Indonesia, dengan kekayaan keberagaman agama dan budaya yang luar biasa, seringkali dihadapkan pada tantangan pelik dalam menjaga harmoni sosial. Pluralitas, di satu sisi, adalah anugerah yang memperkaya, namun di sisi lain, dapat menjadi pemicu konflik jika tidak dikelola dengan bijak. Untuk merespons dinamika ini, Kementerian Agama meluncurkan program Moderasi Beragama pada 2019 sebagai upaya strategis mempromosikan toleransi, inklusivitas, dan kohesi sosial.
Namun, bagaimana implementasi kebijakan ini dapat berkelanjutan dan benar-benar meresap dalam praktik sehari-hari masyarakat? Dalam riset berjudul “Religious Moderation Policy Through Good Governance and Bugis Philosophy Pakkawarui Madecengnge in Amparita, South Sulawesi” yang dilakukan oleh Syafa'at Anugrah Pradana, Hasanuddin Hasim, dan Yusniar dari Institut Agama Islam Negeri Parepare, terungkap bahwa kunci keberhasilan moderasi beragama di Desa Amparita, Sulawesi Selatan, terletak pada perpaduan unik antara prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan filosofi lokal Bugis “Pakkawarui Madecengnge” (terus-menerus berbuat kebaikan).
Fenomena Amparita menjadi sorotan karena desa ini, yang dihuni komunitas Muslim dan Tolotang, telah hidup berdampingan secara harmonis selama berabad-abad. Riset ini tidak hanya melihat moderasi beragama sebagai kebijakan top-down dari pemerintah, melainkan sebagai praksis budaya yang mengakar kuat dalam etos lokal. Ini berbeda dengan banyak studi sebelumnya yang cenderung menempatkan moderasi beragama dalam kerangka sosiologis atau teologis, dengan sedikit perhatian pada dimensi tata kelola dan integrasi kearifan lokal.
Amparita: Laboratorium Harmoni Beragama
Desa Amparita bukan sekadar penerima kebijakan moderasi beragama dari pemerintah pusat. Sejarahnya mencatat Amparita sebagai tempat di mana masyarakat Muslim dan Tolotang telah hidup rukun selama berabad-abad. Interaksi rutin melalui acara budaya, kerja sama ekonomi, dan solidaritas lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Pengakuan Amparita sebagai “Kampung Moderasi Beragama” oleh Kementerian Agama sebenarnya merupakan formalisasi dari praktik sosial yang sudah ada, bukan sebuah imposisi eksternal.
Implementasi kebijakan moderasi di Amparita mencerminkan integrasi unik antara inisiatif negara formal dan tradisi budaya lokal. Ini menjadikannya model khas di Indonesia, di mana moderasi tidak hanya dipahami sebagai arahan dari atas, tetapi juga termanifestasi melalui praktik sehari-hari, hubungan antaragama, dan proyek komunitas bersama.
Prinsip Tata Kelola Baik dalam Praktik Lokal
Dari perspektif tata kelola, kebijakan moderasi beragama di Amparita selaras dengan Prinsip-prinsip Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Meskipun Amparita adalah desa kecil dengan keterbatasan administratif, nilai-nilai tata kelola yang tertanam dalam AUPB menjadi fondasi kuat untuk menjaga harmoni antaragama.
Prinsip kepastian hukum terwujud melalui pengakuan resmi Amparita sebagai “Kampung Moderasi Beragama” oleh Kementerian Agama, yang memberikan legitimasi dan stabilitas bagi inisiatif lokal. Transparansi dan inklusivitas tercermin dalam proses pengambilan keputusan, di mana pemerintah desa secara rutin melibatkan perwakilan komunitas Muslim dan Tolotang dalam rapat perencanaan, perumusan, dan evaluasi program. Diskusi ini dilakukan secara terbuka, mencerminkan tradisi musyawarah Bugis sebagai bentuk deliberasi budaya. Akuntabilitas juga diperkuat oleh ekspektasi bahwa para pemimpin, baik formal maupun tradisional, bertanggung jawab tidak hanya kepada birokrasi pemerintah, tetapi juga kepada masyarakat yang mereka wakili.
Prioritas kepentingan publik terlihat jelas dalam perancangan kegiatan yang bertujuan untuk kesejahteraan kolektif, seperti festival budaya antaragama, kerja bakti bersama, dan proyek lingkungan. Pendekatan ini mencegah persepsi keberpihakan dan memastikan kebijakan moderasi menjadi kekuatan pemersatu. Proporsionalitas dijaga melalui representasi yang seimbang antara pemimpin Muslim dan Tolotang dalam setiap forum pengambilan keputusan, memperkuat rasa keadilan dan keseimbangan.
Pakkawarui Madecengnge: Fondasi Etika yang Mengakar
Keberhasilan kebijakan moderasi beragama di Amparita tidak dapat dilepaskan dari pengaruh filosofi Bugis “Pakkawarui Madecengnge”, yang berarti “terus-menerus berbuat kebaikan”. Filosofi ini mendorong anggota komunitas untuk terus bertindak dengan keadilan, kebaikan, dan solidaritas, tanpa memandang afiliasi agama. Dalam praktiknya, etos ini terwujud dalam saling membantu saat ritual komunal, bantuan bencana, dan interaksi bertetangga sehari-hari. Fondasi etika inilah yang memberikan legitimasi dan penerimaan terhadap kebijakan formal di dalam komunitas.
