Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi terus menjadi sorotan tajam. Insiden yang terjadi tidak hanya merusak fisik dan mental korban, tetapi juga mengikis rasa aman, menghambat capaian akademik, dan mencoreng citra institusi pendidikan. Realitas ini mendorong berbagai pihak, termasuk pemerintah melalui Permendikbud Ristek No. 55 tahun 2024, untuk menyusun strategi pencegahan dan penanganan yang lebih komprehensif. Namun, upaya ini kerap terkendala oleh pemahaman yang belum utuh tentang bagaimana mahasiswa sendiri memandang dan merespons potensi kekerasan seksual di sekitar mereka.
Dalam riset berjudul “Analisis Faktor Konfirmatori: Model Persepsi Mahasiswa tentang Potensi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi” yang dilakukan oleh Nur Afiah, Nurhamdah, Rezki Perdani Sawai, Ros Aiza Mohd Mokhtar, dan Safiruddin Al Baqi, sebuah model persepsi mahasiswa divalidasi. Penelitian ini berupaya mengisi kekosongan pemahaman dengan menggali tiga dimensi utama persepsi mahasiswa: kognitif (apa yang mereka tahu), afektif (apa yang mereka rasakan), dan konatif (apa yang ingin mereka lakukan) terkait kekerasan seksual. Sebanyak 191 mahasiswa dari 13 perguruan tinggi di Indonesia berpartisipasi dalam studi ini, memberikan gambaran yang lebih detail tentang lanskap kesadaran kolektif di kampus.
Mengenali Batas: Dimensi Kognitif
Penelitian ini menegaskan bahwa pemahaman kognitif mahasiswa merupakan fondasi penting dalam membentuk persepsi terhadap kekerasan seksual. Dimensi kognitif mencakup kemampuan mahasiswa untuk mengenali berbagai bentuk perilaku yang melanggar batas pribadi, termasuk yang nonfisik. Misalnya, mahasiswa mampu memahami bahwa ada perilaku tertentu dalam interaksi sosial yang dapat melanggar batas pribadi seseorang (K1), menyadari bahwa tidak semua tindakan yang melukai secara psikologis harus bersifat fisik (K2), dan mampu membedakan pelanggaran norma sosial dari tindakan pribadi (K3). Ini mencakup wawasan tentang komentar tidak pantas terkait tubuh atau penampilan (K5), pengiriman pesan tanpa persetujuan (K6), hingga penggunaan pengaruh atau tekanan dalam hubungan interpersonal (K7).
Selain itu, aspek kognitif juga mencakup pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme pelaporan. Mahasiswa menunjukkan pemahaman tentang alur pelaporan (K9), cara menyampaikan kekhawatiran tanpa mengungkap identitas (K11), dan keberadaan sistem perlindungan di institusi mereka (K12). Pengetahuan ini bukan sekadar informasi, melainkan prasyarat untuk akurasi pengenalan risiko dan penolakan normalisasi perilaku menyimpang. Literasi mengenai definisi, bentuk, dan konsekuensi kekerasan seksual yang diperkuat melalui kampanye digital dan sumber informasi publik menjadi kunci dalam memperkuat dimensi kognitif ini.
Merasa dan Peduli: Dimensi Afektif
Lebih dari sekadar mengetahui, dimensi afektif mengukur respons emosional mahasiswa terhadap isu kekerasan seksual. Penelitian ini menemukan bahwa mahasiswa menunjukkan empati, keprihatinan, dan respons emosional negatif yang kuat terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Mereka merasa prihatin ketika mendengar perlakuan yang tidak menghormati batas pribadi (A13), mampu membayangkan beratnya pengalaman korban (A14), dan terdorong untuk memberikan dukungan moral (A15). Sensitivitas emosional ini juga termanifestasi dalam kewaspadaan terhadap situasi berisiko (A17) dan kekhawatiran jika orang di sekitar tidak menyadari potensi ancaman (A18).
Mahasiswa memperlihatkan rasa terganggu, prihatin, dan waspada ketika menghadapi informasi tentang kekerasan seksual, menandakan adanya sensitivitas emosional yang tinggi terhadap isu ini. Empati dan keterikatan psikologis dengan lingkungan kampus berperan penting dalam memperdalam persepsi mahasiswa terhadap risiko. Dimensi afektif ini berfungsi sebagai jembatan penting yang menghubungkan pengetahuan mahasiswa dengan pemaknaan mereka terhadap dampak kekerasan seksual, baik bagi korban maupun komunitas kampus secara keseluruhan. Tanpa dimensi afektif, pengetahuan bisa jadi hanya informasi tanpa dorongan untuk bertindak.
