تخطي للذهاب إلى المحتوى

Nanning, Nur Asiza, dan Annisa Ahmad Riset: Nilai Filosofis Nene' Mallomo Bentuk Guru Bahasa Inggris Berintegritas di Era Modern

18 ديسمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Di tengah arus globalisasi pendidikan yang seringkali mengikis identitas budaya, bagaimana seorang guru dapat tetap berpegang pada akar budayanya sambil memenuhi standar profesional global? Pertanyaan ini menjadi krusial, terutama di daerah-daerah pascakolonial yang masih bergulat dengan warisan model pendidikan Barat. Model kompetensi guru yang didominasi paradigma Barat kerap mengabaikan dimensi moral dan etika yang berakar pada kearifan lokal.


Dalam riset berjudul “An Exploration of Nene' Mallomo's Philosophical Values in Enhancing English Teachers' Competence: A Study in Sidrap Regency” yang dilakukan oleh Nanning, Nur Asiza, dan Annisa Ahmad dari IAIN Parepare, ditemukan bahwa nilai-nilai filosofis Nene' Mallomo, seorang tokoh moral Bugis abad ke-18 dari Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, dapat menjadi landasan kuat untuk pengembangan kompetensi personal guru bahasa Inggris. Riset ini menawarkan kerangka kerja yang responsif secara budaya, menyatukan dimensi moral, spiritual, dan intelektual dalam profesionalisme guru, sekaligus mendekolonisasi pendidikan guru.


Melampaui Standar Teknis: Filosofi Nene' Mallomo sebagai Fondasi


Kompetensi personal guru, yang mencakup integritas, stabilitas emosional, disiplin, dan teladan moral, diakui sebagai inti profesionalisme guru di Indonesia. Namun, seringkali aspek ini kurang berkembang dan tertutup oleh kompetensi pedagogis serta teknis. Riset ini menyoroti bagaimana ajaran Nene' Mallomo — yang dikenal sebagai pappaseng atau pepatah bijak tradisional — memberikan solusi kontekstual.


Para peneliti mewawancarai sepuluh guru bahasa Inggris dari SMP di Kabupaten Sidrap. Hasilnya menunjukkan familiaritas yang mendalam terhadap prinsip-prinsip etika Nene' Mallomo. Nilai-nilai inti seperti malempu (kejujuran), getteng (konsistensi/keadilan), macca (kecerdasan), dan temmapassilaingeng (keadilan demokratis) diakui secara universal oleh para guru. Seorang guru SMP negeri (T4) menjelaskan bahwa Nene' Mallomo adalah sosok pejuang dan pemimpin Bugis yang dihormati, dan filosofinya relevan hingga kini. Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan sekadar warisan sejarah, melainkan panduan moral yang hidup dan relevan dalam praktik profesional.


Integritas Penilaian dan Stabilitas Emosional Guru


Prinsip malempu (kejujuran) menjadi nilai yang paling menonjol dan konsisten diterapkan, terutama dalam konteks penilaian. Kesepuluh guru secara eksplisit membahas penerapan kejujuran dalam asesmen. Sembilan dari sepuluh guru menekankan pentingnya instruksi kepada siswa untuk menyerahkan pekerjaan otentik yang mencerminkan hasil belajar sesungguhnya, bukan mengejar nilai tinggi dengan cara tidak jujur.


Seorang guru SMP negeri (T1) menyatakan, “Saya selalu mengatakan kepada siswa, meskipun nilaimu rendah, jujurlah. Jangan mencontek. Itulah yang diajarkan Nene' Mallomo — malempu.” Guru-guru juga menghadapi dilema etis ketika tekanan institusional untuk menaikkan nilai (grade inflation), yang dikenal sebagai “bengkel nilai,” bertentangan dengan komitmen mereka terhadap kejujuran. Namun, mereka tetap berpegang pada pelaporan nilai otentik sambil menawarkan kesempatan remedial tanpa mengorbankan kebenaran. Ini menunjukkan integritas profesional yang kuat di tengah tantangan sistemik.


Selain kejujuran, prinsip getteng (stabilitas emosional/konsistensi) sangat menonjol dalam cara guru mengelola situasi sulit. Semua partisipan membahas dimensi ini. Sembilan dari sepuluh guru mengartikulasikan keharusan profesional untuk tetap tenang saat menghadapi perilaku siswa yang sulit. Seorang guru SMP negeri (T2) menjelaskan, “Kita harus tetap sabar menghadapi kepribadian siswa yang beragam dan terkadang provokatif. Fondasi agama yang kuat memungkinkan guru untuk menjaga kesabaran, mencegah eskalasi melalui kontrol emosi dan doa bersama.” Pengelolaan emosi yang canggih ini, termasuk penekanan afektif yang disengaja dan pemantauan diri, menjadi kunci untuk mempertahankan profesionalisme di kelas.


