Banyak masyarakat bergulat dengan tantangan pelestarian identitas budaya di tengah arus globalisasi yang masif. Bagaimana sebuah komunitas bisa menjaga nilai-nilai luhur warisan leluhur mereka, bahkan memperkuatnya, tanpa tergerus modernisasi atau kehilangan esensi spiritual? Pertanyaan ini menjadi relevan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya.
Dalam riset berjudul “Islam dan Budaya Lokal: Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Tradisional Bima” yang dilakukan oleh Saidin Hamzah, Abdul Azis, dan Fardilla dari Institut Agama Islam Negeri Parepare, terungkap sebuah fenomena menarik. Studi ini menunjukkan bagaimana Islam dan budaya lokal Bima tidak berjalan secara terpisah, melainkan saling melengkapi dalam membentuk etika sosial, spiritual, dan budaya yang tercermin nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bima. Peneliti menemukan bahwa ungkapan-ungkapan tradisional masyarakat Bima, yang dikenal sebagai Nggusu Waru, berfungsi sebagai pedoman hidup yang sarat nilai moral, spiritual, dan sosial, sekaligus memperkuat identitas keislaman dan harmoni sosial di komunitas tersebut.
Akulturasi Harmonis di Bumi Bima
Pulau Sumbawa, khususnya Bima, memiliki sejarah panjang interaksi antara Islam dan budaya lokal. Masuknya Islam ke wilayah ini bukanlah sebuah invasi yang menghapus tradisi lama, melainkan sebuah proses akulturasi yang harmonis. Nilai-nilai universal Islam menyatu dengan kearifan lokal yang telah mengakar kuat. Para pedagang Muslim dari Makassar dan Kesultanan Gowa menjadi duta awal, tidak hanya membawa komoditas dagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam dengan kearifan. Pernikahan antarbangsa juga menjadi jembatan penting bagi penyebaran agama ini.
Pendekatan akomodatif para mubalig dan tokoh agama saat itu menjadi kunci keberhasilan. Mereka tidak menolak atau menyingkirkan tradisi lama (makakamba-makakimbi), melainkan mengakomodasi dan mengisinya dengan makna baru yang Islami. Strategi ini memungkinkan Islam diterima dengan mudah, bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai penyempurna kehidupan. Akibatnya, identitas budaya Bima tetap lestari, bahkan semakin diperkaya dengan nilai-nilai Islam yang menekankan ketauhidan, moralitas, dan keadilan. Islam pun menjadi fondasi dalam seluruh aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bima. Puncak integrasi ini terjadi pada masa Kesultanan Bima di abad XVII M, ketika Islam tidak hanya menjadi keyakinan pribadi, tetapi juga dasar penyelenggaraan pemerintahan, membentuk tatanan sosial, undang-undang, dan peraturan kerajaan yang Islami.
Nggusu Waru: Delapan Pilar Kehidupan Bima
Salah satu manifestasi paling nyata dari akulturasi Islam dan budaya lokal Bima adalah falsafah hidup “Nggusu Waru.” Secara harfiah, “Nggusu” berarti sudut atau penjuru, sementara “Waru” berarti delapan. Filosofi “delapan penjuru” ini bukan sekadar arah mata angin, melainkan sebuah kerangka nilai komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Nggusu Waru menjadi cerminan pandangan dunia masyarakat Bima dalam mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup melalui delapan pilar utama.
Delapan nilai dalam Nggusu Waru merupakan kombinasi harmonis antara ajaran Islam dan kearifan lokal. Setiap pilar saling melengkapi dan menguatkan, membentuk pribadi yang utuh dan bermartabat. Ungkapan-ungkapan tradisional ini tidak hanya melestarikan bahasa daerah, tetapi juga menjadi media efektif untuk menanamkan nilai-nilai Islam secara halus dan tidak memaksa ke dalam sendi kehidupan masyarakat.
Maja Labo Dahu: Malu dan Takut sebagai Kontrol Moral
Pilar pertama Nggusu Waru adalah “Maja Labo Dahu,” yang berarti malu dan takut. Ungkapan ini menjadi inti kearifan lokal masyarakat Bima, menumbuhkan kesadaran moral yang berakar pada dimensi sosial sekaligus spiritual. “Maja” merujuk pada rasa malu untuk melakukan kesalahan di hadapan manusia, sementara “Dahu” berarti rasa takut melanggar aturan Tuhan. Dalam budaya Bima, nilai ini berfungsi sebagai kendali sosial yang kuat; orang akan merasa malu jika melanggar norma, karena dapat merusak nama baik diri dan keluarga. Malu di sini bukan hanya perasaan pribadi, melainkan kesadaran kolektif yang menjaga kehormatan komunitas.
