تخطي للذهاب إلى المحتوى

Riset: Diplomasi Kerajaan Balanipa, Kunci Harmonisasi Multidimensi di Mandar

26 ديسمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Di tengah hiruk pikuk politik modern yang kerap diwarnai polarisasi, atau tantangan mengelola keberagaman sosial dan ekonomi, kita sering mencari-cari model ideal tata kelola yang mampu menjaga harmoni. Namun, bagaimana jika jawabannya justru tersembunyi jauh di masa lalu, dalam kearifan sebuah kerajaan maritim di Nusantara?


Dalam riset berjudul “Pitu Ba'bana Binanga: Jejak Diplomasi Kerajaan Balanipa dalam Harmonisai Politik, Agama, dan Ekonomi Mandar” yang dilakukan oleh A. Nurkidam, Usman, dan Najmu Zakib dari Institut Agama Islam Negeri Parepare, terungkap sebuah model diplomasi kuno yang tidak sekadar mengatur hubungan eksternal. Diplomasi Balanipa juga menjadi mekanisme internal untuk mengonsolidasikan politik, agama, dan ekonomi di wilayah Mandar selama abad XVI-XVII.


Mengenal Kerajaan Balanipa dan Konfederasi Pitu Ba'bana Binanga


Kerajaan Balanipa, yang mulai eksis pada awal abad ke-16, menjelma menjadi salah satu kekuatan maritim paling berpengaruh di Mandar, Sulawesi Barat. Posisi geografisnya yang strategis di jalur pelayaran utama Makassar, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Maluku, menjadikannya titik simpul perdagangan dan diplomasi antar kerajaan. Pergeseran orientasi dari agraris ke maritim, mirip dengan pengalaman Gowa-Tallo, membentuk struktur kekuasaan adaptif dan responsif terhadap dinamika eksternal, menjaga stabilitas sosial dan ekonomi dalam waktu panjang.


Transformasi politik dari kepemimpinan kolektif Tomakaka menjadi monarki di bawah Raja I Manyambungi Todilaling, pendiri Kerajaan Balanipa, adalah respons terhadap krisis politik dan ancaman eksternal. I Manyambungi, seorang panglima perang berpengalaman, memindahkan pusat pemerintahan dari pedalaman ke pesisir, dekat muara Sungai Balanipa. Setelah wafatnya, kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Tomepayung, yang menjadi arsitek utama konfederasi Pitu Ba'bana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai) dan mengintegrasikannya dengan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) melalui perjanjian Luyo. Perjanjian ini mengikat empat belas kerajaan Mandar dalam semangat sipamandar atau saling menguatkan.


Fondasi Filosofis: Sipamandar dan Sirumung Karaya


Diplomasi Balanipa dibangun di atas fondasi filosofis yang kuat, yakni nilai budaya sipamandar (saling menguatkan) dan sirumung karaya (musyawarah). Nilai-nilai ini membentuk karakter diplomasi yang non-agresif, partisipatif, dan berorientasi pada harmonisasi multilateral. Tim peneliti menegaskan bahwa filosofi ini tidak hanya menjadi retorika, melainkan panduan nyata dalam setiap keputusan dan interaksi Kerajaan Balanipa, baik internal maupun eksternal.


Sistem pemerintahan Balanipa juga terbilang relatif demokratis untuk zamannya, dengan mekanisme musyawarah yang disebut sirumung karaya. Sistem ini dilengkapi dengan sappulo sokko ada' (sepuluh jabatan adat) yang mengelola berbagai urusan, mulai dari hukum, administrasi, keamanan, hingga hubungan luar negeri. Ini menunjukkan bahwa konsensus dan partisipasi adalah inti dari tata kelola Balanipa.


Tiga Dimensi Harmonisasi Diplomasi Balanipa


1.  Harmonisasi Politik: Persekutuan dan Tata Kelola Kolektif


Dalam dimensi politik, tujuan utama diplomasi Balanipa adalah membangun dan mempertahankan persatuan konfederatif melalui Pitu Ba'bana Binanga dan integrasinya dengan Pitu Ulunna Salu. Ikrar sipamandar yang diucapkan di Luyo mengandung komitmen bahwa ancaman terhadap satu kerajaan adalah ancaman terhadap seluruh Mandar. Pembagian tanggung jawab pertahanan pun jelas: Pitu Ulunna Salu mengawasi ancaman dari pedalaman, sementara Pitu Ba'bana Binanga menjaga laut. “Para pendahulu telah memahami strategi politik dan pertahanan, di mana ketujuh kerajaan pantai memiliki tugas untuk siap menghadapi musuh dari laut,” ungkap Bapak Tammalele, seorang Sejarawan Mandar, menjelaskan kearifan ini.


Diplomasi Balanipa juga menjalin hubungan strategis dengan kerajaan besar di luar Mandar, seperti Gowa-Tallo, melalui kekerabatan dan perkawinan politik. Perjanjian dengan Kesultanan Bima pada tahun 1667, yang menyatakan rakyat Mandar dan Bima saling menerima serta musuh Mandar adalah musuh Bima, semakin memperkuat posisi Balanipa di kawasan. Harmonisasi politik ini berhasil menciptakan stabilitas internal, mengurangi konflik antarkerajaan, dan menjadikan Mandar kekuatan regional yang disegani.


