Skip to Content

Ketika Kerja Sunyi Itu Menjadi Penopang Akreditasi

Dr.Sulvinajayanti, M. I.Kom. (Kepala Pusat Pengembangan Akreditasi dan  Standar Mutu)
November 26, 2025 by
Ketika Kerja Sunyi Itu Menjadi Penopang Akreditasi
Suhartina

Di banyak perguruan tinggi, keberhasilan akreditasi sering tampak sebagai perayaan kelembagaan. Namun jarang benar kita berhenti sejenak untuk menengok perjalanan panjang para pekerja sunyi yang menjaga mutu institusi dengan ketekunan yang tak kasat mata. Perjalanan akreditasi perguruan tinggi yang berlangsung sejak April 2023 adalah satu contoh paling nyata tentang betapa sebuah pencapaian administratif sesungguhnya dibangun oleh manusia-manusia yang bertahan dalam diam.

Pada April 2023, tim mulai menata kembali dokumen Re-Akreditasi. Setahun kemudian, Mei 2024, mereka kembali harus menyiapkan ISK (Instrumen Suplemen Konversi) yang akhirnya mengantar akreditasi APT naik dari B menjadi Baik Sekali. Belum sempat bernafas lega, Januari 2024 mereka lagi-lagi bergelut dengan Re-Akreditasi, dan pada September 2024 menjalani proses Pemantauan Evaluasi Peringkat Akreditasi (PEPA). Puncaknya terjadi pada Oktober 2024 ketika seluruh dokumen berhasil diselesaikan dan disubmit pada 10 Oktober 2024.

Siklus kerja itu tidak pernah benar-benar berhenti. Awal Januari 2025, tim kembali memulai babak baru: melengkapi berkas APT hingga akhirnya, pada penghujung Oktober 2025, terbit jadwal asesmen lapangan. Sejak saat itu, intensitas kerja berubah drastis. Hari-hari panjang dimulai sejak pagi dan hanya berakhir menjelang tengah malam. Di sebagian ruang kerja, lampu tak pernah mati.

Di balik tumpukan dokumen dan kesibukan administratif, ada manusia yang turut “terakreditasi” oleh perjalanan panjang itu. Ada seorang ibu yang harus meninggalkan anaknya sejak pagi hingga malam hari. Dalam beberapa situasi, ia membawa serta anaknya ke ruang kerja karena ia tidak pernah mencoret perannya sebagai ibu dari daftar prioritas. Ada hari-hari ketika ia harus meminta izin sejenak untuk menjemput anak pulang sekolah atau mengantar ke tempat les. Sebagai ibu yang menjalani LDM dengan suami, ia memikul sendiri ritme rumah tangga yang tak pernah berhenti.

Ada pula seorang ayah yang tak kalah panjang durasi kerjanya datang pagi, pulang larut malam. Ia pun sesekali harus berlari kecil menjemput anak dari sekolah atau kursus, sebelum kembali lagi ke layar laptop yang menunggu. Ada seorang gadis muda yang menghabiskan Sabtu senja menatap langit dari jendela ruang akreditasi, bukan dari sebuah kafe tempat teman-teman seusianya bersantai.

Dan ada seorang istri yang begitu tenggelam dalam arus pekerjaan akreditasi hingga kadang lupa menyiapkan makanan untuk suaminya. Bukan karena abai, tetapi karena tubuh dan pikirannya sejak pagi telah dipenuhi rapat, revisi dokumen, dan tuntutan administratif yang tak kunjung selesai. Di tengah kelelahan itu, ia menyadari bahwa perannya di rumah pun tetap menanti, kadang dengan rasa bersalah yang hanya ia simpan sendiri.

Semua itu tidak pernah mereka sebut sebagai pengorbanan. Mereka menyebutnya tanggung jawab. Tangis anak, jadwal mengajar, bimbingan mahasiswa, ujian skripsi, serta studi doktoral yang mereka jalani demi masa depan keluarga dan karier, semuanya berjalan paralel dengan deadline akreditasi yang tak pernah memberi jeda. Mereka bekerja meski kelelahan sering kali harus disembunyikan agar roda rumah tangga tetap stabil dan wajah profesional mereka tetap tegak di ruang kelas.

Kerja-kerja seperti ini biasanya tak tercatat dalam laporan asesmen. Tidak ada kolom yang menandai berapa banyak energi emosional, fisik, dan sosial yang telah mereka keluarkan demi satu kalimat: dokumen lengkap dan siap diunggah. Tidak ada rubrik bagi rasa bersalah seorang ibu yang meninggalkan anak hingga larut malam. Tidak ada skor untuk kebijaksanaan seorang istri yang terpaksa melewati waktu makan malam tanpa sempat menata meja. Tidak ada indikator untuk kegigihan seorang ayah yang membagi perhatian antara keluarga dan lembaga. Tidak ada metrik yang mencatat ketabahan seorang perempuan muda yang menukar senjanya dengan laporan akreditasi.

Namun di sinilah inti persoalan kita sebagai lembaga: kerja manusia sering tenggelam di balik keberhasilan administratif.

 

Ketika Apresiasi Tidak Pernah Hadir

Dalam suasana seperti itu, wajar bila tersisa ruang kecewa yang tak bisa sepenuhnya disapu dengan kalimat “terima kasih, ya.” Mereka yang bekerja sejak 2023 hingga 2025 tentu tidak berharap diperlakukan seperti bintang tamu yang muncul hanya saat lembaga panik menjelang asesmen lapangan, tetapi begitulah pola yang terus berulang: tangan mereka dicari ketika dokumen darurat, namun lenyap dari ingatan ketika saatnya apresiasi dibagikan.

Kekecewaan itu bukan tuntutan berlebih; ia hanya refleksi naluriah manusia yang, konon katanya, punya perasaan. Sebab rasanya agak janggal ketika jam tidur, waktu dengan anak, kesehatan, bahkan ruang napas pribadi dikorbankan; bukan untuk tepuk tangan, tetapi sekadar untuk satu hal sederhana: diakui. Bukan hal besar, hanya pengakuan bahwa kerja mereka lebih dari sekadar mesin pencetak berkas.

Jika lembaga ingin benar-benar menjadi rumah intelektual, maka ia perlu belajar menjadi rumah bagi manusia yang tinggal di dalamnya, bukan hanya rumah bagi laporan dan indikator kinerja. Penghargaan bukan sekadar formalitas seremoni atau slide PowerPoint, tetapi bentuk paling nyata bahwa lembaga tidak hanya hidup dari predikat, melainkan juga dari nurani. Karena jika tidak, jangan heran bila suatu saat mereka tersenyum santai dan berkata, “Maaf—pekerjaan utama saya bukan ini.”

Ketika Kerja Sunyi Itu Menjadi Penopang Akreditasi
Suhartina November 26, 2025
Share this post
Tags
Archive