Di tengah pesatnya laju teknologi, praktik pernikahan siri turut bermigrasi ke ranah daring. Layanan “nikah siri online” kini mudah ditemukan, menawarkan kemudahan dan kecepatan bagi pasangan yang ingin menikah secara agama tanpa terikat prosedur administratif negara. Namun, di balik janji privasi dan kesederhanaan, fenomena ini menyisakan luka mendalam bagi pihak yang paling rentan: anak-anak.
Dalam riset berjudul “Eksploitasi Anak dalam Nikah Siri Online di Indonesia” yang dilakukan oleh Tim Peneliti IAIN Parepare, terungkap bagaimana anak-anak yang lahir dari pernikahan siri daring di Kota Parepare mengalami eksploitasi multidimensi. Eksploitasi ini mencakup dimensi ekonomi, sosial, psikologis, dan administratif, yang semuanya berakar pada ketiadaan perlindungan hukum negara.
Tim peneliti menyoroti bahwa nikah siri daring bukan sekadar persoalan keagamaan semata. Praktik ini merupakan bentuk pelanggaran struktural Hak Asasi Manusia (HAM) karena secara sistematis menempatkan anak dalam kondisi tanpa perlindungan negara terhadap hak-hak dasar mereka. Lebih jauh, temuan ini menunjukkan bahwa pernikahan siri daring menghasilkan mudarat besar bagi anak, bertentangan dengan tujuan syariat Islam yang berorientasi pada kemaslahatan manusia.
Bayang-bayang Ketidakpastian: Kisah Anak Korban Nikah Siri
Kasus Bagus Sucipto, seorang siswa SMP 1 Parepare berusia 13 tahun, menjadi gambaran nyata dampak pernikahan siri daring. Bagus, anak yang lahir dari orang tua yang melangsungkan nikah siri secara daring, menceritakan bagaimana ia tidak mendapatkan perhatian layak, baik secara fisik maupun emosional, dari kedua orang tuanya. Kebutuhan dasarnya, seperti biaya hidup dan pendidikan, seringkali tidak terpenuhi, memaksanya bergantung pada bantuan orang lain untuk melanjutkan sekolah.
Ketidakpedulian ini membuat Bagus merasa terabaikan, kehilangan figur orang tua yang seharusnya memberikan kasih sayang dan bimbingan. Ia tumbuh dalam kondisi deprivasi afeksi yang dapat memengaruhi perkembangan sosialnya di masa depan, bahkan menunjukkan kedewasaan prematur akibat situasi keluarga yang kompleks. Wawancara dengan Bagus Sucipto pada 2 Desember 2024 di Kantor SMP 1 Kota Parepare mengindikasikan kuat adanya eksploitasi anak dalam bentuk pengabaian hak-hak dasar.
Faiza Maharani, kakak Bagus, juga mengalami tekanan psikologis serupa. Sejak remaja, ia harus menghadapi ketiadaan figur ayah yang konsisten dan ketidakpastian hukum yang memengaruhi hak-haknya. Beban emosional yang seharusnya tidak ditanggung anak seusianya harus dipikul Faiza, seperti mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, dan menjaga adik-adiknya, sementara ibunya bekerja penuh waktu. Ini adalah pengalihan tanggung jawab orang dewasa ke anak, yang membatasi waktu belajar dan interaksi sosial mereka.
Ketidakpastian status hukum keluarga memperparah eksploitasi struktural. Nama ayah tidak tercantum dalam dokumen kependudukan anak, membatasi akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan hak waris. Ini adalah bentuk eksploitasi hukum dan administratif. Eksploitasi sosial juga muncul dari perbedaan status keluarga dibandingkan teman sebaya, menimbulkan stigma sosial dan tekanan psikologis tambahan. Anak-anak menyadari ketidakwajaran kondisi keluarga, meskipun lingkungan tidak selalu bersikap diskriminatif, yang memengaruhi perkembangan sosial mereka.
Pelanggaran Hak Asasi Anak yang Sistemik
Praktik nikah siri daring secara terang-terangan melanggar berbagai hak fundamental anak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang nasional, dan instrumen hukum internasional. Hak atas identitas hukum, misalnya, yang diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 5 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, seringkali terabaikan. Anak-anak yang lahir dari pernikahan tidak tercatat kehilangan akses terhadap akta kelahiran yang sah, hak waris, dan status hukum yang jelas. Mereka menjadi 'tidak terlihat' secara hukum, membatasi akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Pelanggaran hak pendidikan juga bersifat struktural dan ekonomi. Ketidakjelasan status hukum keluarga menyebabkan kesulitan administratif dalam mendaftar sekolah. Ketiadaan nafkah dari ayah memaksa ibu untuk bekerja penuh waktu, sehingga anak-anak seperti Faiza dan Bagus harus mengambil alih pekerjaan domestik. Hal ini mengurangi waktu belajar dan kualitas pendidikan mereka, melanggar hak anak atas pendidikan yang layak dan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).
Selain itu, hak anak atas perlindungan dari kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 CRC 1989 dan UU No. 35 Tahun 2014, juga terabaikan. Anak-anak korban nikah siri menghadapi kekerasan psikologis akibat absennya ayah, beban emosional ibu, dan stigma sosial. Faiza, misalnya, sering merasa malu di sekolah karena status keluarganya, yang menimbulkan tekanan psikologis dan berdampak pada rasa percaya diri serta perkembangan sosialnya.
