Skip to Content

Kemerdekaan Ilmiah di Kampus Islam: Menjaga Jati Diri Bangsa melalui Akulturasi Nilai

Ramli (Kaprodi S-2 KPI)
August 10, 2025 by
Kemerdekaan Ilmiah di Kampus Islam: Menjaga Jati Diri Bangsa melalui Akulturasi Nilai
Suhartina

Tanggal 17 Agustus bukan sekadar penanda lahirnya sebuah negara, tetapi juga momentum reflektif untuk menakar kembali esensi kemerdekaan dalam seluruh sendi kehidupan, termasuk di ruang-ruang akademik. Di tengah hiruk-pikuk selebrasi kemerdekaan, penting bagi kita untuk bertanya: Sudahkah dunia kampus benar-benar merdeka?


Bagi kampus Islam, pertanyaan ini menjadi sangat relevan. Sebab, kemerdekaan sejati dalam dunia akademik tidak hanya menyangkut kebebasan berpikir, tetapi juga keberanian untuk menegakkan kebenaran ilmiah yang berpijak pada nilai-nilai bangsa—terutama ketika arus globalisasi dan homogenisasi budaya akademik kian deras. Di sinilah konsep kemerdekaan ilmiah berbasis akulturasi nilai menjadi penting.


Kemerdekaan ilmiah bukan sekadar kebebasan tanpa batas, melainkan otonomi akademik yang bertanggung jawab secara moral dan kultural. Dalam konteks kampus Islam, tanggung jawab ini berarti membumikan ilmu pengetahuan yang selaras dengan nilai-nilai Islam sekaligus peka terhadap akar budaya lokal. Kampus tidak boleh menjadi ruang netral nilai, tetapi harus menjadi lokus dialektika antara tradisi, modernitas, dan spiritualitas.


Sebagaimana ditekankan oleh Al-Attas (1980), Islamisasi ilmu pengetahuan bukan berarti menolak modernitas, melainkan menyaringnya secara kritis dan etis. Maka, akulturasi nilai di kampus Islam adalah proses pembentukan epistemologi kontekstual, yaitu sintesis kreatif antara warisan keilmuan Islam, kearifan budaya lokal, dan semangat keilmuan modern. Inilah yang menjadi pilar jati diri akademik kita. 


Salah satu tantangan besar dunia akademik saat ini adalah dominasi epistemologi Barat yang menjadikan kampus-kampus di dunia Islam cenderung mengimpor model, teori, dan metodologi tanpa kritisisme. Proses ini melahirkan kemajuan semu, di mana publikasi meningkat tetapi relevansi sosial melemah.


Kampus Islam harus menjadi ruang produksi ilmu yang membebaskan, bukan sekadar mengadopsi. Kemerdekaan ilmiah adalah kemampuan untuk mengatakan tidak pada dominasi pengetahuan yang menyingkirkan nilai lokal dan spiritualitas. Tanpa akulturasi nilai, dunia akademik akan melahirkan sarjana-sarjana teknokratis, tetapi kehilangan daya pikir reflektif dan etika keberpihakan pada kemanusiaan.


Akulturasi nilai bukan proyek romantik budaya semata. Ia adalah strategi epistemologis yang membentuk keilmuan yang relevan, membumi, dan berpihak. Kampus Islam punya keunggulan khas: ia tumbuh dalam simpul nilai religius dan kultural sekaligus.


Di IAIN Parepare, misalnya, terdapat integrasi kurikulum antara ilmu keislaman dan ilmu sosial dengan pendekatan lokalitas. Mata kuliah seperti Komunikasi Islam dan Budaya Bugis menjadi contoh konkrit bagaimana nilai-nilai seperti Sipakatau dan Sipakalebbi diposisikan sebagai perangkat etis dan teoritis dalam membangun komunikasi lintas budaya dan agama.


Demikian pula dalam bidang riset, berbagai penelitian etnografi tentang kearifan lokal seperti Aluk Todolo dan Rambu Solo’ dipadukan dengan pendekatan keislaman dalam upaya membangun moderasi beragama. Ini bukan hanya proyek akademik, tetapi bentuk konkret menjaga jati diri bangsa melalui ilmu.


Program pengabdian masyarakat berbasis living values juga menjadi bukti bahwa kampus Islam mampu menjadi agen perubahan yang berpihak. KKN tematik seperti “Masjid Sebagai Ruang Interaksi Lintas Iman” dan “Pesantren Hijau” telah menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dan budaya lokal dapat hidup berdampingan dalam praksis sosial.


Bahkan dalam era digital, kampus Islam telah membangun platform media sosial dengan narasi Islam damai, inklusif, dan berbasis budaya. Narasi-narasi ini menjadi penyeimbang dari wacana-wacana keagamaan yang ekstrem dan homogen di ruang publik digital.


Kemerdekaan ilmiah bukan hanya milik dosen, tetapi juga milik institusi yang berani menempuh jalan yang mungkin tidak populer: jalan akulturasi nilai. Saat ini, ketika dunia dilanda krisis kemanusiaan, degradasi moral, dan hilangnya jati diri budaya, kampus Islam mesti tampil sebagai perintis jalan peradaban alternatif.


Kemerdekaan sejati bukan sekadar memerdekakan pikiran, tetapi juga menanamkan nilai, membangun nalar kontekstual, dan menyuarakan kebenaran ilmiah yang berakar. Maka, 17 Agustus ini, mari rayakan kemerdekaan tidak hanya di lapangan upacara, tapi juga di ruang kelas, ruang riset, ruang pengabdian, dan ruang digital—dengan satu semangat: menjaga jati diri bangsa melalui akulturasi nilai di kampus Islam.

iting here...

Kemerdekaan Ilmiah di Kampus Islam: Menjaga Jati Diri Bangsa melalui Akulturasi Nilai
Suhartina August 10, 2025
Share this post
Archive