Kecerdasan Adaptif dan Pengembangan Diri Berkelanjutan


Prinsip macca (kecerdasan) diwujudkan dalam komitmen guru terhadap pengembangan profesional berkelanjutan dan pedagogi adaptif. Delapan dari sepuluh guru secara substansial membahas dimensi ini. Mereka menekankan upaya mencoba berbagai strategi instruksional hingga menemukan pendekatan yang menciptakan pembelajaran bermakna. Seorang guru swasta (T3) menghubungkan ini dengan filosofi Nene' Mallomo: “Pappaseng ketekunan (atemmengingireng) membenarkan mencoba berbagai metode hingga kami menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.”


Para guru melakukan pra-asesmen untuk mengidentifikasi gaya belajar individu dan menerapkan metodologi yang beragam dalam satu sesi pelajaran. Seorang guru madrasah (T5) menambahkan adaptasi kontekstual, menggunakan praktik langsung dengan objek sehari-hari untuk membangun kosakata dan pemahaman, menyesuaikan diri dengan konteks lokal di mana siswa memiliki paparan bahasa Inggris yang terbatas. Tujuh dari sepuluh guru juga rutin mengikuti lokakarya dan sesi bimbingan teknis, menunjukkan komitmen terhadap peningkatan pengetahuan pedagogis mereka.


Demokrasi Kelas dan Batasan Profesional


Prinsip demokrasi temmapassilaingeng (keadilan demokratis) termanifestasi dalam komitmen guru terhadap partisipasi yang setara tanpa memandang tingkat kemampuan siswa. Sembilan dari sepuluh guru secara substantif membahas implementasi demokratis. Semua menekankan bahwa setiap siswa memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian guru. Seorang guru SMP negeri (T1) menegaskan, “Setiap anak memiliki hak yang sama, jadi mereka harus menerima perhatian yang sama dari guru. Guru tidak boleh menunjukkan favoritisme atau diskriminasi, tetapi harus terampil mengelola kelas agar semua siswa dapat menerima hak yang sama.”


Konsep otoritas (mappakalebbi) juga diinterpretasikan oleh guru sebagai upaya menjaga martabat profesional tanpa menjadi otoriter. Delapan dari sepuluh guru membahas dimensi ini. Mereka memahami otoritas berasal dari dua sumber: penampilan profesional yang pantas dan, yang lebih penting, keahlian materi pelajaran serta keterampilan pedagogis. Seorang guru swasta (T3) menjelaskan, “Siswa kontemporer secara kritis mengevaluasi kompetensi guru, menjadikan keahlian asli sebagai dasar rasa hormat, bukan kekuasaan posisi. Teknologi menyediakan informasi, sehingga guru harus menunjukkan kemampuan pedagogis yang unggul untuk mendapatkan penghargaan siswa.” Guru-guru berusaha menyeimbangkan peran sebagai pengajar, teman, dan mentor sambil mempertahankan batasan yang jelas.


Tantangan Struktural: Ketika Sistem Menguji Integritas


Meskipun terdapat komitmen filosofis yang kuat terhadap prinsip-prinsip Nene' Mallomo, para guru mengidentifikasi tantangan implementasi yang signifikan, menunjukkan ketegangan antara nilai-nilai ideal dan realitas praktis. Tantangan paling sering disebut adalah mempertahankan konsistensi (getteng), yang disebutkan oleh delapan dari sepuluh partisipan. Guru madrasah (T5) mencatat bahwa siswa membutuhkan pengingat terus-menerus untuk mematuhi nilai-nilai.


Tujuh dari sepuluh guru mengidentifikasi kurangnya rasa saling menghormati (sipakalebbi) di kalangan remaja kontemporer sebagai tantangan. Guru SMP negeri (T1) menjelaskan, “Kita melihat di lingkungan siswa saat ini bagaimana mereka mudah saling menghina — contoh kecil menunjukkan mereka tidak menghargai satu sama lain, mudah menggunakan bahasa kotor dan melakukan bullying tanpa menyadari bahayanya.” Selain itu, enam dari sepuluh guru juga menyoroti sifat jangka panjang pembentukan karakter yang membutuhkan upaya berkelanjutan selama bertahun-tahun, bukan intervensi singkat.


