Di tengah gempuran teknologi modern, tradisi pandai besi masih bertahan di berbagai pelosok Indonesia, salah satunya Panre Bessi di Palopo dan Bua, Sulawesi Selatan. Para pengrajin ini menciptakan parang yang kokoh dengan metode yang diwariskan turun-temurun, sebuah proses yang sarat akan intuisi dan pengalaman empiris. Namun, seberapa jauh kearifan lokal ini selaras dengan prinsip-prinsip sains yang diajarkan di bangku sekolah? Pertanyaan inilah yang menjadi inti penelitian yang mengungkap hubungan erat antara praktik tradisional dan ilmu fisika.
Dalam riset berjudul "EXPLORING PHYSICS PRINCIPLES IN INDIGENOUS PARANG-BLACKSMITHING KNOWLEDGE" yang dilakukan oleh Fajriyani, Nur Yusaerah, Dewi Safitri, dan Muhammad Ryamizard dari Institut Agama Islam Negeri Parepare, terungkap bahwa praktik penempaan parang tradisional Panre Bessi bukan sekadar keterampilan tangan biasa. Lebih dari itu, di dalamnya terkandung prinsip-prinsip fisika dan metalurgi yang kompleks dan dapat diverifikasi secara ilmiah. Studi ini menyoroti bagaimana pengetahuan empiris yang diakumulasikan selama bergenerasi-generasi secara intuitif menerapkan hukum-hukum alam yang mendasari kekuatan dan ketahanan sebuah bilah parang.
Membaca Suhu dari Warna Api: Radiasi Termal dalam Tungku Panre Bessi
Salah satu aspek paling menonjol dari keterampilan Panre Bessi adalah kemampuan mereka menentukan suhu logam hanya dengan melihat warnanya. Para pandai besi secara cermat mengamati perubahan warna besi dari merah jingga menjadi merah terang sebagai sinyal bahwa logam siap ditempa. Fenomena ini, yang bagi mereka adalah pengetahuan intuitif, sejatinya selaras dengan prinsip radiasi benda hitam (blackbody radiation) dalam fisika. Setiap benda panas memancarkan spektrum cahaya yang bergantung pada suhunya; semakin panas, warnanya semakin bergeser ke arah spektrum yang lebih terang.
Peneliti menemukan bahwa penilaian visual ini sangat akurat. Warna merah terang yang mereka jadikan patokan mengindikasikan bahwa logam telah mencapai suhu austenitisasi, rentang antara 700–900°C, di mana baja menjadi ulet dan ideal untuk dibentuk tanpa retak. Ini merupakan konsep fundamental dalam metalurgi yang dijelaskan oleh Callister dan Rethwisch (2010), menunjukkan bahwa pandai besi secara empiris memahami perilaku termal logam. Pemilihan bahan bakar juga tidak sembarangan. Arang tempurung kelapa dipercaya menghasilkan panas yang lebih tinggi dan lebih cepat, terutama jika dibantu dengan hembusan udara dari blower. Ini adalah aplikasi nyata dari prinsip energi pembakaran dan perpindahan panas secara konveksi, di mana aliran udara meningkatkan intensitas pembakaran dan efisiensi transfer panas (Bergman dan Levine 2019).
Harmoni Palu dan Logam: Deformasi Plastis dan Distribusi Gaya
Proses penempaan bilah parang melibatkan serangkaian pukulan palu yang terkoordinasi dan berirama. Jika dilakukan oleh dua orang, ritme pukulan harus seragam untuk memastikan bilah tidak retak. Selain itu, bilah harus terus diputar selama penempaan agar bentuknya simetris dan ketebalannya merata. Praktik ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang konsep fisika seperti gaya, impuls, momentum, dan deformasi plastis.
Pukulan palu yang berulang dan terdistribusi merata mentransfer energi ke logam, menyebabkannya mengalami deformasi plastis—perubahan bentuk permanen tanpa retak. Menurut Dieter (1961), kerja mekanis yang diterapkan di atas suhu rekristalisasi memungkinkan deformasi tanpa patah karena reorganisasi butiran dalam logam. Pemutaran bilah selama penempaan adalah strategi cerdas untuk memastikan distribusi tegangan yang seragam dan mencegah konsentrasi tegangan lokal yang bisa memicu keretakan atau pembentukan asimetris. Ini adalah contoh nyata pengendalian gaya dinamis dan distribusi tegangan yang efektif, sebuah keahlian yang hanya bisa dicapai melalui pengalaman bertahun-tahun.
