Skip to Content

Tim Peneliti IAIN Parepare Riset: Meme Dakwah Digital Perkuat Moderasi Beragama dengan Sentuhan Lokal

December 18, 2025 by
Fikruzzamansaleh

Di era digital yang serba cepat ini, meme telah bertransformasi dari sekadar hiburan menjadi medium komunikasi yang kuat, bahkan dalam menyampaikan pesan-pesan serius. Fenomena ini tidak terkecuali dalam ranah dakwah keagamaan. Bagaimana sebuah gambar lucu dengan teks singkat mampu menggerakkan pemahaman dan sikap moderat di tengah masyarakat yang majemuk? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama melihat dinamika sosial di Indonesia yang kaya akan keberagaman.


Dalam riset berjudul "Digital Da'wah through Memes: Analyzing the Role of Visual Communication in Promoting Religious Moderation in South Sulawesi, Indonesia" yang dilakukan oleh Tim Peneliti IAIN Parepare, terungkap bagaimana meme dakwah digital secara efektif mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama di Sulawesi Selatan. Penelitian ini menyoroti peran komunikasi visual dalam membentuk persepsi publik tentang toleransi, saling menghormati, dan kerukunan sosial melalui konten meme yang kontekstual dan adaptif budaya.


Meme sebagai Jembatan Pesan Moderasi


Fenomena meme sebagai alat dakwah digital bukanlah hal baru. Memes memiliki daya tarik tersendiri, khususnya bagi generasi muda yang akrab dengan media sosial. Mereka menawarkan pesan keagamaan dalam kemasan yang ringan, mudah dicerna, dan cepat menyebar. Aspek ini menjadikan meme strategi komunikasi dakwah yang efektif, terutama dalam menjangkau Gen Z yang secara inheren merupakan pengguna media sosial aktif, sebagaimana dicatat oleh U. Wahyudi (2025).


Kunci keberhasilan meme dakwah ini terletak pada kemampuannya mengintegrasikan elemen budaya lokal. Di Sulawesi Selatan, nilai-nilai seperti siri' na pacce (solidaritas dan empati) serta bahasa daerah seringkali disisipkan dalam meme. Integrasi ini membuat pesan moderasi terasa lebih relevan dan personal bagi audiens, sehingga memperkuat penerimaan mereka terhadap nilai-nilai toleransi, keadilan sosial, dan penolakan ekstremisme, demikian temuan riset.


Dua Sisi Mata Uang: Potensi dan Risiko


Namun, penggunaan meme dalam dakwah digital memiliki dua sisi. Di satu sisi, meme dapat meningkatkan kesadaran dan penerimaan terhadap moderasi. Di sisi lain, ada risiko serius misinterpretasi, polarisasi, atau bahkan hasutan jika tidak dikelola dengan bijak. Sebuah meme, sebagai produk budaya populer, rentan mengalami modifikasi makna saat beredar di ruang digital, berpotensi menimbulkan disinformasi jika tidak dikendalikan secara etis dan kultural, sebagaimana diungkap Kien (n.d.).


Untuk memahami kompleksitas ini, penelitian menggunakan pendekatan multidimensional yang menggabungkan teori memetika Richard Dawkins (2020), semiotika Roland Barthes (2000), dan teori representasi Stuart Hall (1997). Teori memetika membantu menganalisis bagaimana meme direplikasi dan menyebar sebagai unit budaya digital. Semiotika digunakan untuk mengurai makna denotatif dan konotatif dalam gambar dan teks meme, sementara teori representasi menjelaskan bagaimana ide-ide toleransi dan pluralisme dikonstruksi secara sosial melalui simbol-simbol dalam meme dakwah. Integrasi ketiga teori ini memungkinkan pemahaman mendalam tentang konstruksi pesan keagamaan dalam konteks lokal.


Suara Netizen dan Pemimpin Agama: Memahami Reaksi Publik


Respons publik terhadap meme dakwah sangat beragam, mencerminkan bagaimana pesan-pesan ini diterima dalam konteks sosial yang lebih luas. Misalnya, meme yang menggambarkan seorang pria Muslim membantu seorang wanita yang berbeda agama dalam kebakaran (Image 1) menjadi simbol kuat. Informan Iskandar menjelaskan, "Meme ini tidak hanya mencerminkan tindakan kemanusiaan, tetapi juga membangun makna baru tentang moderasi beragama sebagai praktik aktif dalam kehidupan sehari-hari." Tindakan menolong tanpa memandang latar belakang agama menegaskan prinsip rahmatan lil 'alamin yang dianut Islam.


Meme lain yang menampilkan dialog di kelas tentang "orang terbodoh" (Image 2) berhasil memicu diskusi tentang toleransi. "Guru mencoba memantik pemikiran kritis siswa dengan pertanyaan yang tampak sederhana namun bermakna, sementara jawaban yang muncul mengarah pada refleksi pentingnya toleransi beragama," kata Informan Iskandar. Simbolisme pakaian siswa yang beragam dalam meme ini menunjukkan pluralitas budaya dan agama, menegaskan pentingnya toleransi dalam pendidikan multikultural.


