Di tengah gemuruh ombak dan hiruk-pikuk pembangunan pesisir, seringkali kita menyaksikan proyek-proyek besar yang digagas pemerintah atau investor justru tak berjalan mulus. Infrastruktur baru sepi peminat, regulasi konservasi diabaikan, atau bahkan memicu resistensi masyarakat. Mengapa demikian?
Dalam riset berjudul “Socio-Cultural Foundations in Coastal Development Policies: A Blue Economy Assessment in North Sulawesi” yang dilakukan oleh Muhammad Majdy Amiruddin, Dian Reski Pangestu, Umaima, dan Rio Asmin dari IAIN Parepare, terungkap bahwa akar masalahnya terletak pada jurang pemisah antara kebijakan pembangunan dan sistem tata kelola budaya lokal yang telah mengakar kuat. Studi ini menegaskan bahwa fondasi sosio-kultural—seperti ritual keselamatan, praktik rasa syukur, kewajiban moral di laut, dan Pengetahuan Ekologi Tradisional (Traditional Ecological Knowledge/TEK)—bukan sekadar warisan simbolis, melainkan mekanisme tata kelola informal yang secara langsung memengaruhi cara komunitas pesisir berinteraksi dengan lingkungan dan infrastruktur maritim.
Ketika Ritual Membentuk Regulasi Tak Tertulis
Penelitian kualitatif ini, yang melibatkan lima lokasi pesisir di Sulawesi Utara—Paputungan, Nain, Likupang, Belang, dan pesisir utara Manado—menyoroti bagaimana praktik budaya menjadi penentu utama perilaku dan pengambilan keputusan. Ini termasuk cara nelayan mengelola risiko, memanfaatkan sumber daya laut, dan berinteraksi dengan fasilitas seperti dermaga, tempat pendaratan ikan, dan pondok operasional (daseng). Lebih dari sekadar kepatuhan teknis, efektivitas kebijakan sangat bergantung pada keselarasan dengan logika budaya setempat.
Misalnya, ritual keselamatan seperti Mandi Safar atau doa turun melaut bagi masyarakat pesisir di Paputungan dan Nain bukan hanya seremoni, melainkan cara menginternalisasi disiplin emosional dan navigasi yang hati-hati. Ritual ini membentuk persepsi risiko yang selaras dengan nilai-nilai moral dan spiritual. Begitu pula dengan syukuran laut setelah hasil tangkapan besar, yang memperkuat norma-norma kerja sama dan mengurangi kompetisi, mendorong pemanfaatan area komunal seperti daseng dan tempat pendaratan ikan secara kolaboratif.
Etika ekologi, seperti larangan moral menangkap tuna dengan jaring di Nain, atau TEK yang memungkinkan masyarakat Belang membaca awan, angin, dan aroma laut untuk memprediksi cuaca, menjadi panduan praktis yang tak tergantikan. Pengetahuan ini mengurangi ketergantungan pada intervensi teknis semata dan memastikan praktik penangkapan ikan yang selektif dan berkelanjutan. Bahkan, jaringan solidaritas maritim, di mana 14 dari 22 informan menegaskan kewajiban moral untuk saling membantu kapal yang kesulitan, berfungsi sebagai sistem keselamatan yang melengkapi prosedur formal.
Respons komunitas terhadap proyek infrastruktur yang kontroversial juga sangat dipengaruhi oleh budaya. Di pesisir utara Manado, praktik Soma Dampar—sebuah bentuk pertahanan spasial budaya—muncul sebagai respons terhadap inisiatif reklamasi pesisir. Ini menunjukkan bahwa resistensi bukanlah sekadar ketidaktahuan, tetapi keputusan yang didasari oleh nilai-nilai dan pandangan dunia yang kuat.
Tiga Pilar Ekonomi Biru yang Pincang
Paradigma Ekonomi Biru yang mengusung tiga pilar utama—People (Manusia), Planet (Lingkungan), dan Profit (Keuntungan)—seringkali gagal beresonansi dengan realitas di lapangan. Studi ini menemukan kesenjangan signifikan antara tujuan kebijakan makro dan kondisi mikro di Sulawesi Utara. Pilar People memang kuat dalam solidaritas komunitas dan mata pencarian berbasis perikanan, namun lemah dalam perlindungan struktural dan dukungan institusional bagi nelayan kecil.
