Menyongsong 80 tahun Kemerdekaan RI yang diperingati setiap 17 Agustus, bangsa ini merayakan momentum sakral yang menyatukan seluruh rakyat. Kebahagiaan itu lahir karena kemerdekaan telah melekat dalam jiwa: bebas dari cengkeraman kolonialisme. Secara simbolik, delapan dekade telah berlalu sejak Indonesia meraih kemerdekaan dari imperialisme dan berdiri sebagai negara merdeka serta berdikari. Beragam seremoni menjadi ekspresi kebanggaan sekaligus selebrasi kebebasan.
Merdeka adalah impian setiap manusia dan bangsa, hak esensial yang mengangkat harkat kemanusiaan, membuka ruang berkreasi, berekspresi, bekerja, beridentitas, memilih, serta hidup aman dan nyaman. Negara wajib hadir memastikan setiap warga dapat hidup damai dan bahagia, memfasilitasi mereka menikmati udara segar kemerdekaan. Negara pun menyediakan suprastruktur dan infrastruktur agar setiap warga dapat merayakan kemerdekaan hakiki.
Hak fundamental warga negara adalah memperoleh pendidikan layak untuk membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan adalah sendi utama berbangsa dan bernegara, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan politik telah mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan (sekitar Rp724,3 triliun pada 2025), menegaskan bahwa spirit utama kemerdekaan terletak pada pendidikan. Pendidikan adalah pendobrak ketertindasan, pemacu kebangkitan, dan motor transformasi sosial. Mengisi kemerdekaan butuh manusia berkualitas, dan pendidikan—terutama perguruan tinggi—adalah kuncinya. Pertanyaannya: mampukah perguruan tinggi mewujudkan kemerdekaan yang substansial?
Imperialisme Perguruan Tinggi: Antara Sangka dan Angka
Perguruan tinggi adalah persemaian peradaban. Dari sinilah lahir komunitas terdidik, motor penggerak pencerahan dan pencerdasan umat. Idealisme, objektivitas, rasionalitas, dedikasi, nilai, dan religiusitas seharusnya menjadi napas kampus.
Namun, tren kampus kini menunjukkan degradasi moralitas akademik. Dialektika gagasan yang seharusnya sakral di mimbar kebebasan akademik, perlahan terpinggirkan oleh hegemoni tunggal. Imperialisme intelektual mengintai, membatasi keberagaman pandangan. Ide kritis sering dianggap pembangkangan. Kang Jalal pernah mengingatkan: “Ulama, guru, dan orang tua bersekongkol mengkerdilkan anak bangsa.”
Kampus kerap terjebak dalam tarik-menarik birokrasi dan korporasi—antara profit dan benefit. Dalam skema PTN-BH atau PTN-BLU, kemandirian finansial sering berujung pada kapitalisasi sumber daya. Mahasiswa menjadi objek eksploitasi melalui UKT, sementara pengelola kampus mengejar peringkat dan apresiasi.
Sebagai birokrasi, kampus menuntut disiplin prosedural, tetapi kerap mengorbankan kreativitas dan inovasi. Critical thinking menjadi lip service. Kinerja dosen dinilai dari presensi, sementara kualitas riset dan publikasi sering dikompromikan demi memenuhi target administratif. Mahasiswa pun ikut terjebak dalam rutinitas akademik tanpa makna.
Program pendidikan juga menghadapi dilema antara orientasi sains dan pasar. Menguatkan sains bisa melemahkan pasar, begitu pula sebaliknya. Upaya mengakomodasi keduanya sering pragmatis. Kurikulum terus dirombak, tetapi implementasi di kelas kembali pada pengalaman lama dosen. Hasilnya, dosen stres, mahasiswa frustrasi, dan “kemerdekaan” akademik hanyalah soal sangka dan angka.
Mutu kampus diukur melalui indikator birokrasi yang kerap lebih mementingkan citra daripada substansi. Pencapaian angka bisa seperti permainan catur yang tidak selalu mencerminkan kualitas nyata. Perburuan mutu justru membuat inovasi kaku, membunuh idealisme, dan menumbuhkan budaya korporatis di dunia akademik.
Kampus akhirnya lebih fokus melahirkan lulusan siap pakai sesuai kebutuhan pasar ketimbang membentuk insan berperadaban. Kesuksesan alumni diukur dari gaji, bukan kemanfaatan bagi masyarakat. Misi sebagai khalifah fil ardh pun kian terpinggirkan.
Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia adalah momen refleksi. Kemerdekaan simbolik selalu kita rayakan, tetapi kemerdekaan substantif masih terus diperjuangkan. Kampus, sebagai institusi elit berwibawa, mestinya menjadi motor lahirnya kemerdekaan sejati, bukan terjebak dalam hipokrisi kebebasan atau hegemoni politik-ekonomi.
Momentum ini seharusnya mendorong kampus meninjau kembali perannya sebagai elan vital peradaban, tujuan utama ilmu pengetahuan, dan rumah pengembangan kualitas manusia. Kampus harus menjadi “destinasi sains” bagi anak bangsa, bukan sekadar pabrik tenaga kerja.
Dubito, ergo cogito, ergo sum.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.