdayaan, efeknya bisa sama karena institusi tidak benar-benar menegakkan aturan. Ketika pengawasan lemah, bahkan isyarat simbolis terasa persuasif,” ujar seorang peserta FGD dari Parepare (12 Oktober 2025).


Situasi ini sejalan dengan "normalisasi penyimpangan" Mietzner (2020), di mana bahasa eufemistik secara bertahap mengikis sensitivitas publik terhadap kompromi etis. Kecanggihan linguistik berisiko menciptakan ilusi semantik reformasi, menutupi persistensi klientelisme di balik narasi moral dan teknologi.


Jalan ke Depan untuk Demokrasi yang Transparan


Temuan riset ini menggarisbawahi urgensi untuk meningkatkan literasi kewarganegaraan yang memungkinkan masyarakat membedakan antara kebajikan retoris dan akuntabilitas struktural. Tanpa kesadaran kritis, Indonesia berisiko mengembangkan demokrasi simbolis di mana bahasa modernisasi berjalan, sementara institusi tetap tidak berubah.


Beberapa rekomendasi kebijakan konkret muncul dari studi ini. Pertama, integrasi modul literasi diskursif ke dalam program universitas dan kepemudaan dapat membantu mengidentifikasi pembingkaian ulang ekonomi, moral, dan digital dalam pidato politik. Kedua, tata kelola debat elektoral memerlukan penilaian narasi berbasis fakta, pemantauan wacana waktu nyata, dan pemicu eksplisit mengenai politik uang selama debat. Ketiga, reformasi tata kelola digital harus memastikan sistem transparansi menyertakan audit independen dan alat verifikasi publik. Terakhir, penguatan unit penegakan hukum lokal dan mekanisme pelaporan diperlukan untuk mengatasi patronase simbolis yang menyamar sebagai program kesejahteraan.


Transformasi ini menunjukkan bahwa tantangan bagi komunikasi demokratis Indonesia bukan terletak pada pemberantasan politik uang semata, melainkan pada gangguan mekanisme simbolis yang menormalisasikannya. Reformasi sejati memerlukan interogasi tentang bagaimana bahasa berfungsi sebagai teknologi ideologis, dan bagaimana tata kelola yang "bersih," "cerdas," dan "moral" secara linguistik dapat mereproduksi ketidaksetaraan. Kesadaran kritis ini memposisikan kembali perjuangan demokrasi dari etika elektoral menjadi etika diskursif, menuntut akuntabilitas bahasa politik itu sendiri.


Identitas Riset

Judul: Reframing Money Politics through Economic, Digital, and Moral Narratives in Urban Candidate Debates of South Sulawesi

Peneliti: Nahrul Hayat, Abd. Rahman, Nanda Mikola Saputra

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 2025


Daftar Pustaka

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Cornell University Press.