Skip to Content

Riset: Penolakan Isbat Nikah Bagi Mualaf Towani Tolotang Ungkap Konflik Hukum Adat, Agama, dan Negara

December 26, 2025 by
Fikruzzamansaleh

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, masih banyak pasangan di Indonesia yang memilih untuk melangsungkan pernikahan secara adat atau agama tanpa mencatatkan diri secara resmi di mata negara. Fenomena ini, yang dikenal sebagai nikah siri, menimbulkan serangkaian implikasi hukum dan sosial yang kompleks, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang rentan kehilangan hak-hak fundamental mereka.


Dalam riset berjudul “Juridical Review of the Rejection of the Marriage of Isbat Convert Women from Towani Tolotang at the Sidrap Religious Court” yang dilakukan oleh Iin Mutmainnah, Aris, dan Nurjanah Amir dari Institut Agama Islam Negeri Parepare, permasalahan ini terkuak dengan jelas melalui studi kasus penolakan permohonan isbat nikah bagi perempuan mualaf dari komunitas Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Studi ini menyoroti bagaimana hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara berinteraksi dalam sistem perkawinan Indonesia, serta tantangan dalam menyelaraskan ketiganya.



Dinamika Perkawinan Adat Towani Tolotang


Komunitas Towani Tolotang memiliki sistem perkawinan dan perceraian adat yang kaya akan ritual serta nilai-nilai budaya luhur. Prosesi perkawinan tradisional mereka melibatkan berbagai tahapan yang dipimpin oleh Uwatta, pemimpin ritual yang merupakan keturunan langsung pendiri Towani Tolotang. Perceraian adat pun melalui mediasi oleh Uwwa, dengan keputusan akhir yang bersifat mengikat dikeluarkan oleh Uwatta, mencerminkan kuatnya nilai kekerabatan dan penghormatan terhadap hukum adat setempat.


Secara administratif, perkawinan dan perceraian adat Towani Tolotang sejatinya dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Sidenreng Rappang. Pencatatan ini penting untuk memberikan pengakuan hukum resmi dari pemerintah, yang berdampak pada dokumen identitas, hak waris, dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Proses ini menjembatani hukum adat dengan hukum nasional, memastikan hak-hak sipil warga negara terlindungi secara komprehensif tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional yang dipegang teguh.



Alasan Penolakan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Sidrap


Kasus yang menjadi fokus penelitian ini adalah seorang perempuan mualaf dari Towani Tolotang yang sebelumnya menikah dan bercerai secara adat. Setelah memeluk Islam dan menikah siri, ia mengajukan permohonan isbat nikah untuk mendapatkan pengakuan hukum resmi. Namun, permohonannya ditolak oleh Pengadilan Agama Sidrap.


Peneliti menemukan bahwa penolakan ini didasarkan pada beberapa faktor krusial. Pertama, ketidaklengkapan dokumen. Kedua, ketidaksesuaian dengan rukun perkawinan menurut syariat Islam, seperti ketiadaan wali nikah yang sah secara syariat. Ketiga, status perkawinan adat yang belum diadministrasikan secara hukum negara. “Pengadilan Agama Sidrap menolak permohonan bukan karena mengabaikan adat istiadat, melainkan demi kepastian hukum dan keabsahan syariat,” jelas Iin Mutmainnah, salah satu peneliti.


Hakim Pengadilan Agama Sidrap, Nova Noviana, dalam wawancara pada 27 September 2025, menjelaskan bahwa persyaratan administratif dan hukum perkawinan, seperti keberadaan wali, merupakan hambatan utama. “Banyak kasus terkait dengan ketidaklengkapan dokumen, perkawinan di luar negeri tanpa bukti perwalian yang jelas, dan perkawinan siri yang seringkali tidak sesuai dengan hukum agama dan administrasi negara,” ungkapnya. Ia menyarankan agar mualaf mengulang akad nikah secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) daripada mengajukan isbat nikah untuk perkawinan siri.