Pilihan Media Pendingin: Mengendalikan Laju Pendinginan dan Transformasi Martensit
Tahap pengerasan atau pendinginan (quenching) adalah langkah paling krusial dalam pembuatan parang. Pandai besi secara cermat memilih media pendingin berdasarkan hasil yang diinginkan. Air, misalnya, diketahui dapat mengerasakan bilah dengan cepat, namun berisiko tinggi menyebabkan keretakan. "Jika terlalu panas lalu langsung dimasukkan ke air, akan retak," ujar salah satu informan (I1). Sebaliknya, minyak dianggap lebih aman karena mengurangi risiko retak dan bengkok. "Minyak lebih aman, tidak mudah mematahkan bilah," kata informan lain (I3).
Pemilihan media pendingin ini memiliki dasar ilmiah yang kuat terkait laju pendinginan, kejutan termal (thermal shock), dan transformasi fasa, khususnya pembentukan martensit. Pendinginan cepat dengan air menghasilkan struktur martensit yang sangat keras namun getas, rentan terhadap retakan akibat tegangan internal yang tinggi (Kobasko 1971; Andreansyah, Dewi Anjani, dan Naubnome 2024). Sementara itu, pendinginan dengan minyak menghasilkan laju pendinginan yang lebih moderat, memungkinkan transformasi baja yang lebih terkontrol dan menghasilkan bilah yang lebih tangguh dengan mengurangi risiko retak (Tambing et al. 2025). Pandai besi juga memiliki indikator kegagalan yang jelas: bilah yang berubah warna menjadi biru setelah pendinginan dianggap "lunak kembali," dan suara retakan kecil menandakan proses pendinginan gagal. Ini sesuai dengan literatur yang menjelaskan hubungan suhu-warna dan kerapuhan temper (Callister dan Rethwisch 2010).
Sentuhan Akhir: Panas Gesekan dan Pelunakan Termal
Tahap terakhir dalam pembuatan parang adalah pengasahan untuk mencapai ketajaman yang optimal. Proses ini juga dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Pandai besi tahu betul bahwa mengasah terlalu cepat bisa menyebabkan bilah menjadi panas berlebihan dan kehilangan ketajamannya. "Jika mengasah terlalu cepat, bilah menjadi panas dan kehilangan ketajaman," jelas seorang informan (I5).
Fenomena ini adalah demonstrasi konversi energi mekanik menjadi panas melalui gesekan. Panas berlebih yang dihasilkan selama pengasahan dapat menyebabkan pelunakan termal (thermal softening) atau temper reversal, yaitu proses pembalikan pengerasan baja yang telah dicapai. Dalam baja yang telah dikeraskan, panas berlebih dapat mengubah mikrostruktur kembali, mengurangi kekerasan yang diinginkan dan daya tahan ujung bilah (Dieter 1961). Oleh karena itu, pengasahan yang lambat dan terkontrol adalah cara pandai besi secara intuitif mengelola efek panas ini untuk mempertahankan kualitas bilah.
Keterkaitan erat antara kearifan lokal Panre Bessi dan prinsip-prinsip fisika formal menegaskan bahwa praktik tradisional ini bukan sekadar warisan takhayul, melainkan sistem pengetahuan ilmiah yang sah. Temuan ini membuka potensi besar untuk mengintegrasikan etnosains ke dalam kurikulum pendidikan fisika, khususnya dalam konteks Merdeka Belajar. Dengan demikian, siswa dapat belajar konsep perpindahan panas, transformasi fasa, sifat material, gaya mekanik, dan konversi energi melalui konteks yang relevan secara budaya dan otentik.
Integrasi etnosains tidak hanya memperkaya pendidikan fisika, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan literasi ilmiah siswa. Untuk melangkah lebih jauh, studi lanjutan dapat melibatkan validasi berbasis laboratorium, seperti analisis struktur metalografi atau uji kekerasan mekanis, untuk memberikan bukti kuantitatif yang lebih mendalam. Pengembangan model instruksional yang secara sistematis mengintegrasikan praktik teknologi adat ke dalam pembelajaran fisika juga menjadi langkah penting berikutnya, memastikan bahwa kekayaan pengetahuan lokal dapat bertransformasi menjadi sumber daya pendidikan yang berharga bagi generasi mendatang.
Identitas Riset
Judul: EXPLORING PHYSICS PRINCIPLES IN INDIGENOUS PARANG-BLACKSMITHING KNOWLEDGE
Peneliti: Fajriyani, Nur Yusaerah, Dewi Safitri, Muhammad Ryamizard
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka
Andreansyah, M., Anjani, R. D., & Naubnome, V. (2024). "Pengaruh Proses Heat Treatment (Quenching Dan Tempering) Terhadap Kekerasan Dan Struktur Mikro Baja Karbon Menengah” IX (1).
