Skip to Content

Refleksi atas Tayangan yang Menyudutkan Dunia Pesantren

Dr. Muhammad Ali Rusdi Bedong, M.Th.I. (Warek III IAIN Parepare, Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Risalah Batetangnga Polewali Mandar)
October 15, 2025 by
Refleksi atas Tayangan yang Menyudutkan Dunia Pesantren
Hamzah Aziz

Tayangan yang disiarkan oleh Trans 7 baru-baru ini dan terkesan menyudutkan dunia pesantren telah memantik gelombang kekecewaan di kalangan masyarakat pesantren. Bukan semata karena ia menyinggung perasaan kolektif para santri dan kiai, melainkan karena tayangan semacam itu berpotensi menggiring opini publik yang keliru tentang lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara ini. Padahal, pesantren bukan sekadar tempat menuntut ilmu agama, tetapi juga kawah candradimuka pembentukan karakter, moral, dan jiwa kebangsaan. Maka, pemberitaan yang tendensius bukan hanya melukai citra lembaga, tetapi juga menistakan warisan spiritual dan sosial yang telah berabad-abad menjadi penyangga moral bangsa.

Namun demikian, kemarahan saja tidak cukup. Dunia pesantren juga harus melakukan introspeksi dengan jiwa besar. Kita hidup di era di mana batas antara ruang privat dan publik menjadi sangat tipis.

Banyak video, konten, dan narasi yang muncul dari lingkungan pesantren disebarkan tanpa penyaringan, hanya demi mengikuti algoritma media sosial dan euforia viralitas. Akibatnya, tradisi luhur dan keindahan adab santri kadang tertutupi oleh potongan-potongan konten yang tidak proporsional dan mudah disalahartikan oleh publik luar.

Sering kali pula, kita terjebak dalam kebanggaan yang semu menampilkan sisi penderitaan santri seolah menjadi simbol keikhlasan, sementara kebahagiaan, semangat belajar, dan keceriaan mereka jarang ditonjolkan. Padahal, pesantren sejatinya adalah ruang penuh harapan, tempat tumbuhnya generasi yang tangguh, cerdas, dan berjiwa sosial tinggi. Inilah yang perlu dikembalikan: narasi pesantren sebagai taman ilmu dan akhlak, bukan sebagai ruang penderitaan yang dijadikan bahan tontonan.

Pesantren harus kembali kepada prinsip wara‘ dan hikmah dalam bermedia. Para santri dan ustaz perlu dibekali literasi digital dan etika komunikasi publik agar setiap unggahan mencerminkan nilai ta’dib (pendidikan adab), bukan sekadar hiburan. Media sosial bisa menjadi ladang dakwah yang luas, tetapi juga jebakan yang menggerus marwah jika tidak dikelola dengan niat dan ilmu.

Refleksi ini bukan bentuk kelemahan, tetapi cermin dari kedewasaan moral dan intelektual pesantren. Dunia pesantren tidak boleh hanya menjadi korban framing, tetapi juga harus mampu tampil sebagai subjek yang memproduksi narasi alternatif narasi kebaikan, kebijaksanaan, dan kemajuan. 

Ketika pesantren mampu menunjukkan wajah Islam yang ramah, intelektual, dan solutif di tengah derasnya arus informasi, maka masyarakat akan menyaksikan bahwa nilai-nilai luhur yang dijaga di balik tembok pesantren tetap hidup dan relevan.

Inilah saatnya pesantren menata kembali arah komunikasi publiknya: dari sekadar eksis menjadi bermakna, dari ingin dikenal menjadi mampu menginspirasi. Sebab, marwah pesantren tidak hanya dijaga dengan pembelaan, tetapi dibuktikan melalui akhlak, keilmuan, dan tanggung jawab sosial yang terus bersinar di tengah derasnya gelombang zaman.