Aspek “takut” dalam Maja Labo Dahu berkaitan erat dengan ketaatan kepada Tuhan. Masyarakat Bima memaknai ini sebagai bentuk penghayatan iman, yakni sikap spiritual untuk tidak melanggar perintah dan larangan Allah. Ini selaras dengan prinsip *taqwa* (takut dan sadar akan Allah) dan *haya'* (malu) dalam Islam. Di era globalisasi, di mana arus budaya permisif, hedonistik, dan individualistik marak, Maja Labo Dahu berperan sebagai filter moral yang mencegah perilaku menyimpang seperti konsumsi alkohol, pergaulan bebas, atau korupsi. Nilai ini memperkuat identitas Bima sebagai masyarakat religius dan bermoral, serta dapat menjadi pijakan moral kuat bagi generasi muda di tengah arus digital.
Ma Bae Ade: Kepekaan Jiwa dan Empati Sosial
Pilar kedua, “Ma Bae Ade,” memiliki makna kepekaan jiwa. Ungkapan ini menyiratkan kasih sayang, empati, dan kepekaan terhadap kondisi orang lain, serta tanggung jawab emosional. Nilai ini krusial dalam memperkuat hubungan antaranggota masyarakat dan mengurangi potensi kekerasan sosial. Dalam ajaran Islam, kepekaan terhadap sesama, seperti kasih sayang, saling menolong, dan kepedulian terhadap muslim maupun manusia secara umum, merupakan bagian dari akhlak mulia. Banyak tuntunan Al-Qur'an dan Hadis menekankan sifat *rahmah*, kasih, dan empati, serta pentingnya menjaga silaturahim, membantu yang lemah, dan melindungi sesama. “Ma Bae Ade” selaras sempurna dengan ajaran Islam tentang *ukhuwah*, kasih sayang, dan keadilan sosial.
Mambani Labo Disa: Keberanian Menegakkan Kebenaran
“Mambani Labo Disa” berarti keberanian untuk marah. Namun, dalam konteks kearifan lokal Bima, marah bukan berarti amarah yang sia-sia atau destruktif. Sebaliknya, ini adalah keberanian untuk menegakkan keadilan, melawan ketidakbenaran, atau mengambil posisi yang benar dan adil dalam situasi yang memerlukan. Islam mengakui bahwa marah adalah fitrah manusia, tetapi harus ditata agar tidak berlebihan. Marah dianjurkan jika ada kemungkaran atau kezaliman, tetapi harus tetap dikendalikan dengan adab dan zikir. Dengan demikian, “Mambani Labo Disa” sejalan dengan ajaran Islam tentang marah yang terkontrol dan perjuangan di jalan Allah melawan ketidakadilan.
Ma Lembo Ade ro Ma Na’e Sabar: Ketenangan dalam Kesabaran
Pilar berikutnya adalah “Ma Lembo Ade ro Ma Na’e Sabar,” yang secara harfiah berarti “melapangkan hati dan bersabar.” Ungkapan ini menyampaikan bahwa ketika seseorang bersabar, beban hati akan terasa ringan dan lega. Nilai kesabaran sangat ditekankan dalam menghadapi cobaan, penderitaan, dan tekanan sosial. Islam sangat memuliakan *sabr*, dan banyak ayat serta hadis menyebutnya sebagai ciri orang mukmin yang matang. Kesabaran dalam menghadapi ujian, menahan hawa nafsu, kemalangan, atau kezaliman, dijanjikan pahala besar oleh Allah. Ungkapan ini menegaskan bahwa kelegaan sejati datang dari kesabaran dan penerimaan atas kehendak-Nya.