2.  Harmonisasi Keagamaan: Islamisasi Akomodatif dan Integrasi Hukum


Dalam bidang agama, diplomasi Balanipa bertujuan menyebarkan Islam secara damai dan akomodatif, tanpa menyingkirkan tradisi lokal Mandar. Proses Islamisasi di Mandar berlangsung persuasif dan kultural, memanfaatkan jalur perdagangan maritim dan hubungan kekerabatan dengan Gowa-Tallo yang lebih dulu menerima Islam. Pada masa Raja Kakanna I Pattang (Raja ke-IV, 1608-1610 M), Islamisasi resmi terjadi di bawah pimpinan Ulama Abdurrahim Kamaluddin dari Gowa.


Islamisasi ini bersifat bertahap dan akomodatif terhadap budaya lokal, ditandai dengan penunjukan Maraqdia Syara' (hakim agama) yang mengatur kehidupan keagamaan. Integrasi hukum adat (adeq) dan hukum Islam (syara') dalam bentuk Parewa Saraq menunjukkan bahwa Balanipa tidak memilih antara adat atau syariat, melainkan memadukan keduanya dalam satu sistem hukum komprehensif. Bahkan ritual tradisional seperti kuliwa (ritual nelayan sebelum melaut) mengalami harmonisasi, dialihkan menjadi doa keselamatan kepada Allah, sehingga tradisi tetap hidup dengan substansi keagamaan yang sudah Islami.


3.  Harmonisasi Sosial-Ekonomi: Jaringan Perdagangan Inklusif


Secara ekonomi, diplomasi Balanipa menjaga kelancaran jaringan perdagangan pesisir yang menjadi urat nadi kehidupan Mandar. Balanipa berperan sebagai penghubung antara jalur perdagangan lokal Mandar dan jaringan regional Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Pelabuhan Para dan Babarura menjadi pusat pengumpul komoditas, memperkuat posisi Balanipa dalam jaringan perdagangan regional.


Kerajaan ini memiliki visi ekonomi yang terstruktur, salah satunya melalui pembentukan kelompok profesional Sappulo Sakka Manarang (sepuluh jenis kepandaian utama) yang mencakup pandai emas, pandai besi, pembuat perahu, dan lainnya. Sistem ini mendorong mobilitas sosial berdasarkan prestasi dan kontribusi, yang pada akhirnya membawa kemakmuran dan stabilitas ekonomi di masa Raja Tomepayung dan Todiboseang.


Faktor Penentu Keberhasilan Diplomasi


Praktik diplomasi Kerajaan Balanipa dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Secara internal, ikatan kekerabatan yang berakar dari mitos asal-usul bersama menjadi fondasi kultural yang kuat. Nilai sipamandar dan sirumung karaya menjadi landasan filosofis yang membentuk karakter diplomasi dialogis dan konsensus. Kepemimpinan karismatik I Manyambungi, dengan kapasitas militer dan modal simbolik, serta sistem pemerintahan berbasis adat dengan mekanisme musyawarah, turut memperkuat diplomasi Balanipa.


Faktor eksternal juga berperan signifikan. Hubungan strategis dengan Gowa-Tallo, jalur perdagangan maritim Selat Makassar yang membentuk orientasi ekonomi, serta tekanan VOC dan Belanda yang memaksa Balanipa melakukan diplomasi resistensi ekonomi, semuanya membentuk strategi diplomatik kerajaan ini. Bahkan, Perjanjian Bongaya yang mengubah tatanan geopolitik regional pun direspons dengan diplomasi rekonsiliasi dan aliansi, seperti perkawinan politik dengan Bone dan perjanjian dengan Kesultanan Bima untuk melawan kolonialisme.


Pelajaran dari Balanipa untuk Indonesia Kontemporer


Model diplomasi Kerajaan Balanipa menawarkan cetak biru berharga bagi Indonesia di era kontemporer. Ini relevan untuk penguatan demokrasi partisipatif, harmonisasi keberagaman, dan revitalisasi kearifan lokal. Konsep Sirumung Karaya dapat diadaptasi sebagai mekanisme pengambilan keputusan partisipatif dalam pemerintahan daerah, di mana setiap kebijakan publik lahir dari pertukaran pendapat dan kesepakatan bersama yang melibatkan beragam pemangku kepentingan, bukan hanya elite penguasa.


Prinsip sipamandar dapat diterjemahkan sebagai solidaritas sosial dan gotong royong dalam menghadapi tantangan pembangunan. Nilai politik santun dan non-konfrontatif yang menjadi ciri khas diplomasi Balanipa dapat menjadi model penyelesaian konflik sosial-politik, mengedepankan dialog, negosiasi, dan kompromi daripada kekerasan. Ini adalah sebuah seruan untuk mengintegrasikan kearifan lokal dalam tata kelola modern, membangun masyarakat yang lebih kohesif, adil, dan berdaya tahan di tengah kompleksitas global.


Identitas Riset

Judul: Pitu Ba'bana Binanga: Jejak Diplomasi Kerajaan Balanipa dalam Harmonisai Politik, Agama, dan Ekonomi Mandar

Peneliti: A. Nurkidam, Usman, Najmu Zakib

Institusi: Institut Agama Islam Negeri Parepare

Tahun: 2025

Daftar Pustaka

Aminuddin, A., Emy, E., & Nursahdi. (2022). Pembagian harta adat dan problematika pembagian di Desa Tammangalle Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Milkiyah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 1(1), 15–20. https://doi.org/https://doi.org/10.46870/milkiyah.v1i1.157

Arfah, M., & Sastrawati, N. (2024).