Di tengah deru modernitas dan tuntutan zaman yang kian pragmatis, dunia pendidikan sering kali terjebak dalam paradigma industrial. Sekolah dan universitas dipandang sebagai pabrik yang bertugas mencetak "sumber daya manusia" yang siap pakai, terampil secara teknis, dan kompetitif di pasar kerja. Kurikulum dirancang untuk memenuhi standar kognitif, ujian distandarisasi, dan target-target kuantitatif. Akibatnya, kita berhasil melahirkan generasi yang mungkin cerdas secara intelektual, tetapi sering kali kering secara spiritual dan emosional. Ada sebuah kekosongan mendasar dalam proses ini: absennya cinta sebagai fondasi utama pendidikan. Inilah saatnya kita menengok kembali pada sebuah warisan agung yang terlupakan: kurikulum berbasis cinta, sebuah metodologi profetik yang berakar kuat dalam ajaran Al-Qur'an.
Kurikulum berbasis cinta bukanlah sebuah konsep utopis atau sekadar penambahan materi tentang etika. Ia adalah sebuah pergeseran paradigma fundamental dari ta'lim (pengajaran) menuju tarbiyah (pendidikan dan pengasuhan holistik). Jika ta'lim berfokus pada transfer pengetahuan dari guru ke murid, maka tarbiyah berfokus pada penumbuhan seluruh potensi insani—akal, jasad, dan yang terpenting, kalbu (hati). Dalam kurikulum ini, tujuan pendidikan bukan hanya untuk mengisi otak, tetapi untuk menyalakan api dalam jiwa. Tujuannya bukan sekadar menciptakan pekerja yang patuh, melainkan melahirkan manusia paripurna (insan kamil) yang memiliki kebijaksanaan (hikmah), welas asih (rahmah), dan kesadaran mendalam akan Tuhannya.
Warisan profetik ini secara gamblang dicontohkan oleh pendidik teragung, Nabi Muhammad saw. Misi utama kerasulan beliau diringkas oleh Al-Qur'an dalam satu frasa yang sarat makna: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya': 107). Kata kunci di sini adalah rahmat, yang sering diterjemahkan sebagai kasih sayang, belas kasihan, atau cinta universal. Seluruh perjalanan dakwah dan pendidikan nabi adalah manifestasi dari rahmat ini. Beliau adalah guru yang tidak pernah mempermalukan muridnya yang bertanya hal sepele, seorang pendidik yang memeluk anak-anak dan mengusap kepala mereka dengan penuh kasih, serta seorang mentor yang membangun ikatan batin yang kuat dengan para sahabatnya sebelum menanamkan hukum dan aturan. Interaksi beliau bukanlah transaksi ilmu, melainkan transmisi cinta yang membangkitkan potensi terbaik setiap individu. Inilah kurikulum yang sesungguhnya: kurikulum yang dihidupi, bukan sekadar diajarkan.
Landasan dari kurikulum profetik ini adalah konsep cinta (al-hubb) yang dijelaskan secara kaya dalam Al-Qur'an. Cinta dalam Al-Qur'an bukanlah emosi sentimental yang pasif, melainkan sebuah kekuatan aktif dan transformatif. Puncak dari segala cinta adalah cinta kepada Allah (hubbullah), sebagaimana dinyatakan, “...dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...” (QS. Al-Baqarah: 165). Cinta inilah yang menjadi bahan bakar utama bagi seorang pembelajar untuk mencari ilmu, bukan demi ijazah atau gengsi, melainkan sebagai wujud pengabdian dan upaya mendekatkan diri kepada Sang Maha Mengetahui.
Lebih jauh, Al-Qur'an memperkenalkan Allah dengan salah satu nama terindah-Nya, Al-Wadud, Yang Maha Mencintai. Cinta Allah tidak hanya ditujukan bagi mereka yang sempurna, tetapi justru bagi mereka yang berproses menjadi lebih baik: “...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222). Sifat Al-Wadud ini seharusnya menjadi cerminan dalam dunia pendidikan. Seorang pendidik yang meneladani sifat ini akan mencintai muridnya dengan tulus, melihat potensi di balik kekurangan mereka, dan membimbing proses "pertobatan" akademik dan moral mereka dengan kesabaran. Cinta ilahi ini kemudian diejawantahkan dalam hubungan antarmanusia sebagai mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang), fondasi bagi masyarakat yang harmonis.
Al-Qur'an tidak hanya menyajikan konsep cinta yang ideal, tetapi juga menghadirkannya dalam sebuah drama kemanusiaan yang kompleks melalui kisah Nabi Yusuf AS. Di satu sisi, kita melihat cinta Zulaikha: sebuah cinta yang pada awalnya didasari oleh hasrat dan nafsu yang obsesif. Cinta model ini, ketika tidak dibimbing oleh iman, menjadi destruktif—ia melahirkan tipu daya, paksaan, fitnah, dan pada akhirnya kezaliman yang menjebloskan Yusuf ke dalam penjara. Di sisi lain, kita menyaksikan buah dari tarbiyah ilahiyah (pendidikan ilahi) pada diri Nabi Yusuf. Ketika dihadapkan pada godaan puncak, ia berseru, “Aku berlindung kepada Allah!” (QS. Yusuf: 23). Penolakannya bukanlah karena ketiadaan rasa, melainkan karena cintanya yang lebih tinggi kepada Allah mengalahkan segalanya. Episode ini menunjukkan bahwa pendidikan sejati adalah yang mampu membuat seseorang memilih cinta yang memuliakan di atas cinta yang menjerumuskan. Bahkan penjara pun menjadi bagian dari kurikulum kehidupannya, sebuah "universitas" yang menempa karakternya hingga siap memimpin dengan hikmah dan pengampunan.
