Dalam dunia linguistik, struktur kalimat bukan sekadar tata aturan, melainkan cermin logika, etika, dan relasi antar makna. English Structure tidak hanya mengatur subject dan predicate, tetapi juga menjalin coherence antara clause serta merepresentasikan waktu dan tindakan secara akurat. Namun, di luar tataran sintaksis, struktur paling mendasar bagi kemanusiaan justru adalah cinta, fondasi etis yang menghidupkan setiap makna.
Program Kurikulum Cinta dan Asta Protas yang diinisiasi Kementerian Agama Republik Indonesia menghadirkan paradigma baru dalam dunia pendidikan. Pendidikan tak lagi sekadar transmisi kognitif, melainkan transformasi afektif. Di tengah krisis sosial dan ekologi, pendekatan berbasis cinta, empati, dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi urgensi yang tak bisa diabaikan.
Dalam ilmu linguistik, kalimat seperti She helps him tampak sederhana, namun mengandung relasi mendalam antara subjek, tindakan, dan objek. Begitu pula dalam masyarakat: manusia saling terhubung, lingkungan menjadi objek tindakan kolektif, dan pendidikan menjadi agen perubahan. Ketika struktur sosial kehilangan sintaksis moral, arah dan makna pun menjadi kabur.
Inilah relevansi Kurikulum Cinta: membangun struktur sosial yang utuh, menjadikan cinta sebagai subjek perubahan, dan menyusun ulang relasi antar manusia dalam bingkai spiritualitas dan kasih. Survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I‑NAMHS) tahun 2023-2024 menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 3 remaja (33%) mengalami 'mental health problem' dalam 12 bulan terakhir, dan sekitar 5% mengalami gangguan mental sesuai DSM‑5. Gangguan kecemasan dan depresi menjadi yang paling dominan. Temuan ini menegaskan pentingnya pendekatan pendidikan yang tidak hanya fokus pada nilai akademik, tetapi juga ketahanan mental dan emosional peserta didik.
Pendekatan afektif dalam Kurikulum Cinta membuka ruang bagi penyembuhan dimensi psikososial peserta didik. Kecintaan terhadap ilmu, empati kepada sesama, serta penghargaan terhadap bumi dibingkai dalam pembiasaan spiritual dan pembelajaran kontekstual. Asta Protas Kementerian Agama menegaskan delapan pilar transformasi, termasuk moderasi beragama, digitalisasi, dan kepedulian ekologis. Semuanya mendukung visi pendidikan yang berkarakter dan berkelanjutan.
Dalam pembelajaran English Structure, konsep-konsep tata bahasa dapat diselaraskan dengan semangat kurikulum ini. Misalnya, kalimat seperti We have polluted the river bukan hanya menjelaskan present perfect tense, tetapi juga merefleksikan dampak ekologis yang terus berlangsung. Kalimat menjadi cermin kesadaran, bukan sekadar latihan gramatikal.
Bahasa asing kerap dianggap sebagai benteng kelas sosial. Semakin fasih, semakin eksklusif. Namun dalam visi Kurikulum Cinta, bahasa harusnya menjadi jembatan yang menyatukan dan menguatkan empati, bukan sekadar kompetensi. Grammar bukan semata aturan, tetapi kesepakatan moral. Sebagaimana pentingnya subject-verb agreement, demikian pula pentingnya kesepakatan sosial: menjaga lingkungan, menghargai sesama, dan bersikap adil.
Pendidikan bahasa perlu diarahkan untuk tidak hanya mencetak generasi yang mampu berbicara, tetapi juga mampu mendengar. Tidak hanya mampu menyusun kalimat, tetapi juga mampu menyusun sikap. Kalimat seperti She shares knowledge with her friends bisa menjadi pintu pembuka untuk nilai-nilai kolaborasi, kepedulian, dan cinta terhadap sesama.
Struktur kalimat yang baik mencerminkan pikiran yang jernih. Maka, mengajarkan grammar adalah juga mengajarkan cara berpikir terstruktur, disiplin, dan reflektif. Dalam konteks Kurikulum Cinta, grammar dapat menjadi medium untuk menanamkan nilai. Idiom seperti Actions speak louder than words tak hanya memperkaya kosakata, tetapi juga memperdalam karakter.
Penggunaan materi ajar yang mengaitkan bentuk gramatikal dengan isu sosial dan lingkungan dapat menjadi langkah strategis. Kalimat-kalimat yang dipilih bukan hanya untuk melatih tense, tetapi juga untuk menanamkan sense. Misalnya, They recycle plastic every day bukan hanya simple present tense, tetapi juga sebuah ajakan ekologis.
Di tengah meningkatnya suhu emosi sosial, ancaman degradasi lingkungan, dan lemahnya empati antar generasi, pendidikan harus melompat dari rel yang lama menuju jalur yang lebih bermakna. Kurikulum Cinta dan Asta Protas menawarkan peluang untuk menyelaraskan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam pembelajaran termasuk dalam pengajaran bahasa asing.
Dengan menjadikan cinta sebagai subjek, pendidikan sebagai verba, dan lingkungan sebagai objek, maka masa depan Indonesia dapat ditulis ulang dalam kalimat yang utuh dan penuh makna: We love, we learn, we live together.