تخطي للذهاب إلى المحتوى

Kapus Kurikulum Mencari Cinta

Anonim
26 يوليو 2025 بواسطة
Kapus Kurikulum Mencari Cinta
Admin

Entah sudah berapa kali kurikulum di negeri ini berganti. Dari zaman Orde Lama hingga kini, silih berganti nama dan semangatnya. Dulu ada Kurikulum 1968, yang lahir di masa awal Orde Baru, fokus pada pembentukan manusia Pancasilais. Lalu Kurikulum 1975, yang membawa model instruksional detail ala birokrasi militer. Kurikulum 1984 hadir dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), yang katanya ingin membuat anak lebih kreatif. Belum sempurna penerapannya, datang Kurikulum 1994 dengan semangat yang hampir sama tapi lebih administratif.


Reformasi bergulir, kurikulum pun ikut berganti. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 dicanangkan, katanya biar anak tak hanya tahu, tapi bisa. Tak lama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 hadir memberi otonomi lebih pada sekolah. Lalu datang Kurikulum 2013, dengan jargon karakter dan literasi, meski di lapangan masih banyak guru kebingungan. Setiap menteri datang, kurikulum pun datang dengan ide baru, seperti tamu yang silih berganti membawa oleh-oleh.


Baru-baru ini, kita mengenal lagi istilah yang gemerlap: Kurikulum KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) untuk pendidikan tinggi, Kurikulum OBE (Outcome Based Education) yang menuntut capaian hasil terukur, dan Kurikulum Merdeka yang katanya lebih fleksibel, lebih ramah pada anak. Tapi lagi-lagi, sebelum satu benar-benar matang, sudah datang yang baru. Kapus Kurikulum di pusat seperti orang yang tak pernah selesai merapikan rumah, karena tamu selalu datang membawa perabot baru.


Dan kini, tiba-tiba muncul gagasan paling unik dalam sejarah penamaan: Kurikulum Cinta. Nama yang terdengar lebih seperti lirik lagu daripada dokumen negara. Tapi justru karena itulah ia menarik perhatian. Kurikulum Cinta lahir dari keresahan banyak pendidik bahwa anak-anak kita tumbuh pintar, tapi kering hati. Lahir dari kegelisahan melihat sekolah sibuk mengejar angka, sementara murid-murid lupa cara saling menyapa dengan tulus. Kata “cinta” dipilih sebagai pengingat bahwa inti pendidikan bukan hanya kepala, tapi juga hati.


Karakter Kurikulum Cinta ini sederhana, tapi mendalam. Ia mengajarkan  mawaddah (kehangatan persahabatan di sekolah) dan rahmah (kasih sayang yang melindungi, agar tak ada lagi perundungan). Tidak ada rumus matematika yang sulit di sini, tapi justru di sinilah tantangannya—karena yang dinilai bukan angka di kertas, melainkan kelembutan hati dalam perilaku.


Sekarang, Kapus Kurikulum harus menyesuaikan diri lagi. Insersi “cinta” dalam kurikulum bukan pekerjaan sederhana. Harus ada pelatihan guru untuk belajar tersenyum lebih tulus, harus ada perubahan cara menilai agar anak yang mau memaafkan temannya dihargai sama tingginya dengan anak yang pandai berhitung. Kapus Kurikulum seolah sedang mencari cinta: menelusuri buku panduan, menyusun indikator, dan merumuskan bagaimana menuliskan kata “cinta” dalam bahasa administrasi negara.


Mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah kurikulum kita, para perancang di pusat harus menggarisbawahi satu hal sederhana: pendidikan yang gagal mengajarkan cinta hanyalah pelatihan teknis, bukan pendidikan manusia. Dan jika benar kurikulum ini kelak lahir dengan nama “Kurikulum Cinta”, barangkali ini satu-satunya kurikulum yang diharapkan orang untuk tidak cepat berganti—karena siapa pun, di mana pun, selalu rindu pada cinta.


في Opini
Kapus Kurikulum Mencari Cinta
Admin 26 يوليو 2025
شارك هذا المنشور
علامات التصنيف
الأرشيف