تخطي للذهاب إلى المحتوى

Kurikulum Cinta: Menyemai Pelayanan dengan Senyum, Sapa, dan Salam

Sirajuddin, M.Sos (Staf Adminstrasi Fakultas Tarbiyah, IAIN Parepare)
28 يوليو 2025 بواسطة
Kurikulum Cinta: Menyemai Pelayanan dengan Senyum, Sapa, dan Salam
Hamzah Aziz

Di tengah era pelayanan publik yang serba cepat dan birokratis, Kementerian Agama RI. mencoba menanamkan sesuatu yang tampak sederhana namun sarat makna: “Kurikulum Cinta”. Inisiatif ini bukan sekadar jargon, melainkan sebuah upaya serius untuk membangun budaya kerja yang berlandaskan pada nilai-nilai kasih, kemanusiaan, dan penghormatan antar sesama. Dalam kerangka ini, konsep senyum, sapa, dan salam (3S) menjadi fondasi utama dalam pelayanan publik yang manusiawi.

Kurikulum cinta bukan tentang teori cinta romantik, melainkan tentang cinta dalam makna universal: empati, ketulusan, keramahan, dan penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Di kantor-kantor layanan Kementerian Agama, mulai dari urusan pernikahan, pendidikan madrasah, hingga pelayanan haji, pendekatan ini diharapkan bisa menjadi wajah baru birokrasi: yang menyambut, bukan mencurigai; yang melayani, bukan menghakimi.

Mengapa senyum, sapa, dan salam? Karena ini adalah bentuk paling dasar dari penghormatan manusia terhadap manusia. Senyum membuka hati, sapa menghangatkan suasana, dan salam mempererat hubungan sosial. Dalam Islam sendiri, memberi salam adalah bagian dari ajaran sunnah yang sangat dianjurkan, bahkan dianggap sebagai pintu masuk terciptanya kedamaian. Maka tidak heran jika kurikulum cinta menekankan tiga elemen ini sebagai bentuk pelayanan spiritual dan sosial yang menyatu.

Namun, tantangan implementasi tidak kecil. Masih ada anggapan bahwa pelayanan adalah tugas rutin, bukan pengabdian. Masih ada keluhan masyarakat tentang pegawai yang cuek, birokrasi yang lambat, dan pelayanan yang tidak bersahabat. Di sinilah kurikulum cinta diuji: apakah mampu mengubah pola pikir dan budaya kerja dari sekadar menggugurkan kewajiban menjadi ladang pahala dan cinta kasih?

Untuk itu, kurikulum cinta tidak bisa sekadar slogan tempel di dinding kantor. Ia harus diwujudkan dalam pelatihan, pembiasaan, dan keteladanan. Para pemimpin satuan kerja harus menjadi teladan dalam 3S ini. Evaluasi pelayanan tidak hanya soal target administratif, tetapi juga soal kualitas interaksi. Apakah masyarakat merasa dihargai? Apakah mereka pulang dengan hati yang ringan dan penuh rasa hormat?

Kementerian Agama memiliki peran strategis dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan. Jika kurikulum cinta berhasil diinternalisasi, maka bukan hanya layanan publik yang membaik, tetapi juga wajah agama yang lebih teduh, toleran, dan penuh cinta akan semakin tampak nyata di tengah masyarakat.

Akhirnya, kita perlu bertanya kepada diri sendiri, bukan hanya sebagai aparatur negara, tetapi sebagai manusia: Sudahkah hari ini kita memberi senyum, menyapa dengan ramah, dan menyebar salam kepada sesama? Jika belum, mungkin kurikulum cinta juga perlu diterapkan di hati kita masing-masing.

Kurikulum Cinta: Menyemai Pelayanan dengan Senyum, Sapa, dan Salam
Hamzah Aziz 28 يوليو 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف