Skip to Content

Riset: Komunikasi Institusional yang Buruk Memperparah Eksklusi Sosial di Kampus

December 9, 2025 by
Fikruzzamansaleh

Lingkungan pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi oase aman bagi pertumbuhan intelektual dan pribadi, kerap kali tercoreng oleh bayang-bayang krisis institusional. Isu-isu seperti pelecehan seksual dan penyimpangan keuangan bukan hanya merusak integritas lembaga, tetapi juga menciptakan iklim ketidakamanan dan ketidakpercayaan di kalangan mahasiswa. Fenomena ini semakin diperparah ketika respons institusional terhadap krisis justru melanggengkan siklus kebisuan dan eksklusi, alih-alih memberikan perlindungan yang memadai.


Dalam riset berjudul “Faktor-Faktor Penentu Efektivitas Strategi Komunikasi dalam Memitigasi Eksklusi Sosial Selama Krisis Institusional” yang dilakukan oleh Sumarni, Suherman, dan Fajar Sidiq, terungkap dimensi sosiologis dari efektivitas komunikasi dalam konteks krisis institusional di perguruan tinggi Indonesia. Studi ini, yang menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan para penyintas dan aktor institusional, mengidentifikasi lima faktor penentu utama yang saling terkait erat. Kelima faktor tersebut adalah transparansi institusional, sensitivitas psikososial terhadap korban, kompetensi prosedural unit respons krisis internal, ketepatan waktu dan koherensi komunikasi pimpinan, serta daya dukung dan keterbatasan pengaturan spasial-infrastruktural. Temuan ini menyoroti bagaimana komunikasi yang tidak efektif sering kali mereproduksi eksklusi struktural, mengintensifkan reviktimisasi, dan melegitimasi sikap diam institusional, menjauhkan kampus dari esensi inklusivitas dan akuntabilitas.



Transparansi: Gerbang Menuju Kepercayaan atau Kebisuan


Salah satu hambatan paling signifikan dalam komunikasi krisis yang efektif adalah kurangnya transparansi institusional. Para penyintas dan pengamat sering kali merasakan respons yang lambat atau bahkan ketiadaan respons sama sekali dari pihak kampus. “Mestinya kampus yang harus tanggap... ini bergulir sampai 2-3 hari sampai seminggu... seolah-olah tidak ada respon,” tutur salah satu penyintas kasus kekerasan seksual. Keterlambatan ini, yang sering kali diinterpretasikan sebagai upaya menutupi masalah demi menjaga citra institusi, justru memicu spekulasi dan rumor di media sosial, menciptakan atmosfer ketidakpercayaan yang mendalam. “Ada kesan ditutupi untuk menjaga citra kampus,” tambah penyintas lain, menggambarkan bagaimana sikap defensif institusi justru merugikan korban dan memperburuk krisis.


Ketiadaan informasi yang akurat dan tepat waktu membiarkan narasi dikuasai oleh media dan desas-desus daring, yang pada akhirnya menempatkan korban dalam posisi yang semakin rentan dan tidak berdaya. Transparansi, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar penyampaian informasi, melainkan fondasi bagi pembangunan kembali kepercayaan dan pemulihan martabat korban.



Dukungan Psikososial: Ketika Korban Kembali Terluka


Faktor kedua yang krusial adalah tingkat dukungan psikososial dan sensitivitas yang diberikan oleh institusi. Sayangnya, banyak penyintas melaporkan mengalami tekanan psikologis yang intens akibat persepsi ketidakpedulian institusi dan maraknya narasi yang menyalahkan korban (victim-blaming). “Traumaaa diintimidasi... banyak chat masuk... kutematikan HP-ku hampir 1 bulan lebih,” ungkap seorang penyintas, menggambarkan dampak psikologis yang parah akibat kurangnya dukungan. Selain itu, narasi yang menyalahkan korban, seperti “Dilihat dari cara berpakaiannya... bisa saja memicu... perempuan harus lebih sopan,” semakin memperparah trauma dan mengikis kepercayaan terhadap mekanisme institusional.


Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa kegagalan institusi untuk menyediakan dukungan psikososial yang memadai tidak hanya memperparah eksklusi sosial dan akademik korban, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan mereka terhadap lembaga pendidikan. Ini sejalan dengan temuan Rahmatika et al. (2023) yang mengidentifikasi “budaya ketidakadilan gender” di kampus, yang menyulitkan mahasiswa perempuan untuk melaporkan pelecehan karena takut akan pembalasan atau ketidakpercayaan.



Profesionalisme Unit Respons Krisis: Antara Harapan dan Realitas


Meskipun banyak universitas telah membentuk satuan tugas (satgas) atau unit krisis, efektivitas mereka sering kali dipertanyakan. Partisipan mengkritik badan-badan ini karena kurangnya proaktifitas, pelatihan, dan kredibilitas. “Perangkat... tidak mengerti atau tidak kompetensi... atau malah kampus juga ikut menyembunyikan,” ujar seorang partisipan, mencerminkan persepsi akan ketidakmampuan unit-unit ini. Kritik serupa juga muncul mengenai kurangnya investigasi yang menyeluruh: “Harusnya Satgas... turun proaktif... dilindungi kampus... di cross-check dengan baik... tapi ini kurang.”


Persepsi ketidakmampuan unit-unit ini sering kali menyebabkan stagnasi kasus, pelaku yang tidak terpantau, dan korban yang merasa enggan untuk melaporkan pengalaman mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun ada mekanisme formal, implementasinya masih jauh dari harapan, sehingga justru mereproduksi kekerasan simbolik dan marjinalisasi teknokratis, seperti yang dijelaskan oleh Gorby (2021).



Responsivitas Pimpinan: Kunci di Tengah Badai Informasi


Ketepatan waktu dan koordinasi pimpinan juga terbukti krusial. Pimpinan institusi yang gagal menangani krisis dengan segera menciptakan kekosongan komunikasi, membiarkan rumor dan kemarahan digital berkembang biak. “Terkesan lambat konferensi persnya... harusnya cepat karena isu ini heboh,” kata seorang partisipan, menyoroti pentingnya respons cepat dalam situasi krisis. Penundaan semacam itu mengikis kepercayaan publik dan memperluas kerusakan reputasi dari insiden inti hingga ke institusi secara keseluruhan. “Bukan wartawan yang harus mengejar pimpinan,” tambahnya, menekankan perlunya pimpinan untuk proaktif dalam komunikasi.


Kegagalan pimpinan untuk terlibat dalam proses dialogis yang tepat waktu selama krisis, sebagaimana diuraikan oleh Habermas (1984) dalam konsep tindakan komunikatif (communicative action), melucuti institusi dari legitimasi diskursifnya. Hal ini juga selaras dengan kasus Universitas Argopuro yang dicatat oleh Wulandari & Layna (2025), di mana penanganan yang salah terhadap krisis pelecehan seksual oleh pimpinan senior menyebabkan reaksi keras dan pertanyaan mengenai komitmen institusi.



Infrastruktur dan Pengawasan: Fondasi Keamanan yang Rapuh


Terakhir, infrastruktur fisik dan prosedural institusi memengaruhi berulangnya insiden yang tidak aman. Sistem pemantauan yang tidak memadai dan desain ruang akademik publik yang buruk menciptakan kerentanan tambahan. “CCTV itu harus aktif... bukan hanya dipasang... siapa yang monitor ini tidak ada,” ujar seorang partisipan, menyoroti kurangnya pengawasan efektif. Lingkungan fisik seperti “Tempat ujian jangan kecil ruangannya dan bisa dikunci dari dalam... harus lebih dari satu orang” juga memperkuat persepsi bahwa lingkungan institusional tidak hanya tidak aman, tetapi juga eksklusif secara simbolis.