Pada pilar Planet, meskipun kebijakan konservasi dan zona digital telah disusun rapi di atas kertas, praktik ekologi sehari-hari lebih banyak dipengaruhi oleh etika adat dan pengetahuan tradisional daripada regulasi formal atau teknologi modern. Adapun pilar Profit, meskipun menunjukkan potensi ekonomi yang besar dari perikanan industri, sangat rentan terhadap volatilitas pasar ekspor, biaya operasional tinggi, dan ketidakadilan daya tawar yang menguntungkan entitas besar ketimbang nelayan kecil.
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa kerangka 3P saat ini belum mampu mencakup sistem moral dan sosio-kultural yang mendukung aktivitas maritim berkelanjutan di komunitas pesisir. Kebijakan pembangunan pesisir yang ada gagal memahami bahwa keberlanjutan tidak hanya diukur dari indikator ekonomi dan ekologi yang terkuantifikasi, tetapi juga dari resonansi moral, ekspresi rasa syukur, dan kerendahan hati lingkungan yang dipegang teguh masyarakat.
Jembatan Antara Kebijakan dan Kearifan Lokal
Penelitian ini menegaskan bahwa pembangunan pesisir yang berkelanjutan memerlukan lebih dari sekadar investasi teknologi atau perluasan regulasi. Keberhasilan bergantung pada keselarasan dengan logika budaya yang melekat dalam komunitas maritim. Ketika kebijakan tidak selaras, norma budaya akan mengambil alih, terutama dalam keputusan terkait pemanfaatan ruang dan perilaku menghadapi risiko. Ini menjelaskan mengapa proyek infrastruktur terkadang kurang dimanfaatkan atau bahkan ditolak, meskipun telah menelan biaya besar.
Integrasi sistem sosio-kultural ke dalam kerangka kerja Ekonomi Biru memberikan pemahaman yang lebih kontekstual tentang keberlanjutan di pesisir Indonesia. Ini bukan hanya tentang menambal kekurangan teknis, melainkan mengatasi "ketidakcocokan budaya" yang menjadi hambatan signifikan dalam administrasi maritim. Dengan memahami logika budaya, kita dapat memprediksi intervensi mana yang akan diterima, dimodifikasi, atau ditolak oleh masyarakat.
Ke depan, para pembuat kebijakan harus mengakui bahwa efektivitas zonasi, peningkatan infrastruktur, dan upaya konservasi sangat bergantung pada keselarasan dengan sistem tata kelola budaya. Mengintegrasikan Pengetahuan Ekologi Tradisional dan praktik ritual keselamatan ke dalam perencanaan tata ruang maritim dapat meningkatkan komunikasi risiko dan memperkuat validitas budaya regulasi.
Melibatkan otoritas budaya—seperti pemimpin ritual, nelayan senior, dan pemegang pengetahuan ekologi—dalam konsultasi kebijakan akan memperkaya kerangka kerja tata kelola bersama dan meningkatkan kepatuhan. Perencanaan infrastruktur harus mempertimbangkan dampak norma budaya terhadap pemanfaatan fasilitas seperti dermaga dan tempat pendaratan ikan. Pembuat kebijakan perlu mengembangkan indeks kualitatif yang mencerminkan kepercayaan, legitimasi, dan etika lingkungan yang didefinisikan oleh komunitas, di samping metrik 3P konvensional. Strategi yang responsif secara budaya ini akan mengurangi konflik, meningkatkan keberlanjutan, dan mendorong hasil pembangunan pesisir yang lebih tangguh. Pada akhirnya, menghubungkan kebijakan dengan fondasi sosio-kultural memberikan cara yang lebih setara dan efektif untuk mengimplementasikan Ekonomi Biru.
Identitas Riset
Judul: Socio-Cultural Foundations in Coastal Development Policies: A Blue Economy Assessment in North Sulawesi
Peneliti: Muhammad Majdy Amiruddin, Dian Reski Pangestu, Umaima, Rio Asmin
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka
Amiruddin, M. M., Pangestu, D. R., Umaima, & Asmin, R. (2025). Socio-Cultural Foundations in Coastal Development Policies: A Blue Economy Assessment in North Sulawesi. Seminar Hasil Penelitian IAIN Parepare.
