Perceraian, sebuah babak yang seringkali diwarnai luka dan ketidakpastian, menjadi tantangan berat bagi perempuan di Indonesia. Di tengah kompleksitas hukum, tekanan sosial, dan keterbatasan ekonomi, bagaimana perempuan dapat bangkit dan menuntut hak-haknya? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan di Sulawesi Selatan, sebuah wilayah dengan dinamika adat dan sosial yang kuat.
Dalam riset berjudul “Pemberdayaan Perempuan Melalui Advokasi Pasca Perceraian: Peran Mediator dalam Sistem Hukum di Sulawesi Selatan” yang dilakukan oleh Dr. Hj. Saidah, M.H. sebagai ketua, bersama Badruzzaman, S.Ag., M.H., Luthfiah. M, dan Nur Awaliyah dari IAIN Parepare, terungkap peran krusial mediator dalam mendampingi perempuan pasca perceraian. Penelitian tahun 2024 ini menyoroti kontribusi signifikan mediator, hambatan yang dihadapi perempuan, serta efektivitas pendekatan lintas sektoral dalam memberdayakan mereka.
Peran Vital Mediator dalam Advokasi Hukum dan Mediasi Humanis
Mediator tidak sekadar menjadi fasilitator penyelesaian sengketa, tetapi juga agen pencerahan hukum. Banyak perempuan pasca perceraian, terutama di Sulawesi Selatan, seringkali tidak memahami substansi putusan pengadilan, termasuk hak-hak fundamental seperti nafkah anak, nafkah iddah, dan prosedur administrasi. Muslindasari, Hakim Mediator pada Pengadilan Agama Mamuju, menjelaskan pentingnya edukasi ini. “Banyak perempuan tidak memahami isi putusan cerai. Jadi kami menjelaskan satu per satu hak yang melekat,” ujarnya. Ini mencakup hak atas nafkah anak, nafkah iddah, dan langkah administrasi setelah putusan.
Ketua Pengadilan Agama Parepare juga menggarisbawahi minimnya literasi hukum ini. “Sering kami temui perempuan yang tidak tahu bahwa mereka bisa meminta eksekusi atau komplain ke pengadilan jika haknya tidak diberikan,” katanya. Pendampingan intensif dari mediator menjadi krusial untuk memastikan proses penegakan hukum berjalan efektif dan berkelanjutan, mencegah hak-hak perempuan terabaikan.
Dalam aspek mediasi, peran mediator melampaui upaya perdamaian semata. Muslindasari menekankan mediasi sebagai langkah krusial yang meletakkan dasar bagi proses hukum selanjutnya. “Peran mediasi dalam perkara cerai sangat penting dan sesuai dengan amanat Perma terkait perintah mediasi jika para pihak hadir pada sidang pertama,” jelasnya. Kesepakatan dalam mediasi dapat memudahkan proses persidangan atau bahkan mengakhiri perkara dengan damai.
Panitera Pengadilan Agama Pinrang, yang juga bertindak sebagai mediator, menggunakan pendekatan humanis dengan mengangkat isu kesejahteraan dan masa depan anak sebagai fokus utama. “Nah, kalau kita memberikan pemahaman terutama yang bisa menjadi trik untuk bisa mengembalikan mereka ribut adalah jika mereka punya anak,” ujarnya. Ini menunjukkan bagaimana mediator berupaya menenangkan ego para pihak dengan menyentuh nilai-nilai kearifan lokal Bugis, sekaligus bertindak sebagai pelindung dan fasilitator komunikasi, terutama ketika perempuan takut menghadapi mantan suami.
Edukasi Sosial dan Penguatan Kemandirian Ekonomi
Lebih dari sekadar aspek hukum, mediator juga berperan dalam edukasi sosial dan penguatan kemandirian ekonomi perempuan. Banyak perempuan pasca perceraian kehilangan rasa percaya diri dan kebingungan memulai hidup baru. Muslindasari mengungkapkan, “Setelah perceraian, banyak perempuan kehilangan rasa percaya diri. Kami berikan informasi layanan sosial, seperti bantuan psikologis atau pelatihan keterampilan. Mereka harus tahu bahwa ada fasilitas yang bisa mereka akses.”
Panitera Pengadilan Agama Pinrang menambahkan, “Perempuan sering bingung mau mulai dari mana setelah bercerai. Kami edukasi soal pentingnya kemandirian ekonomi, bagaimana mengakses program pemerintah, dan bagaimana membangun jejaring sosial baru.” Edukasi ini penting agar perempuan tidak merasa sendirian dan tahu ke mana harus mencari bantuan, seperti yang ditekankan oleh Ibu Aliyah, Hakim Mediator pada Pengadilan Negeri Sungguminasa. “Kami arahkan mereka ke layanan PPA atau balai pemberdayaan jika dibutuhkan,” katanya, menyoroti pentingnya dukungan psikologis dan pelatihan keterampilan untuk kemandirian perempuan.
Hambatan Multidimensi yang Menghadang
Meski peran mediator sangat vital, perempuan pasca perceraian masih menghadapi hambatan multidimensi yang menghambat akses mereka terhadap hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi. Hambatan ini mencakup tiga kategori utama:
1. Literasi Hukum yang Rendah:* Ketidakpahaman terhadap prosedur dasar hukum, istilah hukum, dan isi putusan cerai membuat perempuan rentan dirugikan. Panitera Pengadilan Agama Pinrang sering menemui perempuan yang “tidak membaca putusannya sendiri. Mereka bilang tidak paham istilah hukum. Ini yang membuat mereka bergantung pada orang lain dan akhirnya mudah dirugikan.” Hal ini menciptakan jurang antara hak normatif dan realisasi hak substantif.
2. Ketergantungan Ekonomi dan Finansial:* Ketiadaan penghasilan independen menjadi faktor dominan. Muslindasari menyoroti, “Sebagian besar yang datang ke kami tidak punya penghasilan. Akhirnya mereka tidak berani menuntut haknya karena takut memperburuk hubungan dengan mantan suami yang masih menanggung kebutuhan anak.” Ketergantungan ini seringkali memaksa perempuan untuk “terpaksa diam” dan mengorbankan hak-hak mereka demi kelangsungan dukungan finansial dasar dari mantan suami.
3. Stigma Sosial dan Budaya Patriarkal:* Norma dan konstruksi sosial yang negatif terhadap perempuan bercerai menciptakan stigma berat. Bapak H. Syahbuddin, Hakim Mediator di Pengadilan Negeri Denpasar, menegaskan, “Stigma itu masih kuat. Perempuan yang bercerai dianggap membawa aib. Jadi mereka sungkan sekali mengurus hak-hak hukumnya karena takut dicap mencari masalah.” Tekanan untuk menjaga kehormatan keluarga dan menghindari gunjingan masyarakat seringkali lebih diprioritaskan daripada pemenuhan hak-hak individu, diperparah oleh nilai-nilai patriarki yang melarang perempuan “melawan laki-laki” di ranah hukum.
Membangun Ekosistem Dukungan Lintas Sektoral
Menghadapi kompleksitas ini, solusi efektif hanya dapat dicapai melalui pendekatan lintas sektoral yang terintegrasi. Pendekatan ini mengakui bahwa trauma pasca perceraian dan upaya penegakan hak melibatkan dimensi hukum, sosial, psikologis, dan ekonomi yang saling terkait erat. Intervensi yang terfragmentasi cenderung menghasilkan solusi yang rapuh dan tidak berkelanjutan.
Ibu Aliyah dari Pengadilan Negeri Sungguminasa menjelaskan perlunya koordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) untuk pendampingan lanjutan, seperti eksekusi nafkah atau sengketa hak asuh. “Pendekatan bersama membuat prosesnya lebih cepat,” katanya. Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya peran Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Polisi Anak, dan lembaga konseling lainnya untuk pendampingan dan pemulihan mental, menumbuhkan kepercayaan diri, serta membekali perempuan dengan keterampilan kerja esensial. Sinergi ini memastikan pemenuhan hak perempuan tidak berhenti pada pengakuan normatif, tetapi terjamin dalam pelaksanaan nyata.
Untuk masa depan, diperlukan kolaborasi lintas lembaga yang kuat: Pengadilan dan LBH untuk mekanisme hukum; Dinas Sosial dan Lembaga Konseling untuk dukungan psikososial; serta Lembaga Pemberdayaan Ekonomi untuk pelatihan keterampilan, akses modal usaha, dan informasi kerja. Pendekatan holistik ini diharapkan mampu mengubah perempuan dari subjek yang rentan menjadi agen perubahan yang berdaya di komunitasnya, menciptakan keadilan substantif dan pemberdayaan berkelanjutan bagi perempuan pasca perceraian di Sulawesi Selatan.
Identitas Riset
Judul: Pemberdayaan Perempuan Melalui Advokasi Pasca Perceraian: Peran Mediator dalam Sistem Hukum di Sulawesi Selatan
Peneliti: Dr. Hj. Saidah, M. H, Badruzzaman, S. Ag., M.H, Luthfiah. M, Nur Awaliyah
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2024
Daftar Pustaka
Hammad, Muchammad. 2014. “HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN: Nafkah Iddah Talak Dalam Hukum Keluarga Muslim Indonesia, Malaysia, Dan Yordania.” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 7 (1): 17–28.

