Di tengah realitas sosial Indonesia yang begitu kaya sekaligus rentan, pendidikan memiliki peran vital sebagai ruang pembentukan karakter kebangsaan dan keberagaman. Sayangnya, kita justru menyaksikan bagaimana sekolah dan kampus sering kali menjadi cermin dari fragmentasi sosial yang lebih luas. Perbedaan suku, agama, kelas sosial, hingga afiliasi politik tidak jarang membentuk sekat-sekat relasi antarsiswa, bahkan memicu konflik tersembunyi. Dalam situasi seperti ini, gagasan Kurikulum Berbasis Cinta bukan hanya relevan, tetapi mendesak untuk dihidupkan sebagai fondasi pendidikan yang ramah perbedaan.
Cinta, dalam pandangan sosiologis, bukan sekadar perasaan afektif personal, melainkan praktik sosial yang membangun empati, memperkuat kohesi, dan meruntuhkan dominasi. Dalam masyarakat multikultural, cinta menjadi kunci untuk memahami “yang lain” sebagai subjek, bukan objek stereotip. Pendidikan yang mengusung kurikulum berbasis cinta berarti menyadari bahwa peserta didik datang dari latar belakang nilai yang beragam, dan setiap nilai itu layak untuk dihargai, bukan dihakimi. Di sini, cinta bukan romantisasi, melainkan keberanian untuk merawat perbedaan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih memproduksi ketimpangan makna dan relasi kuasa. Sering kali, pelajaran agama diajarkan secara eksklusif, seolah hanya satu kebenaran yang sah. Kelas-kelas kewarganegaraan kerap membahas kebhinnekaan secara normatif, tanpa menyentuh realitas diskriminasi yang dihadapi oleh kelompok minoritas. Ini menunjukkan bahwa cinta belum benar-benar hadir sebagai nilai dasar pendidikan. Kurikulum terlalu berjarak dari dinamika sosial yang dihadapi siswa sehari-hari di masyarakat yang plural dan penuh tantangan identitas.
Kurikulum Berbasis Cinta perlu dikonstruksi secara sadar sebagai bagian dari proyek sosial untuk membangun masyarakat yang inklusif. Dalam konteks ini, guru harus dibekali dengan sensitivitas multikultural, bukan hanya kecakapan pedagogis. Guru adalah agen cinta yang memiliki peran membentuk ruang aman di mana semua identitas bisa hadir tanpa rasa takut atau malu. Pendidikan yang memerdekakan bukan hanya mengajarkan toleransi, tetapi membangun relasi yang setara dan dialogis antarbudaya, antariman, dan antarideologi.
Dalam banyak situasi, konflik bukan muncul dari perbedaan itu sendiri, melainkan dari ketimpangan dalam pengelolaan perbedaan. Maka, pendidikan berbasis cinta harus memutus rantai “kita vs mereka” yang kerap terbentuk di sekolah, baik secara eksplisit maupun implisit. Ini bisa dilakukan melalui materi pembelajaran yang mendorong siswa mengeksplorasi keragaman, proyek kolaboratif lintas latar belakang, dan kegiatan reflektif yang membiasakan mereka mendengar narasi orang lain tanpa menghakimi.
Selain itu, kita perlu mengkritisi cara evaluasi yang masih terlalu menekankan aspek kognitif dan seragam. Dalam kurikulum berbasis cinta, capaian pembelajaran harus mencakup aspek afeksi dan sikap sosial. Mampu memahami orang yang berbeda pandangan, mampu berdialog tanpa agresi, dan mampu membangun solidaritas lintas batas adalah kompetensi penting dalam masyarakat multikultural. Sayangnya, ini belum jadi indikator keberhasilan dalam sistem pendidikan kita.
Gagasan rahmatan lil alamin—yang menjadi salah satu inspirasi utama dari Kurikulum Berbasis Cinta—bukanlah slogan teologis semata. Ia adalah visi dunia yang humanis, adil, dan saling menjaga. Mewujudkannya dalam dunia pendidikan berarti menghadirkan sistem yang tidak hanya menuntut prestasi akademik, tetapi juga menanamkan nilai kerahmatan: memuliakan manusia, melindungi martabatnya, dan menjadikan pendidikan sebagai jalan pertumbuhan bersama, bukan arena perlombaan yang menyingkirkan yang lemah.
Pada akhirnya, Kurikulum Berbasis Cinta adalah ikhtiar kolektif untuk menyembuhkan ruang-ruang pendidikan dari kekerasan simbolik, intoleransi, dan homogenisasi makna. Dalam masyarakat yang multikultural, cinta adalah bahasa yang menyatukan, bukan menyeragamkan. Ia merayakan perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman. Dan dari sekolah-sekolah yang menghidupi cinta, kita bisa berharap lahirnya generasi yang bukan hanya cerdas berpikir, tetapi juga bijak dalam hidup bersama.