Filosofi ini bukan sekadar ajaran etika abstrak, melainkan kompas moral praktis yang menginformasikan kehidupan sehari-hari dan tata kelola di Amparita. Melalui kebaikan interpersonal, solidaritas komunitas, kepemimpinan yang etis, dan resolusi konflik yang berakar pada budaya, filosofi ini membentuk lingkungan di mana moderasi beragama dipraktikkan. Ini memastikan bahwa moderasi tidak hanya valid secara administratif, tetapi juga sah secara sosial.
Sinergi Kebijakan dan Kearifan Lokal
Sintesis antara AUPB dan Pakkawarui Madecengnge menghasilkan model moderasi beragama yang unik, di mana tata kelola dan budaya tidak terpisahkan. AUPB memberikan kepastian hukum dan struktur administratif, sementara filosofi Bugis memastikan kedalaman moral dan kesinambungan budaya. Bersama-sama, keduanya membentuk fondasi ganda yang menjadikan Amparita model moderasi beragama yang tangguh dan dapat direplikasi dalam masyarakat plural Indonesia.
Model terintegrasi ini berbeda dari kasus-kasus moderasi beragama lainnya di Indonesia. Di beberapa daerah, moderasi sangat bergantung pada program birokrasi, membuatnya rentan terhadap perubahan kebijakan politik. Di tempat lain, moderasi berakar pada tradisi budaya tetapi kurang memiliki pengakuan formal, membuatnya rapuh dalam menghadapi tantangan eksternal. Amparita menawarkan jalur yang berbeda: model seimbang di mana hukum dan budaya saling memperkuat.
Tantangan dan Ketahanan Model Amparita
Meskipun kuat, penerapan AUPB di Amparita tidak tanpa keterbatasan. Ketiadaan peraturan lokal yang mengikat menyebabkan kebijakan rentan terhadap perubahan politik, sementara kendala finansial membatasi perluasan program. Keberlanjutan inisiatif juga sangat bergantung pada karisma dan otoritas moral pemimpin lokal. Namun, pengalaman Amparita menunjukkan bahwa kekurangan formalisme hukum dapat diimbangi sebagian oleh legitimasi budaya, terutama ketika nilai-nilai AUPB diselaraskan dengan kearifan lokal.
Amparita menunjukkan bahwa moderasi dapat dipertahankan secara lebih efektif ketika berakar pada prinsip tata kelola dan legitimasi budaya. Ini menjadi contoh nyata bahwa kebijakan yang secara formal valid tetapi ditolak secara sosial, atau praktik budaya yang diterima secara sosial tetapi tidak memiliki perlindungan hukum, dapat dihindari melalui integrasi yang cermat.
Pelajaran Berharga untuk Indonesia Plural
Kasus Amparita menegaskan bahwa kebijakan moderasi beragama hanya dapat mencapai durabilitas ketika prinsip-prinsip tata kelola formal diselaraskan dengan kearifan lokal. Prinsip-prinsip Umum Pemerintahan yang Baik menyediakan fondasi struktural dan legal yang menjamin kepastian, keadilan, dan akuntabilitas, sementara filosofi Bugis Pakkawarui Madecengnge menyuplai energi moral yang menopang praktik sehari-hari kebaikan, toleransi, dan solidaritas. Sintesis ini mengubah moderasi dari program yang dipaksakan negara menjadi realitas budaya yang hidup.
Interaksi antara AUPB dan Pakkawarui Madecengnge menciptakan legitimasi ganda. Di satu sisi, AUPB menambatkan kebijakan dalam hukum administrasi Indonesia, memberinya otoritas normatif dan pengakuan kelembagaan. Di sisi lain, Pakkawarui Madecengnge membenamkan kebijakan dalam pandangan etis masyarakat Bugis, memastikan penerimaan dan kepatuhan sukarela. Dengan demikian, Amparita menjadi model yang dapat direplikasi untuk komunitas plural lain di Indonesia, menunjukkan bahwa hukum negara dan kearifan lokal dapat digabungkan untuk menciptakan harmoni berkelanjutan.
Identitas Riset
Judul: Religious Moderation Policy Through Good Governance and Bugis Philosophy Pakkawarui Madecengnge in Amparita, South Sulawesi
Peneliti: Syafa'at Anugrah Pradana, Hasanuddin Hasim, Yusniar
Institusi: Institut Agama Islam Negeri Parepare
Tahun: 2025
DAFTAR PUSTAKA
Aderus, A., Ambo Masse, R., Rahman, A., Syam, A., Mohammad Subaeh, S. T. N. and Firman, F. 2024. Religious Moderation and Transnational Islamic Ideology: Phenomena and Implications in Indonesia. Ulumuna. 28(1): 485–509.