Sayangnya, warisan profetik ini bukan sekadar terlupakan, ia secara sistematis terpinggirkan oleh arus sejarah dan filsafat modern. Akar pengabaian ini dapat dilacak pada Revolusi Industri yang mengubah sekolah menjadi pabrik yang bertujuan mencetak tenaga kerja efisien, bukan manusia utuh. Paradigma ini kemudian diperkuat oleh dominasi filsafat positivisme di dunia akademik, yang memisahkan secara kaku antara 'fakta' yang objektif (wilayah sains dan akal) dengan 'nilai' yang subjektif (wilayah etika, seni, dan spiritualitas). Cinta, empati, dan kebijaksanaan spiritual dianggap tidak 'ilmiah' dan tidak terukur, sehingga tersingkir dari kurikulum inti dan hanya menjadi hiasan pinggiran.
Implikasinya terasa tajam hingga kini di berbagai level. Secara kelembagaan, pendidikan tereduksi menjadi industri jasa di mana mahasiswa adalah konsumen dan ijazah adalah produknya. Hubungan transaksional ini mengikis ikatan tulus antara pendidik (murabbi) dan peserta didik. Secara pedagogis, guru dan dosen terkekang oleh beban administrasi yang berat dan target kurikulum yang kaku, membuat mereka kehabisan energi untuk melakukan sentuhan personal yang mendidik kalbu. Murid (siswa dan maha-siswa) tidak lagi dilihat sebagai pribadi unik dengan potensi ruhani, melainkan sebagai data statistik yang keberhasilannya diukur lewat angka-angka dingin dari ujian terstandarisasi.
Puncak dari paradigma yang memisahkan akal dan hati ini termanifestasi dalam ruang kelas itu sendiri. Sebagai contoh konkret, dalam sebuah kelas filsafat etika di sebuah universitas ternama, seorang dosen senior yang dikenal dengan pandangannya yang serba rasional dan skeptis pernah menyampaikan opininya tentang konsep cinta dalam konteks moralitas. Ketika seorang mahasiswa mencoba mengaitkan pentingnya empati dan kasih sayang dalam pengambilan keputusan etis, dosen tersebut dengan nada meremehkan menjawab, "Cinta? Itu hanyalah luapan emosi biologis yang tidak relevan dalam analisis moral yang objektif. Kita perlu logika dan prinsip yang jelas, bukan sentimen-sentimen subjektif seperti itu. Dunia nyata tidak berjalan dengan cinta, tapi dengan kepentingan dan kekuasaan."
Pernyataan semacam ini, yang sering kali dianggap sebagai ciri "pemikiran kritis", sejatinya sangat berbahaya. Ia menciptakan apa yang bisa disebut skizofrenia intelektual: pemisahan total antara kecerdasan dan hati nurani. Ini adalah resep sempurna untuk melahirkan para teknokrat berhati dingin yang bisa merancang sistem yang menindas tanpa merasa bersalah, atau profesional kerah putih yang korup yang menggunakan kecerdasannya untuk memanipulasi hukum demi keuntungan pribadi. Mereka adalah produk dari sebuah sistem pendidikan yang berhasil mengisi kepala mereka, namun gagal menyentuh dan menghidupkan hati mereka.
Mengembalikan kurikulum berbasis cinta ke dalam sistem pendidikan kita adalah sebuah urgensi peradaban. Ini berarti mengintegrasikan kembali pendidikan adab dan akhlak ke dalam setiap mata pelajaran, bukan hanya sebagai kelas agama yang terisolasi. Ini berarti melatih para guru tidak hanya sebagai instruktur, tetapi sebagai murabbi (pendidik) yang mampu menginspirasi dengan keteladanan. Ini berarti menciptakan lingkungan belajar yang aman secara psikologis, di mana setiap anak merasa dihargai, didengar, dan dicintai.
Pada akhirnya, menghidupkan kembali kurikulum berbasis cinta adalah upaya sadar untuk kembali ke fitrah pendidikan itu sendiri. Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Tidak ada yang lebih fundamental bagi kemanusiaan selain cinta. Dengan meletakkan cinta—cinta pada ilmu, cinta pada sesama, dan cinta pada Sang Pencipta—sebagai jantung dari proses pendidikan, kita tidak hanya akan melahirkan para profesional yang kompeten, tetapi juga para pemimpin masa depan yang membawa obor rahmatan lil 'alamin bagi peradaban dunia.
(Sebuah catatan ringan sepulang dari Rumah Jabatan Anregurutta Sengkang, 25 Juli 2025)