Kesenjangan kritis lainnya adalah integrasi prinsip Nene' Mallomo yang tidak memadai dalam materi kurikulum di luar kegiatan pembelajaran berbasis proyek terbatas. Seorang guru menyatakan, “Ada kebutuhan untuk integrasi yang lebih sistematis ke dalam buku teks dan kerangka penilaian.” Ini menunjukkan bahwa meskipun guru memiliki komitmen pribadi yang kuat, sistem pendidikan masih belum sepenuhnya mendukung internalisasi nilai-nilai lokal secara komprehensif.


Membangun Profesionalisme Guru yang Berakar Budaya


Riset ini menunjukkan bahwa kearifan moral pribumi dapat menjadi fondasi yang kuat untuk profesionalisme guru yang berakar budaya. Namun, implementasi yang bermakna memerlukan reformasi sistemik yang melampaui pelatihan guru individual. Ketika sistem pendidikan menyelaraskan insentif institusional dengan nilai-nilai budaya yang diartikulasikan, guru dapat menjalankan agensi moral otentik. Sebaliknya, ketika sistem bertentangan dengan prinsip-prinsip etika yang dinyatakan, bahkan pendidik yang sangat berkomitmen pun mengalami kesulitan moral dan implementasi.


Integrasi kearifan lokal Nene' Mallomo dalam teori kompetensi guru menawarkan alternatif dekolonial terhadap model profesional yang didominasi Barat. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan pascakolonial dapat memperoleh kekuatan dari warisan budaya sambil menghadapi tantangan pedagogis kontemporer. Pendekatan yang responsif secara budaya ini menghormati tradisi bukan melalui pelestarian statis, melainkan melalui adaptasi dinamis yang menjaga relevansi kearifan leluhur bagi generasi penerus. Jalan ke depan membutuhkan perayaan keterlibatan budaya guru yang canggih dan penanganan hambatan institusional yang mencegah nilai-nilai mereka berkembang dalam sistem pendidikan kontemporer.


Rekomendasi Kebijakan


Untuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta otoritas pendidikan provinsi:


1.  *Integrasi Kurikulum:* Mengembangkan kerangka kerja sistematis untuk memasukkan filosofi pribumi regional ke dalam program persiapan guru, memposisikan kearifan tersebut sebagai kerangka moral fundamental untuk pembentukan profesional, bukan konten budaya tambahan. Menetapkan pedoman nasional yang memungkinkan provinsi untuk mengintegrasikan tradisi kearifan yang relevan secara lokal sambil menjaga koherensi dengan standar pendidikan nasional.


2.  Reformasi Sistem Penilaian: Merevisi mekanisme akuntabilitas untuk mengurangi tekanan inflasi nilai yang memaksa guru memilih antara kejujuran dan kepatuhan institusional. Menerapkan kerangka penilaian otentik yang menghargai lintasan pertumbuhan perkembangan daripada metrik pencapaian absolut.


3.  Kerangka Evaluasi Kompetensi: Mendesain ulang instrumen evaluasi guru untuk secara eksplisit menilai dimensi kompetensi personal—termasuk kejujuran, stabilitas emosional, praktik demokratis, dan keseimbangan otoritas—dengan sensitivitas yang tepat terhadap variasi kontekstual budaya.


4.  Infrastruktur Pengembangan Profesional: Mengalokasikan sumber daya untuk inisiatif pengembangan profesional regional yang mengintegrasikan tradisi kearifan lokal dengan pelatihan pedagogis kontemporer, sehingga memastikan pelestarian budaya dan peningkatan efektivitas pengajaran.


Apa Selanjutnya?


Penelitian di masa depan dapat memperluas studi ini ke studi komparatif di berbagai wilayah budaya di Indonesia. Desain kuantitatif atau metode campuran dapat mengeksplorasi dampak terukur dari integrasi nilai-nilai pribumi terhadap kinerja kelas guru, motivasi, dan hasil belajar siswa. Studi longitudinal juga akan memberikan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana keterlibatan berkelanjutan dengan kearifan lokal memengaruhi pembentukan identitas profesional seiring waktu. Selain itu, penting untuk menyelidiki bagaimana prinsip-prinsip Nene' Mallomo dapat berharmoni dengan kerangka moral lokal atau agama lainnya dalam lingkungan pendidikan yang pluralistik, memperdalam pemahaman tentang inklusivitas dalam pengembangan guru berbasis budaya.



Identitas Riset

Judul: An Exploration of Nene' Mallomo's Philosophical Values in Enhancing English Teachers' Competence: A Study in Sidrap Regency

Peneliti: Nanning, Nur Asiza, Annisa Ahmad

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 2020


Daftar Pustaka

Nanning, Nur Asiza, dan Annisa Ahmad. 2020.