Perayaan Idul Fitri yang dirayakan bersama lintas agama juga menjadi tema populer dalam meme (Image 3). Informan Khairul, seorang kreator konten, merasa terharu. "Meski hanya gambar dan teks, maknanya kuat. Seolah kita diingatkan bahwa perbedaan agama bukan alasan untuk menjauh, melainkan seharusnya menjadi alasan untuk saling mendukung," ujarnya. Mahyuddin, seorang dosen, menambahkan bahwa meme semacam ini "memiliki kekuatan untuk memperluas nilai toleransi secara lebih santai namun tetap bermakna." Bahkan, bagi Zulfajar, seorang pemimpin muda komunitas lintas agama, meme ini menjadi pemicu dialog antar komunitas.


Namun, ada pula meme yang memicu perdebatan. Meme ucapan salam dari berbagai agama (Image 4) yang menyertakan "P" untuk ateis, meski dianggap lucu oleh beberapa orang, juga berpotensi menimbulkan bias. Taufiq, dosen komunikasi dan aktivis dakwah digital, mengingatkan, "Saya memahami niat meme ini untuk menekankan pentingnya ucapan salam sesuai ajaran agama. Namun, bagian yang menyebut 'P' sebagai ateis bisa menyinggung mereka yang belum paham atau sedang belajar. Jadi, penting juga mempertimbangkan sensitivitas audiens." Khairul juga menekankan bahwa niat kreator sangat memengaruhi makna.


Meme yang mengkritik stigma sosial dengan kalimat "Semoga semua makhluk berbahagia," termasuk "pelacur, pengemis, dan mereka yang dianggap sampah masyarakat" (Image 5), menunjukkan empati yang jarang terlihat di media sosial. Informan Suhardi, seorang pendakwah muda, menyatakan bahwa pesan ini sejalan dengan spirit rahmatan lil 'alamin, mengajar kita untuk menjunjung tinggi martabat manusia, bukan menghakimi. Khairul menyoroti penggunaan istilah "kasar" yang justru menjadi kekuatan meme ini: "Ini membalik narasi dominan, seolah mengatakan: lihatlah mereka bukan dari labelnya, tapi dari hak asasi manusianya."


Kritik terhadap elit politik juga muncul melalui meme. Meme yang menyindir komentar Megawati tentang ibu-ibu pengajian (Image 6) adalah contoh perlawanan simbolik. Nurhikmah, seorang aktivis majelis taklim di Parepare, merasa bahwa meme ini merepresentasikan suara komunitasnya. "Ketika Ibu Mega mengatakan bahwa pengajian adalah hal yang aneh, kami merasa diremehkan. Meme ini mewakili suara kami," jelasnya. Zelvi, seorang dosen aktivis gender, menyebutnya sebagai bentuk "perlawanan simbolik" yang cerdas dan tajam.


Strategi Dakwah Digital Adaptif di Era Meme


Melihat potensi dan tantangan ini, strategi dakwah digital perlu disesuaikan. Pemanfaatan platform media sosial populer seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan X menjadi krusial untuk menjangkau audiens secara luas. Kolaborasi dengan influencer atau tokoh yang memiliki pengikut besar dapat menyebarkan pesan moderasi dengan cara yang lebih menarik, seperti berbagi pengalaman pribadi tentang persahabatan lintas agama.


Penggunaan hashtag tematik tentang moderasi beragama juga meningkatkan visibilitas konten. Yang terpenting, konten meme harus dikontekstualisasikan secara budaya dan lokal. Simbol-simbol lokal seperti siri' na pacce atau bahasa daerah mampu mengakar nilai moderasi dalam kehidupan masyarakat. Humor dan satir yang konstruktif, sebagaimana dijelaskan Shifman (2014), dapat meredakan ketegangan dan memicu refleksi tanpa resistensi, namun tetap harus dipastikan tidak menyimpang dari nilai-nilai moderasi dan tidak memicu konflik sosial.


Masa depan dakwah digital melalui meme bergantung pada kemampuan institusi keagamaan dan pembuat kebijakan untuk beradaptasi. Diperlukan upaya kolaboratif antara pendakwah, desainer, dan pakar komunikasi untuk memastikan pesan yang disampaikan edukatif, inklusif, dan tidak provokatif. Selain itu, peningkatan literasi digital bagi masyarakat menjadi fundamental agar mereka mampu membedakan konten yang mendukung toleransi dari yang menyebarkan kebencian. Dengan demikian, meme dakwah dapat menjadi kekuatan transformatif yang mendukung harmoni di masyarakat multikultural dan plural.


Identitas Riset

Judul: Digital Da'wah through Memes: Analyzing the Role of Visual Communication in Promoting Religious Moderation in South Sulawesi, Indonesia

Peneliti: Tim Peneliti IAIN Parepare

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 2025


Daftar Pustaka

Barthes, R. (2000). Mythologies. Hill and Wang.