تخطي للذهاب إلى المحتوى

Kurikulum Cinta: Menerima Kenyataan, Melawan Kepalsuan ala Matematika

Zulfiqar Busrah (Kepala Pusat Bidang Penelitian, LP2M IAIN Parepare
30 أغسطس 2025 بواسطة
Kurikulum Cinta: Menerima Kenyataan, Melawan Kepalsuan ala Matematika
Hamzah Aziz


"Cinta bukanlah sekadar kelembutan yang manis, tapi juga keberanian yang keras kepala untuk menatap kenyataan apa adanya." (Zulfiqar) 


Kampus kami turut menghidupkan spirit dan ruh kurikulum cinta, gagasan yang diharapkan melahirkan kultur akademik yang lebih manusiawi, penuh empati, dan menjunjung nilai-nilai kasih sayang. Namun sebagai pendidik, sebagai pengajar matematika, dan sebagai manusia yang sedang mengalami duka karena kehilangan ibu tercinta, saya ingin membawa wacana ini ke dalam ruang yang lebih dalam dan jujur. Cinta yang saya pahami bukanlah sekadar kelembutan yang manis, tapi juga keberanian yang keras kepala untuk menatap kenyataan apa adanya.

Cinta, bagi saya, adalah kejujuran. Ia tidak boleh dipoles demi tampilan. Ia tidak boleh ditutup-tutupi dengan basa-basi sosial. Cinta harus tegas untuk mengungkap keburukan, dan cukup kuat untuk menerima luka. Cinta bukan berarti memanjakan, tetapi menempa. Dalam dunia pendidikan, cinta tidak boleh membungkus kemalasan dengan empati palsu, atau memaafkan kebodohan demi menjaga suasana. Cinta yang sesungguhnya harus sanggup berkata: "Kita sedang tidak baik-baik saja."

Cinta Tidak Boleh Munafik

Di banyak ruang akademik hari ini, saya melihat gejala kemunafikan intelektual. Kita sering merayakan pencapaian-pencapaian simbolik: kelulusan dengan bunga dan foto yang indah padahal dalam prosesnya kering, dangkal, bahkan banyak dibantu oleh jasa-jasa layanan yang instan. Kita terlalu sering terpesona oleh hasil, tapi menutup mata terhadap proses yang rapuh. Dalam hal ini, cinta tidak boleh lunak. Cinta justru harus mampu menginterogasi ilusi dan menggugat kepalsuan.

Dalam sistem birokrasi, cinta tidak boleh disamakan dengan senyum, sapa, dan salam yang menutupi intrik kepentingan dan kemarahan yang ditekan. Cinta tidak boleh hanya dipahami sebagai keramahan permukaan. Cinta, dalam konteks kampus, harus hadir sebagai keberanian untuk berkata benar meski tidak populer, untuk menyampaikan kritik meski terasa pahit, dan untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu rusak, jika memang demikian adanya.

Matematika, Logika, dan Keteguhan dalam Cinta

Sebagai dosen matematika, saya meyakini bahwa cinta juga memiliki sifat yang tegas dan tidak kompromistis, sebagaimana prinsip dasar dalam matematika. Dalam matematika, kebenaran tidak tunduk pada mayoritas atau retorika. Ia harus dibuktikan secara logis, diuji secara sistematis, dan dibangun dari dasar yang jujur. Dalam ruang ini, kesalahan bukan sesuatu yang memalukan, tetapi tanda bahwa kita sedang berada dalam proses menuju pemahaman yang lebih baik.

Saya ingin melihat kurikulum cinta seperti proses berpikir matematis: tegas dalam logika, kuat dalam analitis, dan jujur dalam menghadapi kesalahan. Kita tidak akan membiarkan mahasiswa menghindari kesalahan demi kenyamanan semu. Sebaliknya, kita mengajak mereka untuk berani mencoba, salah, belajar, lalu tumbuh. Karena cinta dalam pendidikan bukan berarti membiarkan mereka stagnan, tapi menuntun mereka menghadapi tantangan berpikir yang sejati.

Stoikisme dan Cinta dalam Kehilangan

Belakangan ini, saya sedang menghadapi kenyataan yang paling mendalam dalam hidup: kepergian ibu tercinta. Dalam duka itu, saya belajar bahwa cinta juga berarti menerima kenyataan yang paling pahit, tanpa mengingkarinya. Filosofi stoikisme, seperti yang diajarkan oleh Seneca dan Marcus Aurelius, menjadi pijakan reflektif dalam menjalani kehilangan ini.

Seneca pernah mengatakan bahwa "kita menderita bukan karena kenyataan itu sendiri, tetapi karena penolakan kita terhadapnya." Marcus Aurelius mengajarkan bahwa "segala hal terjadi sebagaimana mestinya, dan bahwa tugas manusia adalah menerima dan mencintai kenyataan itu." Maka saya belajar, bahwa cinta kepada ibu saya tidak hilang bersama raganya. Justru cinta itu diuji dalam kejujuran untuk merasakan duka, menangis dengan sadar, dan tetap berjalan dalam luka. Cinta itu menjadi bentuk kesetiaan saya pada kenyataan, bukan pelarian dari kenyataan.

Menuju Kurikulum yang Mendidik Kejujuran

Jika kampus ingin mencanangkan kurikulum cinta, maka ia harus berani mendefinisikan cinta sebagai nilai yang berpijak pada realitas. Bukan romantisme, bukan manipulasi emosional, bukan basa-basi. Cinta adalah fondasi kejujuran sistemik. Cinta adalah kesediaan untuk memperbaiki. Cinta adalah kemauan untuk mengakui kegagalan dan keberanian untuk menyusun langkah perbaikan yang nyata.

Cinta yang kita butuhkan bukan cinta yang memanjakan, tapi cinta yang membakar. Cinta yang membentuk, bukan meninabobokan. Cinta yang sanggup berkata, "Kita buruk, dan kita harus berubah." Cinta yang seperti ini adalah cinta yang menyelamatkan: dari kemunafikan, dari kebodohan yang dilembutkan oleh seremoni, dan dari kepalsuan yang tertawa di balik prestasi palsu.

Inilah cinta yang layak diajarkan dalam dunia pendidikan: cinta yang jujur, “keras kepala” dalam berpikir, dan tulus dalam memperbaiki.



Kurikulum Cinta: Menerima Kenyataan, Melawan Kepalsuan ala Matematika
Hamzah Aziz 30 أغسطس 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف