Di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan modernitas, banyak masyarakat berjuang mempertahankan identitas budaya dan moralitas kolektifnya. Nilai-nilai lokal sering tergerus, tergantikan oleh budaya pop yang seragam, atau bahkan memicu krisis identitas. Namun, di balik kerentanan ini, beberapa komunitas justru menemukan kekuatan dalam warisan kearifan lokal mereka, menjadikannya benteng moral dan sosial yang tangguh.
Salah satu contoh menarik datang dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Dalam riset berjudul “Islam dan Budaya Lokal: Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Tradisional Bima” yang dilakukan oleh Saidin Hamzah, Abdul Azis, dan Fardilla dari Institut Agama Islam Negeri Parepare pada tahun 2025, terungkap bagaimana ungkapan tradisional yang dikenal sebagai Nggusu Waru menjadi inti dari filosofi hidup masyarakat Bima. Ungkapan ini tidak sekadar ekspresi bahasa, tetapi pedoman moral, spiritual, dan sosial yang telah terintegrasi kuat dengan ajaran Islam, membentuk karakter masyarakat Bima yang unik dan berintegritas.
Perjalanan Islam dan Akulturasi Budaya di Bima
Interaksi antara Islam dan budaya lokal Bima memiliki sejarah panjang, bermula dari kedatangan para pedagang Muslim dari Makassar dan Kesultanan Gowa. Proses islamisasi di Bima tidak terjadi secara instan atau melalui penolakan terhadap tradisi yang sudah ada. Sebaliknya, para mubalig dan tokoh agama memilih pendekatan akomodatif. Mereka tidak menyingkirkan tradisi lama, melainkan mengakomodasinya dan mengisinya dengan makna baru yang Islami. Pendekatan ini membuat Islam mudah diterima, hadir sebagai penyempurna, bukan sebagai ancaman.
Akulturasi yang harmonis ini melahirkan “perkawinan budaya” yang memperkaya identitas Bima dengan nilai-nilai ketauhidan, moralitas, dan keadilan. Islam tidak hanya menjadi agama yang dianut, tetapi fondasi dalam seluruh aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Puncaknya terjadi pada masa Kesultanan Bima di abad XVII M, di mana Islam menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan, undang-undang, dan tatanan sosial kerajaan. Warisan ini terus hidup hingga kini, tercermin dalam adat istiadat, praktik keagamaan, arsitektur masjid, makam, rumah adat, dan tentu saja, ungkapan-ungkapan tradisional.
Nggusu Waru: Delapan Pilar Kehidupan Bima
Nggusu Waru, yang secara harfiah berarti “delapan penjuru” atau “delapan sudut”, adalah falsafah hidup terpenting dalam kebudayaan Bima. Ini adalah kerangka nilai komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, berupaya mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dengan berpegang pada delapan pilar utama. Setiap pilar ini merupakan kombinasi harmonis ajaran Islam dan kearifan lokal, saling melengkapi dan menguatkan.
1. Maja Labo Dahu (Malu dan Takut)
Ungkapan ini adalah inti dari kearifan lokal Bima. “Maja” berarti malu, yaitu rasa segan untuk melakukan kesalahan di hadapan manusia, sedangkan “Dahu” berarti takut melanggar aturan Tuhan. Keduanya saling melengkapi, menghadirkan kesadaran moral yang berakar pada dimensi sosial sekaligus spiritual. Dalam masyarakat Bima, nilai ini berperan sebagai kendali sosial yang kuat. Orang merasa malu melakukan pelanggaran karena akan merusak nama baik diri dan keluarganya. Malu di sini bukan sekadar rasa pribadi, melainkan kesadaran kolektif yang menjaga kehormatan komunitas. Aspek takut berhubungan dengan ketaatan pada Tuhan, dimaknai sebagai bentuk penghayatan iman yang mendorong individu menghindari dosa dan melaksanakan perintah Allah. Ungkapan ini memperkuat integrasi budaya lokal dan nilai Islam, berfungsi sebagai filter moral terhadap perilaku menyimpang di era globalisasi.
2. Ma Bae Ade (Kepekaan Jiwa)
“Ma Bae Ade” menyiratkan kasih sayang, empati, dan kepekaan terhadap kondisi orang lain, serta tanggung jawab emosional. Nilai ini memperkuat hubungan antaranggota masyarakat dan mengurangi potensi konflik sosial. Dalam Islam, kepekaan terhadap sesama, seperti kasih sayang, saling menolong, dan keprihatinan, termasuk dalam akhlak mulia. Tuntunan Al-Qur’an dan Hadis banyak mengajarkan sifat rahmah, kasih, dan empati, sejalan dengan ajaran Islam tentang ukhuwah, kasih sayang, dan keadilan sosial.
3. Mambani Labo Disa (Keberanian dan Ketegasan)
Keberanian dalam konteks kearifan lokal Bima bukan berarti amarah yang sia-sia, melainkan keberanian untuk menegakkan keadilan dan melawan ketidakbenaran. “Mambani Labo Disa” berarti ketika harus marah, marahlah atas dasar kebenaran, bukan dendam atau keegoisan. Islam mengajarkan bahwa marah adalah fitrah manusia yang harus ditata agar tidak berlebihan, diarahkan pada kemungkaran dan kezaliman, namun tetap terkendali. Ini mencerminkan ajaran Islam tentang marah yang terkontrol dan perjuangan di jalan Allah melawan ketidakadilan.
4. Ma Lembo Ade ro Ma Na’e Sabar (Kelegaan Hati dan Kesabaran)
Secara harfiah, ungkapan ini berarti “legakan hati” dan “bersabar”. Ketika seseorang bersabar, beban hati menjadi ringan dan lega. Nilai kesabaran sangat ditekankan dalam Islam (sabr) sebagai ciri mukmin yang matang dalam menghadapi cobaan, menahan hawa nafsu, dan menerima kehendak Allah. Ungkapan ini menegaskan bahwa kelegaan sejati datang dari kesabaran dan penerimaan.
5. Ndinga Nggahi Rawi Pahu (Konsistensi Ucapan dan Tindakan)
Ungkapan ini mengandung nilai integritas, kejujuran, dan konsistensi antara ucapan dan perbuatan, yang penting untuk membangun kepercayaan sosial, kredibilitas, dan reputasi. Islam menuntut bahwa iman harus dibuktikan dengan amal baik, bukan hanya ucapan. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis menekankan bahwa Allah mencintai orang-orang yang beramal saleh dan konsisten dalam lisan, hati, serta tindakan. Tradisi ini mendorong akhlak sesuai syariat: tidak bohong, menepati janji, dan amanah.
6. Ma Taho Hidi (Keseimbangan Hidup)
Keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan—spiritual dan material, individu dan komunitas, kerja dan ibadah, dunia dan akhirat—sangat ditekankan. Tidak berlebihan di satu sisi hingga mengabaikan sisi lain. Ajaran Islam mengajarkan wasatiyyah (moderasi), yaitu beribadah, bekerja, bermuamalah, dan menjaga keseimbangan kebutuhan dunia serta akhirat, tanpa ekstrem atau mengabaikan satu unsur kehidupan. Ungkapan ini mencerminkan nilai Islam yang moderat.
7. Dou Ma Wara Di Woha Dou (Mampu Berada di Tengah Masyarakat)
Ungkapan ini menunjukkan bahwa seseorang yang baik tidak menjauh dari masyarakat, melainkan mampu hidup di dalamnya, beradaptasi, berinteraksi, dan mengambil peran aktif. Ini berarti menjadi bagian dari komunitas sambil tetap memegang identitas dan nilai-nilai pribadi. Islam memerintahkan umatnya untuk hidup damai bersama masyarakat, menjadi rahmat bagi sesama, dan berperan aktif dalam kebaikan, mendukung konsep kepedulian sosial dan dakwah melalui perbuatan.
8. Ntau Ro Wara (Kekayaan Fisik dan Spiritual)
Kekayaan bukan sekadar materi, tetapi juga spiritual. Kekayaan materi harus diiringi dengan batin yang baik, keimanan, dan moralitas agar tidak menjadi penyebab kerusakan. Islam mengakui kepemilikan materi, kemenangan ekonomi, dan kemakmuran, namun selalu mengingatkan bahwa semua itu adalah amanah yang harus digunakan untuk kebaikan (sedekah, zakat, membantu orang lain), menjaga jiwa dari kesombongan, dan tidak melupakan akhirat. Ini adalah keseimbangan hikmah antara dunia dan akhirat.
Memperkuat Identitas Bima di Era Modern
Nilai-nilai Nggusu Waru bukan hanya adat semata, tetapi mengandung nilai moral dan spiritual yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam, seperti taqwa, akhlak mulia, integritas, keadilan, keseimbangan (wasatiyyah), kesabaran, ukhuwah, dan kontribusi sosial. Dalam praktik keislaman masyarakat Bima, nilai-nilai ini terwujud dalam berbagai aspek, mulai dari pakaian yang sesuai syariat (rimpu), peran agama dalam norma sosial/adat, hukum Islam yang terintegrasi dengan adat, pendidikan karakter, dakwah lokal melalui ungkapan tradisional, hingga moderasi beragama.
Penguatan kembali makna ungkapan lokal seperti Nggusu Waru menjadi kunci untuk mempertahankan jati diri masyarakat Bima di tengah arus globalisasi. Nilai-nilai ini sangat potensial untuk terus dikembangkan sebagai sumber kekuatan identitas dan moral masyarakat, terutama dalam menghadapi modernitas dan tantangan moral budaya. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas perlu berkolaborasi untuk mengintegrasikan Nggusu Waru ke dalam kurikulum pendidikan, program penguatan keluarga, dan inisiatif komunitas. Dengan demikian, generasi muda dapat memiliki pijakan moral yang kuat dan identitas budaya yang kokoh, tidak hanya sebagai masyarakat Bima, tetapi juga sebagai Muslim yang berintegritas.
Identitas Riset
Judul: Islam dan Budaya Lokal: Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Tradisional Bima
Peneliti: Saidin Hamzah, Abdul Azis, Fardilla
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka
Aisyah, S. (2025). Studi Proses Asimilasi dan Adaptasi Nilai-Nilai Keislaman dan Transformasi Budaya Lokal di Indonesia dalam Tradisi Masyarakat. Integrative Perspectives of Social and Science Journal, 2(2 Mei).


