Skip to Content

Kurikulum Cinta: Pijakan Baru dalam Kesenjangan Hukum Ekonomi

Dr. Zainal Said, M.H. (Dosen Hukum Ekonomi IAIN Parepare)
July 27, 2025 by
Kurikulum Cinta: Pijakan Baru dalam Kesenjangan Hukum Ekonomi
Suhartina

Cinta dan hukum ekonomi. Dua istilah yang jarang duduk berdampingan dalam ruang akademik. Namun, ketika kita memandang hubungan manusia, terutama relasi intim seperti pernikahan, melalui kacamata hukum ekonomi, kita menemukan kenyataan bahwa cinta pun menyimpan logika alokasi sumber daya, insentif, dan kontrak sosial yang tak kalah kompleks dibanding transaksi bisnis.


Hubungan bukan hanya soal perasaan. Di dalamnya ada waktu, perhatian, tenaga, dan komitmen, sumber daya yang terbatas dan perlu dikelola secara efisien. Gary Becker (1973), dalam teorinya tentang ekonomi keluarga, bahkan menyebut pernikahan sebagai bentuk kontrak sosial yang dirancang untuk memaksimalkan output kesejahteraan rumah tangga. Dari sini kita bisa menyimpulkan: cinta, pada akhirnya, juga soal keputusan ekonomi.


Sayangnya, banyak individu terjun ke dalam hubungan tanpa bekal literasi emosional yang memadai. Seperti orang yang berinvestasi tanpa memahami pasar. Inilah yang saya sebut sebagai kesenjangan dalam literasi relasional, sebuah kekosongan pengetahuan yang menyebabkan hubungan mudah goyah. Karena itu, saya mengusulkan hadirnya kurikulum cinta, sebuah pendekatan pendidikan yang tidak hanya membentuk karakter, tapi juga mengajarkan bagaimana cinta bisa dikelola, dipelihara, dan dijaga dari jebakan toksisitas serta ketimpangan.


Kurikulum cinta bukan untuk menundukkan cinta menjadi rumus kaku. Ia justru menjadi jalan agar kita mampu memahami dinamika relasi dengan lebih sadar dan bertanggung jawab. Sama seperti pasar yang rentan gagal karena asimetri informasi (Akerlof, 1970), hubungan juga bisa rusak karena miskomunikasi, ekspektasi tak seimbang, atau minimnya kejelasan hak dan tanggung jawab. Di titik ini, hukum dan norma memiliki peran. Konsep kontrak relasional (Macneil, 1974) misalnya, menunjukkan bahwa bahkan dalam hubungan personal, kejelasan ekspektasi dan reputasi punya nilai hukum yang kuat, meski tak tertulis.


Pernikahan pun bukan sekadar seremoni cinta. Ia adalah kontrak hukum, dengan hak dan kewajiban yang dilindungi negara. Aturan tentang harta bersama, hak asuh anak, dan perceraian adalah bentuk nyata dari bagaimana negara turut serta dalam mengatur pasar relasi ini. Namun demikian, banyak perceraian terjadi bukan karena hukum lemah, melainkan karena relasi gagal dikelola sejak dini. Di sinilah pentingnya edukasi relasional sebagai bagian dari pendidikan karakter yang substansial.


Kita tidak bicara sekadar romantika. Ini menyangkut kesejahteraan emosional, sosial, dan bahkan finansial. Hubungan yang stabil dan sehat dapat menurunkan stres, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi beban negara dalam menangani konflik rumah tangga atau anak korban broken home (Kepri.Polri.go.id, 2025). Sebaliknya, hubungan yang gagal bukan hanya menyisakan trauma, tapi juga menciptakan eksternalitas negatif, konsep dalam ekonomi yang merujuk pada dampak terhadap pihak ketiga (Arrow, 1963).


Maka kurikulum cinta, dari sudut hukum ekonomi, hadir bukan untuk mengekang cinta. Ia hadir untuk membekali individu dengan pengetahuan tentang insentif positif seperti kesetiaan dan kerja sama, serta disinsentif seperti kehilangan kepercayaan atau sanksi sosial akibat perselingkuhan (Cooter & Ulen, 2014). Kurikulum ini juga mengajarkan bagaimana menyusun “kontrak sosial” dalam hubungan, termasuk kemampuan bernegosiasi, kompromi, dan adaptasi dalam menghadapi perubahan.


Dalam masyarakat kita yang masih kerap melihat pendidikan sebagai hafalan belaka, memasukkan cinta ke dalam kurikulum mungkin terdengar utopis. Namun, jika kita mengacu pada prinsip pendidikan transformatif yang inklusif dan humanistik, pendekatan ini menjadi relevan. Ia membentuk manusia utuh, bukan hanya cerdas, tapi juga bijak dalam mencintai. Cinta memang tak bisa dihitung dengan kalkulator. Namun, bukan berarti tak bisa dipelajari. Kurikulum cinta adalah wujud konkret dari cita-cita pendidikan yang membangun kesejahteraan tak hanya di ruang kerja, tapi juga di ruang hati.


Referensi:


Akerlof, G. A. (1970). The Market for "Lemons".


Arrow, K. J. (1963). Uncertainty and the Welfare Economics of Medical Care.


Becker, G. S. (1973). A Theory of Marriage: Part I.


Cooter, R., & Ulen, T. (2014). Law and Economics.


Macneil, I. R. (1974). The Many Futures of Contracts.


Kepri.Polri.go.id. (2025). Pengaruh Hubungan Romantis terhadap Kesejahteraan Remaja.


Kurikulum Cinta: Pijakan Baru dalam Kesenjangan Hukum Ekonomi
Suhartina July 27, 2025
Share this post
Archive