Skip to Content

Ketika Cinta Bertemu Siri’: Tafsir Baru Pendidikan Keluarga dalam Islam dan Budaya Bugis

Wirani Aisiyah Anwar (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Islam, IAIN Parepare)
July 27, 2025 by
Ketika Cinta Bertemu Siri’: Tafsir Baru Pendidikan Keluarga dalam Islam dan Budaya Bugis
Hamzah Aziz

Pendidikan keluarga sering kali dibicarakan dalam ruang-ruang formal, penuh istilah hukum, dan terasa kaku. Padahal, keluarga itu tempat pertama kita belajar mencintai, menghargai, dan membentuk karakter. Di sinilah pentingnya gagasan baru dari Kementerian Agama: Kurikulum Berbasis Cinta. Sebuah pendekatan yang mengajak kita untuk membicarakan hukum keluarga Islam, bukan cuma dari sisi hukum hitam-putih, tapi juga dari sisi rasa dan nilai-nilai kemanusiaan.

Cinta dalam Islam bukan cuma soal perasaan antara dua insan. Lebih dalam dari itu, cinta adalah bentuk tanggung jawab, kepedulian, dan kasih sayang yang membentuk relasi yang sehat dalam keluarga. Suami dan istri tidak hanya terikat karena akad, tapi juga karena komitmen untuk saling menjaga, mendukung, dan memahami. Orang tua dan anak bukan cuma hidup serumah, tapi juga saling belajar dan bertumbuh lewat ikatan cinta yang tulus.

Lalu, bagaimana jika pendekatan cinta ini dipadukan dengan nilai budaya lokal? Di tanah Bugis, ada satu nilai yang sangat dijunjung tinggi: siri’. Siri’ sering diterjemahkan sebagai rasa malu, tapi sebenarnya jauh lebih luas. Siri’ adalah harga diri, kehormatan, dan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Orang Bugis rela berkorban demi menjaga siri’-nya, karena bagi mereka, kehilangan siri’ berarti kehilangan martabat sebagai manusia.

Ketika cinta bertemu siri’, kita melihat bentuk pendidikan keluarga yang tidak hanya peduli pada aturan, tapi juga pada kehormatan dan tanggung jawab moral. Contohnya, dalam pernikahan, bukan hanya soal sah atau tidaknya menurut hukum Islam, tapi juga bagaimana kedua pihak menjaga nama baik keluarga, menjaga perasaan satu sama lain, dan tidak mempermalukan pasangan di depan umum. Ini adalah wujud cinta yang selaras dengan nilai siri’.

Sayangnya, selama ini pendidikan hukum keluarga Islam sering terjebak pada pendekatan yang terlalu teknis. Kita belajar soal talak, waris, dan wali nikah, tapi jarang sekali membahas bagaimana menjaga perasaan pasangan, bagaimana cara menyelesaikan konflik tanpa merendahkan satu sama lain, atau bagaimana jadi orang tua yang hadir secara emosional. Padahal, inilah yang paling dibutuhkan di dunia nyata.

Di sinilah Kurikulum Berbasis Cinta bisa menjadi angin segar. Apalagi kalau digabungkan dengan nilai-nilai lokal seperti siri’. Kita bisa membayangkan model pendidikan keluarga yang tidak hanya berbasis ayat dan hadis, tapi juga berbasis kearifan lokal. Misalnya, dalam menyelesaikan masalah rumah tangga, kita tidak langsung bicara soal cerai, tapi lebih dulu menumbuhkan empati, komunikasi yang sehat, dan kesadaran akan nilai siri’ sebagai rem moral. Generasi muda Bugis hari ini mungkin sudah banyak yang tinggal di kota, sekolah tinggi, bahkan kerja di luar negeri. Tapi di hati mereka, nilai siri’ itu masih hidup. Dan saat nilai itu disandingkan dengan pendidikan Islam yang lembut, penuh cinta, maka kita bisa membayangkan keluarga-keluarga yang tidak hanya kuat secara hukum, tapi juga hangat, saling menghargai, dan penuh kasih.

Mendidik keluarga lewat kurikulum cinta bukan berarti melemahkan syariat. Justru sebaliknya, ini adalah cara menghidupkan syariat dengan cara yang lebih membumi. Cinta membuat aturan jadi hidup. Siri’ membuat cinta jadi bermartabat.

Jadi, kalau kamu tanya, seperti apa idealnya pendidikan keluarga Islam ke depan? Jawabannya mungkin sederhana: ketika cinta bertemu siri’. Ketika hukum bertemu rasa. Ketika syariat berjalan beriringan dengan budaya. Di situlah kita bisa membentuk keluarga yang bukan hanya halal secara hukum, tapi juga halal secara hati.

Ketika Cinta Bertemu Siri’: Tafsir Baru Pendidikan Keluarga dalam Islam dan Budaya Bugis
Hamzah Aziz July 27, 2025
Share this post
Archive