Skip to Content

Menjadi Pelayan Ilmu dengan Cinta: Embusan Awal Napas Pengabdian

Sri Rahayu Andira (Dosen Program Studi Jurnalistik Islam, IAIN Parepare)
July 27, 2025 by
Menjadi Pelayan Ilmu dengan Cinta: Embusan Awal Napas Pengabdian
Hamzah Aziz

Refleksi Seorang Pemula

Kurikulum cinta, bukan proyek sesaat. Ia adalah narasi awal dari pengabdian jangka panjang. Ia mengikat antara bahasa, budaya, dan jiwa dalam satu ikatan pelayanan. Sebagai pemula, meskipun saya belum mulai mengajar. Belum berdiri di depan mahasiswa. Belum membuka perkuliahan dengan sapaan hangat. Tapi di dalam hati, saya menyadari bahwa saya sudah memulai perjalanan ini dengan cinta.

Awal memasuki gerbang kampus, filosofi Bugis yang mengakar di kampus Religius, Moderat, Inovatif dan Unggul memberi saya arah “malebbi warekkadana, makkiade ampena”, yakni sopan dalam bertutur, santun dalam bertindak. Halus dalam tindakan, jernih dalam niat. Ini bukan hanya petuah budaya, tapi nilai pedagogi. Pendidikan di tanah Bugis bukan semata transmisi pengetahuan, tapi pewarisan kebijaksanaan. Maka cinta harus menjadi dasar setiap kurikulum.

Sebelum saya mengajar bahasa, saya ingin lebih dulu berbicara dengan jiwa.

Sebelum saya menuntun kata, saya ingin menuntun dengan rasa.

Cinta adalah bahasa pertama dalam setiap relasi manusia. Dalam ilmu pragmatik, kita mengenal illocutionary act, bahwa ucapan bukan sekadar bunyi, tapi tindakan yang bermakna. Maka, ketika seorang pendidik berbicara dengan cinta, ia sedang membangun jembatan menuju hati peserta didik. Bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi menanamkan nilai. Saya percaya, kurikulum berbasis cinta adalah jalan dakwah paling halus. Cinta tidak memaksa, tapi ia mengundang. Cinta tidak menekan, tapi ia membimbing.

Sebagai CPNS, saya tidak membawa pengalaman panjang. Tapi saya membawa harapan dan kesungguhan. Saya ingin kelak ketika saya mulai mengajar, bukan hanya konten yang saya sampaikan, tapi juga ketulusan. Saya ingin mengajar bukan hanya dengan slide presentasi, tapi juga dengan bahasa tubuh, perhatian, dan kesabaran. Saya ingin menjadi bagian dari kurikulum cinta yang benar-benar menumbuhkan. Membentuk kesadaran berbahasa yang beretika, yang menghargai perbedaan, yang membangun peradaban.

Bahasa adalah cermin batin, dan pembelajaran bahasa harus dimulai dari hati. Saya tahu, jalan ini tak mudah. Tapi saya percaya, segala yang dimulai dari cinta akan menemukan kekuatannya sendiri. Ketika cinta menjadi dasar pembelajaran, maka kelas akan menjadi ruang tumbuh, bukan hanya tempat menguji. Kurikulum berbasis cinta sebagai bekal, sebagai arah, dan sebagai jejak pengabdian. Dari IAIN Parepare, saya ingin tumbuh, belajar, dan mengajar dengan cinta.

Pendidikan Sebagai Tindakan Cinta

Kurikulum berbasis cinta berarti menjadikan kasih sayang, penghargaan, dan kepekaan sebagai fondasi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Ini adalah antitesis dari pendidikan yang terkadang hanya berorientasi pada output kognitif dan sering melupakan sisi afektif dan moral peserta didik.

Cinta dalam kurikulum bukan berarti mengabaikan struktur dan disiplin. Justru ia menuntut keteguhan yang penuh welas asih. Dalam pembelajaran bahasa, cinta bisa hadir melalui pilihan kata yang tidak menghakimi, sikap membuka ruang diskusi, dan empati dalam menanggapi kesulitan belajar mahasiswa. Sebagaimana dalam teori kesantunan Brown & Levinson, tutur kata yang menjaga muka (face) lawan bicara menjadi bagian dari strategi relasi sosial yang penuh respek.

Di sinilah saya menyadari bahwa belum mengajar bukan berarti belum mendidik. Refleksi, persiapan, dan penataan visi adalah bagian dari tugas keilmuan. Saya ingin membangun sebuah pendekatan yang tidak hanya mengandalkan kognisi, tapi juga kepekaan batin.

Bila pendidikan adalah jalan, maka cinta adalah pelita.

Bila kata adalah sarana, maka niat baik adalah kendaraan utamanya.

Menjadi Pelayan Ilmu dengan Cinta: Embusan Awal Napas Pengabdian
Hamzah Aziz July 27, 2025
Share this post
Archive