Dosen adalah profesi mulia. Tidak semua orang memenuhi syarat untuk menyandangnya. Dalam pandangan banyak ulama, pekerjaan ini adalah amal jariyah, pahalanya mengalir bahkan berabad setelah sang pemiliknya wafat. Ilmu yang diajarkan hari ini akan diwariskan, diturunkan, dan diamalkan lintas generasi.
Namun, kemuliaan ini akan runtuh jika yang mengenakannya memilih menjadi “kuttu”. Dalam budaya Bugis, Makassar, dan Mandar, kuttu berarti malas, enggan bergerak. Istilah ini mencuat dalam rapat akademik IAIN Parepare baru-baru ini, memantik tawa getir sekaligus rasa prihatin.
Kriteria “dosen kuttu” ternyata panjang: datang hanya untuk melakukan perekaman kehadiran pagi-sore lalu menghilang, sulit ditemui mahasiswa, menghindari amanah kepanitiaan, membimbing setengah hati, tak menyiapkan perangkat pembelajaran, dan malas masuk kelas.
Sikap ini bukan sekadar cacat pribadi, ini adalah aib akademik. Masyarakat yang melihat dosen IAIN seperti ini akan menyimpulkan: “to makuttu” mengajar. Akibatnya, orang tua ragu memasukkan anaknya ke kampus ini. Mahasiswa pun bisa melarang adik atau saudaranya mendaftar. Ujungnya: reputasi rusak, jumlah mahasiswa turun, dan yang bersangkutan dicap sebagai biang kerok kemunduran.
Kita sedang menyongsong 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari mental kuttu. Jangan biarkan penyakit ini bercokol di ruang-ruang akademik kita.
Sudah saatnya penyakit kuttu tidak lagi dibiarkan tumbuh di ruang akademik. Lembaga pendidikan harus berani memberikan sanksi tegas kepada dosen yang lalai terhadap amanahnya, mulai dari pengurangan jam mengajar, penghapusan tugas pembimbingan, hingga pengumuman terbuka agar menjadi pelajaran bagi yang lain. Sanksi ini bukan bentuk dendam, melainkan upaya menjaga marwah lembaga dan melindungi hak mahasiswa untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Selain sanksi, diperlukan pembinaan yang sistematis, seperti teguran lisan dan tertulis, disertai penilaian kinerja (SKP) yang objektif dan transparan. Langkah ini sejalan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam—mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran—serta prinsip malilu sipakainge dalam budaya Bugis-Makassar, yakni saling mengingatkan ketika ada yang keliru.
Jika pembinaan tidak membuahkan perubahan, maka penundaan kenaikan pangkat adalah konsekuensi logis. Hal ini sejalan dengan teori adab menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang menekankan bahwa kemunduran peradaban sering kali bermula dari hilangnya adab, yakni ketidaktahuan seseorang akan tempatnya yang tepat dalam tatanan ilmu dan tanggung jawab. Dosen yang mengabaikan tugas berarti telah kehilangan adab terhadap ilmu, mahasiswa, dan lembaga. Maka, pemulihan adab harus menjadi prioritas, bahkan jika itu memerlukan langkah-langkah tegas demi menjaga kehormatan profesi akademik.
Kampus adalah rumah ilmu. Mari pastikan ia dihuni oleh mereka yang menjaga nyala lampunya, bukan memadamkannya.