Di tengah hiruk pikuk modernisasi, citra ‘kota santri’ seringkali diasosiasikan dengan ketenangan, moralitas, dan tentu saja, kebersihan sebagai bagian tak terpisahkan dari iman. Namun, realitas di Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, justru menampilkan gambaran yang kontras. Wilayah yang dikenal sebagai pusat pendidikan agama, dengan pesantren ternama seperti DDI Mangkoso, justru menghadapi masalah serius dalam pengelolaan sampah. Tumpukan sampah yang berserakan di jalanan dan aliran sungai menjadi ironi yang mencolok, menantang pemahaman kita tentang bagaimana nilai-nilai keagamaan terinternalisasi dalam praktik sosial masyarakat.
Dalam riset berjudul “Paradoks Kota Santri: Kajian Sosiologis Terhadap Persoalan Pengelolaan Sampah di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru” yang dilakukan oleh Dr. H.M. Ihsan Darwis, M.Si, bersama Nasruddin, M.Pd, dan Nurul Rahmaniah dari IAIN Parepare, fenomena ini dikaji secara mendalam. Penelitian ini mencoba menggali dinamika sosial di balik permasalahan pengelolaan sampah, serta mengeksplorasi peran lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah daerah dalam mencari solusi yang relevan dan aplikatif. Temuan riset menyoroti ketidaksesuaian antara identitas religius yang kuat dengan praktik pengelolaan sampah yang masih jauh dari optimal.
Paradoks Kebersihan: Dari Iman ke Realitas Sosial
Identitas Soppeng Riaja sebagai “Kota Santri” seharusnya mendorong kesadaran kolektif akan kebersihan lingkungan. Ajaran Islam sangat menekankan kebersihan sebagai bagian dari iman, sebuah nilai yang diajarkan secara intensif di pesantren. Namun, riset ini menunjukkan bahwa pemahaman kebersihan cenderung terfokus pada ranah pribadi dan ritual, bukan pada tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan luas. Santri di pesantren diajarkan untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan internal kampus, bahkan memiliki bank sampah. Namun, sampah dari aktivitas pesantren seringkali berakhir di tempat pembuangan tidak resmi di luar area kampus, seperti di pinggir jalan penghubung Kampus 1 Mangkoso dan Kampus 2 Bululampang, atau bahkan di aliran Sungai Mangkoso.
Tokoh agama (Z) yang diwawancarai mengakui adanya kesadaran internal di pesantren, namun implementasi di luar masih minim. “Kebersihan adalah bagian dari iman,” ujarnya, “tetapi belum sepenuhnya terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar.” Kesenjangan ini menciptakan sebuah paradoks: nilai kebersihan yang diagungkan dalam ajaran agama belum sepenuhnya dieksternalisasi menjadi perilaku kolektif yang terorganisir di masyarakat.
Hambatan Struktural dan Budaya dalam Pengelolaan Sampah
Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor yang menghambat pengelolaan sampah yang efektif. Dari sisi struktural, kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai menjadi persoalan krusial. Pemerintah daerah telah menyediakan kontainer sampah, namun penempatannya belum optimal dan seringkali masyarakat membuang sampah di luar kontainer, bahkan menyebutnya sebagai “pembuangan ala koboy” menurut Camat Soppeng Riaja (HDY). Ini diperparah dengan keterbatasan anggaran dan armada pengangkut sampah dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Barru (HSB), yang merasa kewalahan karena sebagian besar tanggung jawab dilimpahkan ke tingkat kabupaten.
Faktor ekonomi juga turut berperan. Penawaran jasa pengangkutan sampah oleh pihak swasta dengan biaya Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per bulan dianggap terlalu mahal bagi sebagian masyarakat dengan pendapatan terbatas. Akibatnya, mereka memilih membuang sampah di sungai atau pinggir jalan, meskipun menyadari dampak buruknya. Ini mencerminkan konflik antara kebutuhan ekonomi dan kesadaran lingkungan.
