تخطي للذهاب إلى المحتوى

Riset: Otoritas Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad Membentuk Moderasi Beragama Melalui Dakwah Kultural

18 ديسمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Di tengah arus modernisasi yang kerap mengikis nilai-nilai tradisional, peran tokoh agama sebagai penjaga sekaligus pembaharu kerap menjadi sorotan. Bagaimana seorang pemimpin spiritual mampu menyelaraskan ajaran agama dengan kearifan lokal tanpa menimbulkan gesekan?


Dalam riset berjudul “The Religious Authority of Anre Gurutta' K. H. Muhammad As`ad in the Spread of Cultural Da'wah in South Sulawesi” yang dilakukan oleh Nurhikmah dan Muhammad Taufiq Syam dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, ditemukan bahwa otoritas keagamaan Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad menjadi kunci penyebaran dakwah kultural berbasis pesantren di Sulawesi Selatan. Pendiri Pondok Pesantren As'adiyah Wajo ini berhasil membangun legitimasi yang kuat melalui kombinasi otoritas tradisional, legal-rasional, dan karismatik, yang secara signifikan berkontribusi pada penguatan moderasi beragama di Indonesia.



Tiga Pilar Otoritas Keagamaan Max Weber


Max Weber, sosiolog terkemuka, mengidentifikasi tiga pilar utama otoritas: tradisional, legal-rasional, dan karismatik. Otoritas tradisional, misalnya, tumbuh dari kepercayaan yang diwariskan lintas generasi, di mana individu dihormati karena dianggap mewarisi nilai-nilai dan norma masyarakat. Ini sering terlihat pada pemimpin adat atau sesepuh yang dihormati.


Otoritas legal-rasional, di sisi lain, bersumber dari sistem hukum dan institusi yang mapan, di mana legitimasi diperoleh melalui kepatuhan pada aturan formal dan kompetensi yang diakui. Terakhir, otoritas karismatik muncul dari kualitas pribadi yang luar biasa, seperti pengetahuan spiritual mendalam atau kekuatan supranatural, yang membuat seorang pemimpin dianggap unik dan mampu menginspirasi pengikutnya.



Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad: Perpaduan Tiga Otoritas


Otoritas keagamaan Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad, sebagaimana dianalisis oleh Nurhikmah dan Muhammad Taufiq Syam, adalah perpaduan harmonis dari ketiga jenis otoritas ini. Posisi beliau sebagai ulama di masyarakat Bugis, legitimasi keilmuannya, karisma pribadinya, serta perannya sebagai tokoh sentral dalam jaringan Pondok Pesantren As'adiyah dan komunitas keagamaan di Sulawesi Selatan, semuanya saling menguatkan.



Otoritas Tradisional: Akar Budaya dan Silsilah


Otoritas tradisional Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad berakar kuat dalam nilai-nilai budaya masyarakat Bugis. Beliau dihormati sebagai 'Anre Gurutta'—guru besar kita—sebuah gelar yang diberikan kepada tokoh yang mencapai tingkat tertinggi dalam pengetahuan agama dan kepribadian. Masyarakat Bugis memandang Anre Gurutta' sebagai seorang 'panrita' (orang bijaksana) dan sesepuh yang memiliki pengalaman hidup luas, pengetahuan mendalam, dan kebijaksanaan matang. “Sudah menjadi kewajiban seorang santri untuk memperlakukan gurunya seperti orang tua, apalagi Anre Gurutta'. Kedalaman ilmu yang beliau miliki berasal dari proses pencarian yang panjang. Ajaran yang disampaikan berupa pelajaran hidup adalah cerminan pengalaman beliau dalam membaca kehidupan. Inilah yang membuat kami, sampai hari ini, menganggap ajaran dan pelajaran beliau sebagai filosofi hidup dalam beragama,” ungkap Zuheriyah R, S.HI, seorang guru di Pondok Pesantren As'sadiyah.


Sistem gerontokrasi dalam budaya Bugis, yang menghargai orang tua dan individu terhormat, memberikan legitimasi kuat bagi Anre Gurutta'. Selain itu, patriarki, di mana beliau berperan sebagai figur ayah yang berhak membuat keputusan terbaik, menempatkan santri dan alumni dalam posisi anak yang wajib patuh. “Selama saya di Pondok Pesantren As'sadiyah, saya menganggap gurutta sebagai pengganti ayah saya, yang setiap amanah dan perintahnya adalah kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan,” ujar Dr. Kaharuddin, M. Pd. I, Ketua Ikatan Alumni Pondok Pesantren As'sadiyah Kota Parepare. Patrimonialisme juga terlihat jelas, di mana kesetiaan santri, alumni, dan pengurus pesantren didasarkan pada hubungan personal dan dedikasi maksimal, bukan semata aturan formal.



Otoritas Legal-Rasional: Sistem dan Kompetensi


Otoritas legal-rasional Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad berasal dari aturan hukum non-formal yang melekat pada posisi guru dan pemimpin lembaga pendidikan di masyarakat. Beliau memiliki legitimasi ilmiah berdasarkan pendidikan tekstual dan metodologi rasional-sistematis. “Tidak diragukan lagi bahwa ilmu agama yang diajarkan Anre Gurutta' K. H. Muhammad As'ad masih menjadi rujukan masyarakat dalam mengamalkan tradisi keagamaan. Contohnya, dalam pelaksanaan tradisi Maulid Nabi, kami masih mengikuti tata cara yang diajarkan Gurutta',” tutur Hadi Dg. Mannippi, perwakilan masyarakat sekitar Pondok Pesantren As'sadiyah.


Dalam sistem birokrasi, Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad menjalankan otoritasnya berdasarkan regulasi, struktur hierarkis, kompetensi teknis, dan profesionalisme. Beliau mampu memposisikan pesantren bukan hanya sebagai ruang spiritual, tetapi juga lembaga pendidikan dengan struktur birokrasi yang jelas. Sistem pendidikan Islam di As'sadiyah, misalnya, masih menggunakan pola pembelajaran 'mangaji tudang' (halaqah) yang diajarkan beliau, bahkan diadopsi oleh pesantren lain yang didirikan oleh alumninya. Ini menunjukkan bahwa otoritas legal beliau terus hidup melalui warisan sistematis yang diturunkan kepada murid-muridnya. Dalam hubungan impersonal, Anre Gurutta' mengedepankan meritokrasi dalam pemilihan posisi strategis, menghindari nepotisme, dan memastikan semua santri diperlakukan setara. “Dalam memilih pembimbing santri, Anre Gurutta' mengutamakan santri atau alumni yang sudah lama mengabdi di pesantren. Beliau tidak pernah membeda-bedakan santri; semua diajarkan ilmu yang sama,” jelas Dr. Hj. Rabiah Lamming, M. Sos. I, Kepala Pondok Pesantren As'sadiyah.



Otoritas Karismatik: Spiritual dan Kekuatan Ilahi


Otoritas karismatik merupakan tingkat tertinggi yang dimiliki Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad, yang berasal dari aspek supernatural (intrinsik) yang melekat pada dirinya sebagai figur religius. Pengetahuan spiritualnya yang mendalam, pengalaman mistis, dan hubungan transenden dengan Tuhan membuatnya dianggap unik. “Kedalaman ilmu yang dimiliki gurutta', yang bersumber dari pengalaman pribadi dan kedekatan dengan Allah SWT, adalah modal terpenting dalam penyebaran ajaran Islam di Bugis. Banyak orang dari berbagai daerah di Sulawesi, bahkan di luar pulau Sulawesi, datang ke Sengkang untuk menjadi santri di Pondok Pesantren As'sadiyah Wajo. Ini tidak lain karena ketenaran ilmu gurutta', baik semasa hidupnya maupun hingga kini. Bisa dikatakan ini mungkin salah satu bentuk karomah (kekuatan ajaib) yang beliau miliki,” kata Dr. Hisbul, S.HI, M.Pd.I, Sekretaris Ikatan Alumni Pondok Pesantren As'sadiyah Kota Parepare.