Kekurangan infrastruktur ini, ditambah dengan kurangnya pengawasan, menciptakan celah bagi insiden untuk terus berulang dan memperkuat rasa takut di kalangan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa keamanan fisik dan prosedural merupakan bagian integral dari strategi komunikasi krisis yang efektif, karena tanpa fondasi ini, pesan-pesan dukungan akan terasa hampa.



Komunikasi sebagai Medan Kontestasi Kekuasaan


Temuan studi ini memperkuat kerangka teoritis yang mengonseptualisasikan eksklusi sosial sebagai hasil relasional dan komunikatif yang dibentuk oleh struktur kekuasaan institusional. Ketiadaan komunikasi yang transparan, dukungan korban yang tidak memadai, kepemimpinan yang tidak responsif, dan kinerja unit respons krisis yang buruk mencerminkan pola di mana institusi memprioritaskan manajemen reputasi di atas kesejahteraan mahasiswa. Pola ini pada akhirnya melanggengkan siklus eksklusi dan pembungkaman, sejalan dengan kritik Fraser (2000) terhadap wacana institusional yang sering kali dimonopoli oleh aktor-aktor dominan, di mana suara-suara marjinal—khususnya korban perempuan—berjuang untuk mendapatkan pengakuan.


Analisis Foucault (1977) mengenai relasi kuasa semakin memperkaya diskusi ini dengan mengilustrasikan bagaimana kekuasaan beroperasi dalam struktur sosial untuk membentuk pengetahuan dan klaim kebenaran, yang sering kali meminggirkan suara dan narasi tertentu. Dalam konteks pendidikan tinggi, praktik institusional yang gagal mempertimbangkan pengalaman seluruh pemangku kepentingan secara memadai dapat menjadi mekanisme eksklusi sosial. Ketidakefektifan strategi komunikasi krisis yang diamati di pendidikan tinggi Indonesia selaras dengan pandangan ini, di mana institusi berisiko memperkuat pola marjinalisasi alih-alih membongkarnya.



Meretas Siklus Kebisuan: Rekomendasi untuk Masa Depan


Untuk meretas siklus kebisuan dan eksklusi ini, institusi pendidikan tinggi harus bergerak melampaui kepatuhan yang bersifat performatif menuju pengembangan kerangka kerja komunikasi substantif yang berpusat pada korban. Pelembagaan protokol transparansi yang jelas, penguatan mekanisme dukungan psikososial, dan peningkatan kapasitas tim respons krisis adalah langkah-langkah konkret yang harus segera diimplementasikan. Reformasi hukum seperti Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 (Soembolo, 2022) harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang dapat ditindaklanjuti dengan mekanisme pemantauan dan penegakan yang kuat, memastikan bahwa kebijakan tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi benar-benar diaplikasikan.


Selain itu, universitas perlu berinvestasi dalam infrastruktur yang aman dan sistem pengawasan yang efektif untuk mencegah insiden berulang. Desain ruang akademik yang inklusif dan sistem pemantauan yang aktif dapat menciptakan lingkungan yang benar-benar aman bagi seluruh komunitas kampus. Studi masa depan dapat mengeksplorasi perbandingan lintas tipe institusi dan konteks budaya, serta mengintegrasikan pendekatan metode campuran (mixed-method) untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana kepercayaan, inklusi, dan legitimasi dinegosiasikan selama krisis. Dengan memusatkan kembali wacana institusional di sekitar akuntabilitas dan inklusi, universitas dapat mulai membangun kembali kepercayaan dan menumbuhkan lingkungan akademik yang lebih adil dan tangguh.



Identitas Riset

Judul: Faktor-Faktor Penentu Efektivitas Strategi Komunikasi dalam Memitigasi Eksklusi Sosial Selama Krisis Institusional

Peneliti: Sumarni, Suherman, Fajar Sidiq

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 2025


DAFTAR PUSTAKA

Fatchiya, A., Asriwandari, K., Dalimoenthe, I., Amanah, S., Puspita, D., & Firmansyah, A. (2025). Combating sexual violence in higher education: an analysis of typology, governance, and strategic interventions in indonesian universities. Multidisciplinary Science Journal, 8(1), 2026137