Salam Hormatku, tulisan ini berawal dari setelah membaca karya-karya tulis Bell Hooks tentang “CINTA” yaitu pendekatan sadar untuk mendidik manusia agar mampu mencintai secara sehat, adil, dan setara. Kurikulum ini tidak berupa modul akademik semata, akan tetpi mengandung nilai nilai seperti Kritis terhadap struktur kekuasaan, Refleksi diri dan kesadaran emosional, Etika cinta dan Transformasi sosial.
Di Indonesia Kurikulum cinta merupakan pendekatan dalam proses belajar untuk menciptakan pengalaman belajar, lebih bermakna dan terpusat. Sementara bagi Bell Hooks yaitu pendekatan sadar terhadap cinta sebagai praktik belajar, bukan sekedar emosi, yaitu tindakan yang menuntut tanggung jawab, kejujuran, empati, dan kesadaran penuh terhadap diri sendiri dan orang lain. Maka itu inti pokok dengan mengenal diri dari pendidikan cinta itu sendiri. Menjadikan cinta sebagai kurikulum kehidupan, individu belajar bahwa relasi yang sehat hanya bias terjadi jika keduanya hadir dengan keutuhan, bukan kekurangan yang menuntut diisi. Inilah relasi yang setara: bukan siapa yang memberi lebih banyak, tetapi siapa yang hadir dengan kesadaran dan komitmen terhadap pertumbuhan bersama.
Hubungan yang sehat dan setara tidak lahir begitu saja, tetapi dibangun di atas fondasi pengenalan diri dan refleksi yang mendalam. Seseorang yang mengenal dirinya, memahami nilai, emosi, kebutuhan, dan luka masa lalunya, akan lebih mampu hadir secara utuh dalam hubungan. Ia tidak menjalin relasi untuk mencari pelarian, tetapi sebagai ruang untuk tumbuh bersama. Refleksi diri membantu seseorang menyadari pola relasi tidak sehat, mengenali batasan personal, dan membentuk komunikasi yang sehat. Ini menjadi kunci untuk membangun relasi yang saling menghargai, tidak berat sebelah dan berkembang secara emosional.
Komunikasi yang sehat dalam setiap relasi atau hubungan bukan hanya persoalan teknis menyampaikan pesan, melainkan juga tentang bagaimana cinta dan kekuasaan dinegosiasikan. Dalam hubungan yang tidak setara, komunikasi sering kali menjadi alat untuk mempertahankan dominasi, bukan membangun kedekatan. Oleh karena itu, strategi seperti komunikasi asertif, pendengar aktif, dan menggunakan bahasa “Saya” menjadi cara untuk mengembalikan relasi kepada keseimbangan kekuasaan yang sehat. Ketika dua pihak dapat menyampaikan kebutuhan dan batasannya tanpa rasa takut atau mendominasi, cinta dapat tumbuh dalam ruang yang aman. Cinta sejati tidak bisa hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang menindas, cinta membutuhkan kebebasan dan tanggung jawab emosional dari kedua belah pihak.
Komunikasi bukan hanya alat ekspresi, tetapi juga arena politik mikro di mana kekuasaan dinegosiasikan: siapa yang didengar, siapa yang diabaikan, siapa yang mengatur narasi. Oleh karena itu, membangun komunikasi yang efektif berarti juga membongkar struktur kekuasaan yang tidak adil dalam hubungan. Ketika individu belajar mengenali dirinya dan menyuarakan kebutuhannya tanpa mengorbankan atau mengendalikan orang lain, mereka turut menciptakan relasi cinta yang membebaskan. Daniel Goleman menekankan bahwa kecerdasan emosional adalah jembatan antara kesadaran diri dan kemampuan menjalin relasi yang sehat. Maka, cinta dan kekuasaan tidak harus saling meniadakan, tetapi justru dapat bersinergi melalui komunikasi yang reflektif dan saling menghargai.
Kekuasaan dalam hubungan cinta kerap tersembunyi di balik romantisme, padahal relasi yang tidak setara sering kali dibentuk oleh dinamika dominasi baik secara emosional, finansial, maupun kultural. Pihak yang lebih sedikit tergantung dalam suatu hubungan memiliki kekuasaan lebih besar, yang dapat dimanipulasi untuk mengontrol pasangan. Dalam banyak relasi, kekuasaan juga muncul melalui norma sosial yang mengistimewakan satu gender atau posisi tertentu, sehingga cinta digunakan sebagai alat untuk mempertahankan hierarki, bukan ruang untuk saling mendukung. Padahal eksistensi hadirnya kurikulum cinta harusnya tidak dibentuk oleh dominasi atau rasa takut, tetapi dipelajari dan dipraktikkan sebagai tindakan sadar yang melibatkan tanggung jawab, penghormatan, dan kebebasan.
Melalui perspektif kurikulum cinta, cinta tidak cukup hanya dirasakan, tetapi harus diajarkan sebagai nilai yang melawan logika kekuasaan patriarkal dan kontrol emosional. Membangun hubungan yang setara berarti kedua pihak harus bersedia merefleksikan posisi kekuasaan masing-masing dan berkomitmen untuk menghadirkan komunikasi yang jujur, mendengarkan secara aktif, serta membangun batas yang saling dihormati. Strategi seperti penggunaan kesepakatan bersama tentang peran dan tanggung jawab, serta evaluasi yang bersifat rutin hubungan adalah bagian dari pembelajaran cinta yang berorientasi pada kebebasan. Dengan cara ini, cinta bukan menjadi arena perebutan kekuasaan, melainkan ruang pembebasan dan pertumbuhan bersama. "love and abuse cannot coexist"; cinta sejati hanya mungkin muncul jika kekuasaan dikritisi dan hubungan dibangun atas dasar kesadaran, bukan kepemilikan.