تخطي للذهاب إلى المحتوى

Naia Mappoji ri Ati: Ikatan Cinta dalam Laboratorium Kehidupan

Nur Yusaerah, M.Si. (Dosen Tadris IPA)
26 يوليو 2025 بواسطة
Naia Mappoji ri Ati: Ikatan Cinta dalam Laboratorium Kehidupan
Suhartina

Orang tua Bugis dahulu berpesan, “Naia mappoji gau’ ri ati, naia mapaccing rilaleng.” Yang berarti yang lahir dari hati yang tulus, akan menjernihkan hasil akhirnya. Dalam dunia kimia, saya menyaksikan kebenaran itu dalam setiap reaksi dimana hasil terbaik hanya muncul ketika unsur-unsur bertemu dalam kondisi yang tepat dan saling mendukung. Dalam pendidikan, unsur itu adalah cinta. Suhu, pH, tekanan, dan katalis harus diatur dengan presisi untuk memastikan reaksi berjalan optimal. Begitu pula dalam pendidikan, suasana batin, dukungan sosial, dan kasih sayang menjadi faktor penentu keberhasilan belajar.

Kurikulum tanpa cinta ibarat larutan tanpa pelarut. Semua bahan boleh jadi tersedia, tetapi tidakk akan pernah menyatu. Pendidik dan peserta didik menjadi dua zat asing yang sekadar berdampingan, tetapi tidak pernah benar-benar berikatan, tidak terjadi difusi gagasan dan tidak ada perpindahan energi emosional yang membangkitkan semangat. Akhirnya, ruang kelas hanya menjadi wadah kosong tanpa reaksi kehidupan. Di laboratorium kehidupan ini, proses belajar menjadi dingin, mekanistik dan kehilangan makna batiniah. Padahal, hakikat pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses sintesis nilai dan kemanusiaan.

Sebagai seorang akademisi di bidang kimia, saya percaya bahwa cinta adalah katalis utama dalam pembelajaran yang tidak mengubah hasil akhir, tetapi mempercepat dan mempermudah jalannya proses reaksi berlangsung. Cinta menciptakan suasana yang aman di ruang kelas, membangkitkan keberanian peserta didik untuk bereksperimen, serta memupuk kesabaran pendidik dalam membimbing. Disinilah pendidikan menemukan “energi aktivasi”-nya yakni dorongan batin yang menghidupkan.

Dalam budaya Bugis, pendidikan bukan hanya soal pengajaran, tetapi pewarisan nilai. Anak-anak tidak sekadar diajari rumus dan konsep, tetapi juga ditanamkan makna hidup melalui nilai-nilai siri’ (harga diri) dan pacce (empati). Kurikulum berbasis cinta sesungguhnya mengakar kuat dalam falsafah ini dimana memanusiakan proses belajar dan menjadikannya ruang tumbuh bagi jiwa dan akal.

Pendidikan rahmatan lil ‘alamin hanya bisa lahir dari kurikulum yang dirancang dengan cinta sebagai intinya. Cinta pada ilmu menumbuhkan kehausan belajar. Cinta pada sesama melahirkan solidaritas. Cinta pada Sang Pencipta membentuk kesadaran spiritual. Ketiga bentuk cinta ini berikatan membentuk pribadi yang utuh yang mampu berpikir kritis sekaligus memiliki kepekaan empatik dimana tidak hanya memahami konsep secara rasional, tetapi juga menghayatinya secara emosional dan moral dalam kehidupan nyata.

Seorang peserta didik yang mempelajari reaksi logam berat dalam pencemaran air, misalnya, idealnya tidak hanya menghafal reaksi redoks, tetapi juga ditumbuhkan rasa cintanya pada sungai ataupun pada kehidupan yang terancam oleh limbah. Cinta menjembatani teori dengan tanggung jawab. Seperti prinsip green chemistry, proses belajar pun harus berkelanjutan, ramah, dan bermakna.

Kini, saatnya pendidikan berhenti menjadi pabrik yang mengejar angka, tetapi harus menjadi laboratorium kehidupan, yaitu sebagai tempat dimana anak-anak tidak hanya menghafal rumus, tetapi juga belajar menjadi manusia yang menghargai proses, peka terhadap lingkungan, dan bertanggung jawab terhadap dampaknya. Di ruang laboratorium yang sesungguhnya, saya sering menyaksikan betapa peserta didik lebih antusias saat praktikum melibatkan makna, bukan sekadar hasil. Ketika mereka mengetahui bahwa eksperimen atau paktikum yang dilakukan berdampak nyata pada kehidupan sekitar, semangat belajar terbangun secara reflektif.

Cinta adalah unsur paling reaktif dalam pendidikan. Energinya tidak tertulis dalam rancangan kurikulum, tetapi terasa dalam setiap senyum pendidik, semangat peserta didik, dan atmosfer ruang kelas yang hangat. Dan sebagaimana dikatakan leluhur kita “naia mappoji gau’ ri ati”, hanya yang dikerjakan dengan hati yang akan bertahan lama dan berbuah berkah.

Naia Mappoji ri Ati: Ikatan Cinta dalam Laboratorium Kehidupan
Suhartina 26 يوليو 2025
شارك هذا المنشور
علامات التصنيف
الأرشيف