Bertindak dan Mencegah: Dimensi Konatif
Dimensi konatif mengukur kesiapan dan niat mahasiswa untuk bertindak preventif. Ini adalah puncak dari kognisi dan afeksi: bagaimana pengetahuan dan empati diterjemahkan menjadi aksi nyata. Mahasiswa menunjukkan keinginan untuk melapor kepada pihak berwenang jika mengetahui adanya pelanggaran (Kn25), merasa penting untuk tidak diam (Kn26), dan memiliki keinginan untuk berkontribusi menciptakan lingkungan aman (Kn27). Mereka juga tertarik mengikuti kegiatan edukatif tentang interaksi sosial yang sehat (Kn29) dan bersedia terlibat dalam kampanye kesadaran (Kn30).
Niat bertindak yang kuat ini sejalan dengan temuan riset sebelumnya yang menunjukkan bahwa efikasi diri dan kesiapan untuk melakukan intervensi merupakan prediktor penting perilaku pencegahan. Mahasiswa siap menjadi bagian dari upaya menciptakan ruang aman (Kn35) dan bertanggung jawab menjaga suasana interaksi yang saling menghormati (Kn36). Ini menunjukkan potensi signifikan bagi kampus untuk mengembangkan program partisipatif yang melibatkan mahasiswa secara langsung dalam upaya pencegahan kekerasan seksual.
Mengintegrasikan Persepsi dan Realitas Kampus
Ketiga dimensi—kognitif, afektif, dan konatif—ini saling berhubungan dan membentuk pola persepsi yang utuh. Pengetahuan memberikan dasar pengenalan risiko, respons emosional memperkaya pemaknaan, dan kesiapan bertindak menghubungkan persepsi dengan kemungkinan perilaku nyata. Model yang divalidasi ini menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa tidak berdiri sendiri, melainkan mencerminkan kondisi sosial dan budaya kampus tempat mereka berada, dipengaruhi oleh paparan informasi digital, interaksi sosial, pengalaman kelompok sebaya, serta kebijakan institusional seperti Permendikbud Ristek No. 55/2024.
Analisis Faktor Konfirmatori (CFA) yang digunakan dalam riset ini menunjukkan bahwa model pengukuran persepsi mahasiswa sangat sesuai dengan data empiris, dengan nilai goodness of fit yang baik (CFI = 0,994; TLI = 0,993; RMSEA = 0,064). Ini berarti model yang dikembangkan stabil, konsisten, dan representatif untuk mengukur persepsi mahasiswa terhadap potensi kekerasan seksual. Namun, analisis residual covariance juga mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antarindikator yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh struktur model, menyiratkan bahwa pengalaman mahasiswa terkait kekerasan seksual bersifat kompleks dan dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, mitos pemerkosaan, atau bias gender yang belum sepenuhnya terangkum dalam model.
Langkah Konkret untuk Kampus yang Aman
Temuan riset ini memiliki implikasi praktis yang luas untuk perguruan tinggi di Indonesia. Pada tingkat kognitif, kampus perlu memperkuat edukasi berbasis consent literacy dan literasi kekerasan seksual agar mahasiswa memiliki pemahaman yang lebih komprehensif. Ini bisa dilakukan melalui seminar, modul daring, atau materi edukasi yang mudah diakses.
Pada tingkat afektif, program yang meningkatkan empati sangat dibutuhkan. Pelatihan kesadaran, diskusi reflektif, atau kampanye narasi berbasis pengalaman korban dapat memperdalam kepekaan mahasiswa. Ini akan membantu mereka tidak hanya mengetahui, tetapi juga merasakan dampak kekerasan seksual, sehingga mendorong perubahan sikap yang lebih mendalam.
Pada tingkat konatif, pelatihan bystander intervention menjadi krusial untuk memperkuat kemampuan mahasiswa bertindak dalam situasi berisiko. Program ini melatih mahasiswa untuk mengenali tanda-tanda bahaya, cara mengintervensi dengan aman, dan memberikan dukungan kepada korban. Kampanye norma sosial berbasis social marketing juga dibutuhkan untuk mendorong perubahan budaya, memperluas jangkauan pesan pencegahan, dan membangun lingkungan kampus yang aman dan inklusif. Model persepsi ini dapat dimanfaatkan sebagai alat asesmen untuk memetakan kesiapan mahasiswa, serta mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program pencegahan sebelum dan sesudah implementasi, memastikan intervensi yang lebih terarah dan sistematis.
Identitas Riset
Judul: Analisis Faktor Konfirmatori: Model Persepsi Mahasiswa tentang Potensi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Peneliti: Nur Afiah, Nurhamdah, Rezki Perdani Sawai, Ros Aiza Mohd Mokhtar, Safiruddin Al Baqi
Institusi: IAIN Parepare, Universiti Sains Islam Malaysia, UIN Ponorogo
Tahun: 2025
Daftar Pustaka / Referensi
Alwi, Z. R., & Fitriani, D. R. (2023). Konsep Diri Korban Kekerasan Seksual dalam Perspektif Komunikasi Intrapersonal. JURNAL LENSA MUTIARA KOMUNIKASI. https://doi.org/10.51544/jlmk.v7i2.4540