Ndinga Nggahi Rawi Pahu: Integritas Ucapan dan Tindakan
“Ndinga Nggahi Rawi Pahu” berarti di mana kata-kata sesuai dengan tindakan. Nilai ini mencakup integritas, kejujuran, dan konsistensi antara ucapan dan perbuatan, yang sangat penting untuk membangun kepercayaan sosial, kredibilitas, dan reputasi. Islam menuntut bahwa iman harus dibuktikan dengan amal baik, bukan hanya sekadar ucapan. Al-Qur'an dan Hadis banyak menegaskan bahwa Allah mencintai orang-orang yang beramal saleh, dan bahwa seorang mukmin adalah yang lisan, hati, dan tindakannya konsisten. Tradisi ini mendorong akhlak sesuai syariat, seperti tidak berbohong, menepati janji, dan amanah.
Ma Taho Hidi: Keseimbangan Hidup (Wasatiyyah)
“Ma Taho Hidi” menekankan pentingnya keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan: spiritual dan material, individu dan komunitas, kerja dan ibadah, serta dunia dan akhirat. Ini berarti tidak berlebihan di satu sisi hingga mengabaikan sisi lain. Ajaran Islam sangat menekankan konsep *wasatiyyah* (moderasi), yakni beribadah, bekerja, bermuamalah, dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Islam mengajarkan untuk tidak melakukan *ghuluw* (berlebihan) atau ekstrem, serta tidak mengabaikan satu unsur kehidupan pun. Ungkapan ini mencerminkan nilai Islam yang moderat.
Dou Ma Wara Di Woha Dou: Solidaritas dan Keterlibatan Sosial
“Dou Ma Wara Di Woha Dou” berarti mampu berada di tengah masyarakat. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seseorang yang baik tidak menjauh dari masyarakat, melainkan bisa hidup, beradaptasi, berinteraksi, dan mengambil peran di dalamnya. Ia tidak eksklusif atau ekstrem, melainkan menjadi bagian dari komunitas sambil tetap memegang identitas dan nilai-nilainya. Islam memerintahkan umatnya untuk hidup damai bersama masyarakat, menjadi rahmat bagi sesama, berperan aktif dalam kebaikan, serta membangun kebajikan dan mencegah kemungkaran. Mengisolasi diri tidak dianjurkan kecuali dalam kondisi khusus. Konsep kepedulian sosial, dakwah melalui perbuatan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat sangat didukung oleh ungkapan ini, mencerminkan Islam sosial.
Ntau Ro Wara: Kekayaan Fisik dan Spiritual yang Bertanggung Jawab
Pilar terakhir, “Ntau Ro Wara,” berarti memiliki kekayaan fisik dan spiritual. Kekayaan di sini bukan sekadar materi, tetapi juga mencakup kekayaan spiritual. Kekayaan materi harus diiringi dengan batin yang baik, keimanan, dan moralitas, agar tidak menjadi penyebab kerusakan. Nilai keseimbangan dan tanggung jawab sangat ditekankan. Islam mengakui kepemilikan materi, kemajuan ekonomi, dan kemakmuran, namun selalu mengingatkan bahwa semua itu adalah amanah. Harta harus digunakan untuk kebaikan (sedekah, zakat, membantu sesama), menjaga jiwa dari kesombongan, dan memastikan akhirat tidak terabaikan. Ini adalah keseimbangan hikmah antara dunia dan akhirat.
Integrasi nilai-nilai Nggusu Waru dengan ajaran Islam di Bima memberikan landasan kuat bagi pembangunan karakter masyarakat yang berintegritas dan bermoral. Ke depan, pemerintah daerah dan lembaga pendidikan dapat mengintensifkan program-program berbasis kearifan lokal ini, misalnya dengan memasukkan Nggusu Waru ke dalam kurikulum pendidikan formal dan non-formal. Generasi muda perlu diperkenalkan secara kreatif melalui media digital dan kegiatan komunitas agar nilai-nilai ini tetap relevan dan lestari. Selain itu, Nggusu Waru juga dapat menjadi model bagi daerah lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa dalam menjaga identitas budaya dan keagamaan di tengah arus globalisasi. Dengan demikian, kearifan lokal bukan hanya warisan masa lalu, melainkan peta jalan menuju masa depan yang harmonis dan berkeadilan.
Identitas Riset
Judul: Islam dan Budaya Lokal: Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Tradisional Bima
Peneliti: Saidin Hamzah, Abdul Azis, Fardilla
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2024
Daftar Pustaka
Hamzah, S., Azis, A., & Fardilla. (2024). Islam dan Budaya Lokal: Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Tradisional Bima. Jurnal Integrasi Islam dan Budaya, 1(1), 1-15.
