"Kampus adalah mercusuar peradaban, bukan pasar yang menakar ilmu dengan kalkulator pendapatan".![]()
Kampus bukan sekadar pintu masuk menuju dunia kerja, ia adalah taman luas di mana benih-benih manusia ditanam, disiram, dan ditumbuhkan menjadi pribadi yang paripurna. Namun di era pragmatis ini, banyak yang melihat perguruan tinggi hanya sebagai jalur cepat menuju pekerjaan. Pandangan itu praktis, tetapi miskin makna.
Perguruan tinggi sejatinya adalah ruang pembentukan peradaban. Ia bukan jalur produksi tenaga kerja, melainkan ruang memanusiakan manusia. Di sana akal diasah agar tajam, hati ditempa agar bersih, dan keterampilan diasuh agar bermanfaat. Kampus adalah tempat di mana teori berjumpa dengan nilai, pengetahuan beriringan dengan moralitas, dan tradisi berpadu dengan inovasi.
Namun, realitas hari ini membawa tantangan baru. Kampus-kampus dengan status BLU dan PTNBH ibarat kapal besar yang diberi keleluasaan berlayar dengan mesin otonomi. Kebebasan ini membuka peluang besar untuk berkembang, tetapi juga menghadirkan risiko. Dorongan pemasukan yang tinggi adalah gelombang yang tak henti menghantam lambung kapal. Jika nakhoda tidak hati-hati, kapal bisa menyimpang dari jalur nilai luhur pendidikan menuju pelabuhan pasar semata.
Dalam upaya mengejar pendapatan, beberapa kapal besar itu menambah penumpang sebanyak-banyaknya. Mahasiswa diterima dalam jumlah besar, program studi baru dibuka, semua demi memenuhi tuntutan operasional. Namun di balik itu, kapal-kapal yang lebih kecil mulai oleng kesulitan bersaing, kehilangan calon mahasiswa, dan berjuang menjaga kualitas di tengah sumber daya terbatas.
Mahasiswa pun ikut merasakan gelombang ini.
Di kapal besar, fasilitas mungkin tampak megah, tetapi biaya perjalanan kian mahal. Di kapal kecil, suasana akademik bisa hangat dan dekat, tetapi sumber daya terbatas membatasi ruang berlayar lebih jauh.
Semua ini mengingatkan kita bahwa orientasi berlayar tidak boleh hanya ditentukan oleh banyaknya penumpang atau besarnya pemasukan, tetapi oleh arah kompas: membentuk manusia seutuhnya.
Harapan setiap pihak menjadi mercusuar yang harus selalu menyala;
Kampus, ia diharapkan menjaga integritas dan kualitas pendidikan. Mahasiswa, ia diharapkan berlayar dengan kesadaran untuk menjadi pribadi yang berilmu dan berakhlak. Orang tua, ia diharapkan tetap menjadi angin doa yang mendorong perjalanan. Masyarakat, ia diharapkan tetap menjadi penjaga agar kapal pendidikan tidak melenceng dari jalur peradaban.
Kampus adalah taman yang menumbuhkan manusia paripurna, sekaligus kapal yang mengarungi lautan peradaban. Ia harus dijaga agar tidak terjebak dalam badai komersialisasi yang berlebihan. Sebab, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh berapa banyak penumpang yang diangkut, tetapi oleh kualitas manusia yang sampai di pelabuhan tujuan: pelabuhan kehidupan yang bermakna.