Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya melihat Indonesia untuk pertama kalinya, dengan mata yang terbiasa pada tanah gersang dan udara panas? Begitulah yang dialami seorang dosen tamu dari Arab Saudi, seorang syekh yang datang mengajar di Makassar.
Libur semester tiba. Ia berkata kepada mahasiswanya, “Ajaklah saya ke tempat yang indah di sini.” Setelah berdiskusi, mereka sepakat menuju Bantimurung di Maros tempat yang terkenal dengan air terjun dan kupu-kupunya.
Perjalanan menuju Bantimurung menjadi semacam “kuliah lapangan” tak terduga bagi sang sheikh. Mobil melaju di jalanan yang diapit sawah hijau, kebun, dan pepohonan rindang. Tanahnya subur, udaranya segar. Ia tertegun. Dalam hati ia bertanya, “Mengapa di negeri sesubur ini masih banyak yang hidup miskin?”
Pertanyaan itu belum sempat ia lontarkan, ketika matanya menangkap pemandangan seorang petani yang menancapkan batang tanaman ke tanah. “Tanpa akar? Bagaimana itu bisa tumbuh?” pikirnya. Seorang mahasiswa menjelaskan, “Itu singkong, Syekh. Dia akan mengeluarkan akar baru dari batangnya.”
Belum hilang rasa herannya, ia melihat lagi seorang petani menebar biji padi begitu saja di tanah terbuka. Di negerinya, bahkan tanaman yang sudah berakar pun sering tak selamat dari panas. Di sini, biji yang dihambur justru jadi sumber pangan jutaan orang. Ia menggeleng-geleng kagum.
Sesampainya di Bantimurung, sang sheikh berganti pakaian dan berjalan menuju sungai. Begitu matanya menangkap air terjun yang menjulang, air jernih yang mengalir, pepohonan yang menaungi tepian, dan udara sejuk yang menyapu wajah --ia terdiam. Pemandangan itu semakin hidup ketika ia melihat beberapa perempuan berenang, tertawa, dan bercengkerama di air, seperti simbol “bidadari” yang sering ia baca dalam ayat-ayat surga.
Dengan mata berbinar, ia berkata pelan namun penuh rasa:
"إِنَّ إِنْدُونِيسِيَا لَقِطْعَةٌ مِنَ الْجَنَّةِ أَنْزَلَهَا اللهُ إِلَى الدُّنْيَا"
Sesungguhnya Indonesia adalah sepotong surga yang Allah turunkan ke dunia.
Namun kekaguman itu tak berhenti di sanjung-sanjung. Ia menatap para mahasiswa dan berkata, “Kalian ini pemilik surga di dunia. Tapi ingat, surga ini amanah. Kalau kalian tidak menjaganya, ia akan hilang. Kalian akan tahu rasanya hidup di negeri yang tandus dan sulit air.”
Pesan itu sederhana tapi dalam. Indonesia bukan hanya indah untuk difoto dan dibanggakan. Alamnya adalah titipan Tuhan. Dalam ajaran Islam, menjaga kelestarian alam termasuk bagian dari maqashid al-syari‘ah: hifz al-bi'ah memelihara lingkungan. Itu bukan sekadar tugas sosial, tapi ibadah yang akan dipertanggungjawabkan.
Di sinilah pendidikan memegang peran penting. Sekolah dan kampus seharusnya tak hanya mengajar rumus dan teori, tapi juga menanamkan rasa cinta serta tanggung jawab pada bumi tempat kita berpijak. Kita butuh generasi yang tak hanya kagum pada keindahan alam, tapi mau berkeringat menjaganya.
Indonesia memang sepotong surga. Namun, surga itu hanya akan tetap ada kalau kita merawatnya hari ini, esok, dan seterusnya.