Suatu siang saat browsing di depan layar laptop, saya menemukan sebuah kutipan sederhana, sarat makna.
Di tulisan itu, ada kalimat yang membuat saya berhenti lama: “Pendidikan sejatinya adalah latihan mencintai.”
Kalimat itu mengingatkan saya pada ucapan guru saya di Madrasah Ibtidaiyah. Ia pernah berkata, “Belajar itu bukan supaya kau bisa mengalahkan temanmu, tapi supaya semakin dekat kepada Allah dan semakin sayang pada sesama.”
Saat kecil saya tidak betul-betul memahami maksudnya. Baru belakangan saya menyadari, inti dari keberagamaan yang hidup terletak pada satu kata: religiositas.
Religiositas bisa dijelaskan secara sederhana sebagai cara seseorang menghayati ajaran agama dalam hidupnya. Ia tidak hanya ada di kepala, tetapi juga terasa di hati dan terlihat dalam tindakan. Dalam bentuk yang paling murni, religiositas adalah iman yang diwujudkan lewat cinta.
Dari titik inilah saya merasa gagasan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) menemukan pijakannya. KBC bukan sekadar konsep pendidikan. Ia adalah ajakan untuk menempatkan cinta sebagai fondasi belajar. Semakin saya merenungkan hal ini, semakin jelas bahwa belajar tanpa cinta mudah berubah menjadi rutinitas kering.
Sebaliknya, ketika cinta mengiringi setiap langkah, ruang kelas bisa menjadi ruang ibadah, dan ilmu pengetahuan menjadi jalan pulang kepada kemanusiaan.
Ada empat pelajaran yang saya dapatkan dari perjumpaan antara religiositas dan KBC.
1. Belajar sebagai Ibadah yang Dilandasi Cinta
Belajar sering dipahami sebagai kewajiban akademik. Ada nilai yang harus dikejar, ada ujian yang harus dilewati. Namun, dalam bingkai religiositas, belajar adalah ibadah. Ibadah tidak pernah hanya soal kewajiban. Ia juga lahir dari cinta.
KBC mengingatkan bahwa belajar tanpa cinta hanyalah pengulangan hafalan. Guru yang mengajar dengan cinta akan menyentuh hati, bukan sekadar pikiran. Murid yang belajar dengan cinta akan menemukan makna, bukan sekadar nilai.
2. Ilmu yang Melahirkan Empati
Religiositas sejati tampak dari sikap sehari-hari. Itulah sebabnya ilmu yang dipelajari harus berbuah empati. KBC menekankan bahwa pengetahuan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk membangun kepedulian.
Seorang murid yang belajar sains dengan cinta akan menghargai alam. Seorang murid yang belajar agama dengan cinta akan memperlakukan sesama dengan lembut. Pendidikan semacam ini tidak berhenti pada gelar, tetapi menyentuh cara hidup.
3. Guru sebagai Teladan Hidup
Saya masih mengingat seorang dosen yang tidak pernah marah meskipun kami sering terlambat mengumpulkan tugas. Ia selalu berkata, “Yang saya tunggu bukan tugasmu, tapi kesungguhanmu.”
Dari sikap itu saya belajar bahwa guru bukan hanya pengajar, melainkan teladan.
KBC menempatkan guru pada posisi itu. Bukan sekadar instruktur yang memberi aturan, melainkan sosok yang memperlihatkan bagaimana cinta bekerja dalam keseharian.
4. Pengetahuan yang Membebaskan
Ada kalanya ilmu dijadikan alat untuk menilai siapa yang lebih unggul. Padahal pengetahuan seharusnya membebaskan manusia dari ketakutan, bukan menindas dengan standar kaku.
KBC mengajarkan bahwa cinta adalah energi pembebasan. Ia membebaskan murid dari rasa takut gagal. Ia juga membebaskan guru dari keinginan untuk menguasai.
Pengetahuan yang lahir dari cinta menumbuhkan kerendahan hati. Semakin banyak kita tahu, semakin kita sadar betapa luasnya rahasia kehidupan.
Empat pelajaran ini menuntun saya pada satu kesadaran. Bahwa blajar bukan sekadar tentang berapa banyak yang bisa kita hafal. Belajar adalah tentang sejauh mana pengetahuan membuat kita lebih manusiawi. Mencintai sesama, mencintai semesta.
Sebagai penutup, Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Orang-orang yang penuh kasih sayang akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang di langit." (HR. Tirmidzi)