Dari perspektif budaya, kebiasaan lama masyarakat seperti membuang atau membakar sampah sembarangan masih sulit diubah. Meskipun nilai agama mendorong kebersihan, norma sosial yang terbentuk mungkin belum sepenuhnya mendukung kolaborasi dalam pengelolaan sampah secara sistematis. Masyarakat cenderung memandang kebersihan sebagai masalah individu, bukan tanggung jawab bersama yang memerlukan solidaritas kolektif.
Analisis Sosiologis atas Paradoks Sampah
Teori struktural fungsional Durkheim relevan untuk memahami situasi ini. Durkheim membedakan solidaritas mekanik (berdasarkan kesamaan nilai) dan solidaritas organik (berdasarkan pembagian kerja fungsional). Di Soppeng Riaja, solidaritas mekanik dalam bentuk nilai kebersihan pribadi mungkin ada, tetapi solidaritas organik untuk pengelolaan sampah kolektif belum terbentuk. Berbagai pihak—pesantren, masyarakat, dan pemerintah—masih berjalan sendiri-sendiri, menciptakan anomie atau kekacauan norma dalam penanganan sampah.
Konsep internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi dari Berger dan Luckmann juga menjelaskan mengapa nilai kebersihan belum sepenuhnya terwujud dalam tindakan kolektif. Nilai kebersihan telah diinternalisasi (dipahami), tetapi belum dieksternalisasi (diterapkan dalam perilaku sosial) dan diobjektivasi (menjadi bagian dari realitas sosial yang diakui bersama dalam pengelolaan sampah yang terorganisir). Masyarakat tahu kebersihan itu baik, tetapi belum bertindak secara kolektif.
Selain itu, rasionalitas birokratis Weber yang menekankan sistem efisien dan terorganisir belum berjalan optimal. Walaupun ada kebijakan dan fasilitas, implementasinya terhambat oleh anggaran minim dan kurangnya koordinasi. Habermas menyoroti pentingnya tindakan komunikatif dan dialog rasional untuk mencapai konsensus. Di Soppeng Riaja, ruang dialog antara pesantren, pemerintah, dan masyarakat masih minim, menyebabkan ketidakselarasan dalam mengatasi masalah sampah.
Membangun Kembali Solidaritas Lingkungan: Langkah ke Depan
Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan nilai agama dengan prinsip keberlanjutan dan melibatkan sinergi lintas sektor. Pemerintah daerah perlu meningkatkan anggaran dan menyediakan infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai, termasuk tempat sampah terpisah dan sistem pengangkutan yang efisien. Program penyuluhan dan kampanye sosial berbasis nilai agama dan budaya lokal juga harus digalakkan, didukung dengan pemberian insentif bagi komunitas yang aktif mengelola sampah.
Lembaga pendidikan, khususnya pesantren, memiliki peran sentral sebagai agen perubahan. Kurikulum berbasis lingkungan harus diintegrasikan, menekankan kebersihan sebagai tanggung jawab sosial dan nilai keagamaan. Pesantren dapat memimpin program pengelolaan sampah berbasis komunitas, melibatkan santri, guru, dan masyarakat sekitar dalam kegiatan nyata seperti pemilahan, komposting, dan daur ulang. Kegiatan sosial seperti kerja bakti dan pembuatan taman ekologis akan memperkuat ikatan sosial dan menanamkan kepedulian lingkungan sejak dini.
Masyarakat harus didorong untuk meningkatkan kesadaran kolektif bahwa kebersihan lingkungan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pribadi. Partisipasi aktif dalam program pengelolaan sampah dan pembiasaan budaya baru seperti memilah dan mendaur ulang sampah akan menjadi kunci. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pesantren, masyarakat, dan sektor swasta melalui dialog terbuka adalah esensial untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang efektif dan berkelanjutan, sehingga identitas “Kota Santri” benar-benar tercermin dalam lingkungan yang bersih dan sehat.
dentitas Riset
Judul: Paradoks Kota Santri: Kajian Sosiologis Terhadap Persoalan Pengelolaan Sampah di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru
Peneliti: Dr. H.M. Ihsan Darwis, M.Si, Nasruddin, M.Pd, Nurul Rahmaniah
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
*DAFTAR PUSTAKA*
Abdussamad, Zuchri. 2021. Metode Penelitian Kualitatif. Diedit oleh Patta Rapanna. Makassar: Syakir Media Press.