Masyarakat Bugis, khususnya para santri dan alumni, percaya bahwa beliau memiliki kekuatan supranatural yang melampaui kemampuan guru biasa, mampu membimbing orang ke jalan tauhid tanpa konflik. Cerita-cerita tentang 'karomah' ini tidak sekadar mengidolakan, melainkan juga melegitimasi karisma beliau, menjadikannya figur spiritual yang dihormati dan dipercaya.



Dakwah Kultural Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad: Adaptasi, Akulturasi, Akomodasi


Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad menyebarkan Islam melalui dakwah kultural yang mengedepankan integrasi nilai-nilai agama dengan budaya lokal Bugis. Pendekatan ini menggunakan tiga strategi utama: adaptasi, akulturasi, dan akomodasi budaya.



Adaptasi Budaya


Anre Gurutta' mengadaptasi ajaran Islam yang diperolehnya di Mekkah dengan tradisi Bugis. Beliau memahami bahwa Islam memiliki fleksibilitas normatif, dan nilai-nilai Islam dapat diselaraskan dengan filosofi budaya Bugis tanpa menghilangkan identitas lokal. Misalnya, beliau tidak langsung melarang praktik-praktik yang dianggap menyimpang, melainkan secara bertahap menyampaikan dampaknya dengan pendekatan rasional dan kultural. “Kemampuan gurutta' memahami 'pangadereng' (adat istiadat) sebagai kerangka nilai dalam budaya Bugis memudahkan masyarakat menerima ajaran Islam sesuai syariat. Dalam proses 'ngaji tudang', selain mengkaji teks klasik, juga ada diskusi tentang 'pappaseng' (nasihat) dari leluhur, yang secara tidak langsung menjadi pintu gerbang dakwah,” jelas Muhammad As'ad, Kepala Dewan Dakwah, Fatwa, dan Bahtsul Masa'il di Pondok Pesantren As'sadiyah. Penggunaan bahasa Bugis dalam pengajaran juga memperkuat penerimaan masyarakat, karena mereka merasa ajaran disampaikan oleh seseorang dari dunia mereka sendiri.



Akulturasi Budaya


Pendekatan akulturasi Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad terlihat dari kemampuannya memadukan budaya Arab (kajian Islam) dengan tradisi Bugis tanpa menghilangkan identitas inti masing-masing. Contoh paling nyata adalah perubahan metode halaqah (duduk melingkar) menjadi 'mangaji tudang' (mengaji sambil bersila), yang terinspirasi dari tradisi 'tudang sipulung' Bugis (duduk bersama untuk mencari solusi). Metode ini membuat masyarakat merasa tidak dipaksa, melainkan mencapai kesepakatan bersama dalam memahami agama. “Metode 'mangaji tudang' untuk belajar kitab yang diwariskan gurutta' masih dipertahankan di pesantren hingga saat ini. Bahkan, metode ini juga diadaptasi dengan nama yang sama di pesantren lain dan forum kajian agama di Sulawesi Selatan,” kata Bulqis, S.Aq., S.Pd, Guru di Pondok Pesantren As'sadiyah.



Akomodasi Budaya


Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad juga menerapkan akomodasi budaya melalui strategi dakwah yang lembut (bil hikmah), non-konfrontatif (mujadalah), dan pemahaman mendalam (mau'idzahtul hasanah) terhadap sistem budaya Bugis. Konsep 'siri' na pesse' (harga diri dan solidaritas) diintegrasikan sebagai moralitas Islam, struktur kekerabatan yang menghormati sesepuh, kosmologi tradisional, dan praktik ritual yang mengimplementasikan hubungan antarmanusia. Ini membuat dakwah beliau diterima luas dan menumbuhkan karakter religius yang inklusif di masyarakat Bugis.