Kekerasan ini juga bersifat ekonomi dan struktural. Penelantaran ekonomi oleh ayah memaksa ibu menanggung seluruh tanggung jawab, membatasi finansial anak untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan dasar. Ini adalah bentuk kekerasan institusional, di mana kegagalan negara mencatat pernikahan dan memberikan perlindungan hukum memperkuat kerentanan anak terhadap eksploitasi.
Maqasid Syariah: Antara Tujuan Luhur dan Realitas Buruk
Dari sudut pandang Maqasid Syariah, tujuan syariat Islam adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Prinsip hifz an-nasl secara khusus menegaskan penjagaan terhadap keturunan, memastikan nasab yang jelas, kehormatan keluarga, keberlanjutan generasi, serta proteksi identitas dan hak sosial anak. Dalam konteks modern, ini mencakup perlindungan administratif, hak sipil, dan jaminan kesejahteraan anak dalam sistem hukum dan sosial.
Namun, praktik pernikahan siri daring menimbulkan tantangan serius terhadap implementasi hifz an-nasl. Meskipun secara agama pernikahan mungkin dianggap sah, ketiadaan pencatatan negara menyebabkan anak-anak kehilangan pengakuan hukum dan perlindungan formal atas nasab mereka. Kondisi ini menjadikan anak rentan terhadap marginalisasi hukum dan sosial. Literatur hukum juga menunjukkan bahwa anak dari pernikahan tidak tercatat sering menghadapi ketidakpastian status, termasuk hak waris, hak nafkah, dan pengakuan ayah.
Motif di balik pernikahan siri daring seringkali tidak selaras dengan maqasid. Praktik ini bisa jadi dilakukan untuk menyembunyikan hubungan, menghindari tanggung jawab hukum, atau memenuhi kebutuhan sesaat tanpa mempedulikan dampak jangka panjang terhadap anak. Ketika tanggung jawab administratif dan sosial diabaikan, manfaat yang diharapkan berubah menjadi potensi mafsadah (kerusakan), terutama bagi anak dan ibu yang lebih rentan. Pernikahan siri tanpa pencatatan resmi gagal memenuhi aspek tahqiq al-maslahah al-mutlaqah (kemaslahatan yang berkelanjutan) karena identitas anak, hak sipil, dan perlindungan hukum mereka menjadi tidak jelas, sehingga secara sosial-administratif mereka menjadi kelompok marginal.
Prinsip hifz an-nasl memiliki dua dimensi penting: itsbat al-nasab (penetapan keturunan secara sah) dan ri'ayah al-nasl (pemeliharaan serta perlindungan anak setelah lahir). Pernikahan siri daring gagal memenuhi keduanya: pencatatan resmi tidak ada, sehingga penetapan ayah secara hukum sulit dilakukan, dan perlindungan terhadap hak-hak anak (nafkah, waris, identitas) tidak terjamin. Hal ini menimbulkan eksploitasi struktural terhadap anak dan ibu, serta melanggar hifz al-nafs (keselamatan jiwa), hifz al-'aql (akal/pendidikan), dan hifz al-mal (kesejahteraan ekonomi).
Langkah ke Depan: Membangun Perlindungan Holistik
Kasus nikah siri daring di Parepare adalah cerminan kegagalan sistemik yang menuntut reformasi kebijakan, administrasi, dan layanan sosial yang inklusif, afirmatif, serta berorientasi pada kepentingan terbaik anak. Negara, ulama, dan masyarakat perlu bersinergi untuk menegakkan pencatatan nikah sebagai bagian dari tanggung jawab moral, sosial, dan hukum. Pendekatan berbasis HAM menuntut agar setiap anak, tanpa melihat asal-usul perkawinan orang tua, memperoleh hak-hak dasarnya secara penuh.
Legalisasi pernikahan siri melalui mekanisme isbat nikah dapat menjadi solusi konkret untuk memulihkan hak anak, memberikan identitas hukum, dan memastikan kewajiban ayah terpenuhi. Ini akan sejalan dengan maqasid hifz al-nasl dan hak-hak sipil anak yang terlindungi. Selain itu, diperlukan penguatan peran negara, tokoh agama, dan masyarakat dalam mencegah praktik yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hak-hak dasar, serta memastikan bahwa anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, terhormat, dan bermartabat, dengan hak atas kasih sayang, pendidikan, identitas, dan hubungan keluarga yang jelas.
Implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) tentang pendidikan berkualitas dan identitas hukum untuk semua menuntut negara untuk menjamin hak-hak anak sejak lahir, tanpa diskriminasi. Diperlukan upaya kolektif untuk memastikan bahwa semua anak dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan syariat yang luhur.
Identitas Riset
Judul: BETWEEN RELIGIOUS PRACTICE AND LEGAL PROTECTION: CHILD EXPLOITATION IN ONLINE NIKAH SIRI IN INDONESIA
Peneliti: Tim Peneliti IAIN Parepare
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka / Referensi
1. Akmal, Andi Muhammad, dan Mulham Jaki Asti. 2021. ‘Problematika Nikah Siri, Nikah Online Dan Talak Siri Serta Implikasi Hukumnya Dalam Fikih Nikah'. Al-Risalah Jurnal Ilmu Syariah Dan Hukum 21: 45–59.