Saharuddin, pengacara pemohon, yang diwawancarai sehari setelah Hakim Noviana, pada 28 September 2025, menegaskan bahwa pertimbangan hukum hakim mencakup pemenuhan syarat sah perkawinan menurut hukum Islam dan perundang-undangan Indonesia, termasuk keberadaan wali, saksi, dan mahar. Jika wali asli tidak ada atau tidak memenuhi syarat, pengadilan dapat menunjuk wali hakim setelah permohonan khusus.



Harmonisasi Hukum dan Perlindungan Hak Perempuan Mualaf


Kasus ini menyoroti tantangan besar dalam menyelaraskan tiga pilar hukum di Indonesia: hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, selama masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI. Namun, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mewajibkan semua perkawinan didasarkan pada agama masing-masing dan dicatatkan secara resmi. KHI Pasal 7 ayat (3) lebih lanjut menegaskan bahwa isbat nikah hanya dapat diajukan untuk perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam namun belum tercatat.


Penolakan isbat nikah ini, meski sering disalahartikan sebagai diskriminasi terhadap keyakinan adat, sebenarnya merupakan penegasan pentingnya kepastian hukum dan kesesuaian antara norma agama, adat, dan negara. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, negara hukum Indonesia bersifat integratif, di mana berbagai sistem hukum adat, agama, dan negara berinteraksi dalam kerangka harmonisasi hukum nasional.


Langkah harmonisasi hukum adat dan hukum negara menjadi sangat penting untuk memastikan perlindungan hukum bagi perempuan mualaf dan memperkuat keberlanjutan nilai-nilai budaya lokal dalam sistem hukum nasional. Dengan adanya penolakan ini, Pengadilan Agama Sidrap tidak bermaksud meniadakan adat, melainkan mendorong agar pernikahan adat yang dilakukan oleh mualaf dapat memenuhi persyaratan hukum negara dan syariat Islam, sehingga hak-hak istri dan anak dapat terlindungi secara penuh.



Rekomendasi Kebijakan: Mencegah Hilangnya Hak


Kasus Towani Tolotang memberikan pelajaran berharga tentang perlunya pendekatan inklusif dan dialogis dalam sistem hukum keluarga di Indonesia. Penguatan literasi hukum sangat esensial untuk memastikan perempuan mualaf dan anak-anak mereka tidak kehilangan hak-hak hukum akibat kesalahpahaman administratif.


Pemerintah, melalui Kantor Urusan Agama (KUA), pemerintah desa, dan lembaga adat setempat, perlu memperkuat fungsi penyuluhan hukum bagi masyarakat adat yang berpindah agama. Ini akan membantu mereka memahami konsekuensi hukum dari konversi agama, terutama dalam bidang perkawinan, warisan, dan status sipil. Kolaborasi antara pemimpin agama dan adat dengan KUA di Sidrap, misalnya, telah menunjukkan potensi pendekatan ini dalam memfasilitasi pencatatan perkawinan melalui isbat nikah tanpa mengikis ritual budaya.


Dengan demikian, penolakan isbat nikah dalam kasus ini bukanlah penolakan terhadap adat istiadat, melainkan penegasan akan pentingnya kepastian hukum dan keselarasan antara norma agama, adat, dan negara. Sistem hukum Indonesia berupaya menyeimbangkan pluralisme budaya dengan integrasi hukum nasional, menjamin hak-hak semua warga negara secara adil dan manusiawi.



Identitas Riset

Judul: Juridical Review of the Rejection of the Marriage of Isbat Convert Women from Towani Tolotang at the Sidrap Religious Court

Peneliti: Iin Mutmainnah, Aris, Nurjanah Amir

Institusi: Institut Agama Islam Negeri Parepare

Tahun: 2025


Daftar Pustaka / Referensi

Mutmainnah, Iin, Aris, and Nurjanah Amir. 2025. “Juridical Review of the Rejection of the Marriage of Isbat Convert Women from Towani Tolotang at the Sidrap Religious Court.” Nizham: Jurnal Studi Keislaman.