Articulatory Labor: Menjaga Otoritas dan Relevansi


Konsep 'articulatory labor' atau kerja artikulatoris, yang mencakup jaringan, relasionalitas, dan kerja, menjelaskan bagaimana Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad membangun dan mempertahankan otoritasnya.



Jaringan (Network)


Otoritas beliau terbentuk melalui jaringan ulama, santri, alumni, komunitas, dan institusi pemerintah. Jaringan silsilah (keturunan ulama), jaringan keilmuan (melalui mangaji tudang), jaringan institusi pendidikan (As'sadiyah dan pesantren alumni), jaringan santri dan alumni (penyebar ajaran), jaringan komunitas Bugis (mengintegrasikan nilai lokal), serta jaringan simbolik (ulama sebagai waliyyu al-'ilm), semuanya saling terhubung dan memperkuat legitimasi beliau.



Relasionalitas (Relationalities)


Hubungan Anre Gurutta' dengan santri bersifat komunal dan pedagogis, membentuk otoritas yang berakar pada pengalaman langsung santri terhadap teladan gurunya. Dengan masyarakat, beliau berperan sebagai pemimpin sosio-religius yang mengedepankan integritas moral. Hubungannya dengan tradisi keilmuan bersumber dari legitimasi pemikiran asertif dan kemampuannya mengontekstualisasikan ajaran klasik. Dalam ruang budaya, beliau menggunakan bahasa Bugis dan menghargai simbol lokal. Dimensi spiritual transendental dibangun melalui ibadah dan bimbingan spiritual mendalam.



Kerja (Labor)


Berbagai kegiatan Anre Gurutta' sebagai ulama dan pimpinan pesantren, seperti mengkaji ilmu agama, mengajar, membangun hubungan komunitas, dan menjaga relevansi ajaran Islam, merupakan 'kerja' yang terus-menerus dilakukan. Ini termasuk mentransformasikan ilmu dan sains yang diajarkan, meneladani akhlak mulia, membangun koneksi sosial, merepresentasikan ulama Bugis (dengan menggunakan bahasa dan pakaian lokal), serta menyebarkan ajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal. Semua 'kerja' ini secara sistematis dan konsisten menegaskan otoritas Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad.



Apa Selanjutnya?


Riset ini menunjukkan bahwa dakwah kultural dan otoritas keagamaan yang terintegrasi dengan kearifan lokal adalah model efektif untuk membangun masyarakat yang moderat. Ke depan, para pembuat kebijakan dan pemimpin agama perlu lebih aktif dalam merumuskan strategi dakwah yang tidak hanya adaptif secara kultural, tetapi juga mampu mengartikulasikan nilai-nilai moderasi secara persuasif. Penguatan peran pesantren sebagai pusat dakwah kultural dan pengembangan kepemimpinan yang memadukan otoritas tradisional, legal-rasional, dan karismatik dapat menjadi fondasi penting untuk menjaga harmoni sosial dan mencegah polarisasi di tengah masyarakat multikultural Indonesia. Model kepemimpinan Anre Gurutta' K.H. Muhammad As'ad dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan strategi moderasi beragama yang relevan dengan konteks lokal, memastikan bahwa pesan-pesan keagamaan diterima dengan hati terbuka dan bukan dengan paksaan.



Identitas Riset

Judul: The Religious Authority of Anre Gurutta' K. H. Muhammad As`ad in the Spread of Cultural Da'wah in South Sulawesi

Peneliti: Nurhikmah, Muhammad Taufiq Syam

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 2025


Daftar Pustaka / Referensi

1.  Nurhikmah, N., & Syam, M. T. (2025).