Konflik sosial, bagaikan bara dalam sekam, kerap mengancam tenun harmoni masyarakat majemuk. Di tengah riuhnya tuntutan keadilan formal, kearifan lokal seringkali terlupakan sebagai penawar mujarab. Namun, di dataran tinggi Tana Toraja, Sulawesi Selatan, sebuah tradisi bernama Ma'kombongan telah lama menjadi mercusuar perdamaian, menawarkan jalan rekonsiliasi yang mendalam dan bermakna. Dalam riset berjudul Symbolic Communication in Social Harmony: Ma'kombongan as Cultural Praxis within The Framework of Reconciliation Jurisprudence (Fiqh Al Sulh) yang dilakukan oleh Sulvinajayanti dan timnya, Ma'kombongan diungkap sebagai praktik budaya yang tidak hanya mencegah konflik, tetapi juga membangun kembali jembatan sosial melalui komunikasi simbolik yang kaya makna.
Ma'kombongan, sebuah sistem nilai budaya Toraja yang berpusat pada kehormatan dan martabat, menjelma menjadi ruang kolektif tempat masyarakat berdialog, mengambil keputusan adat bersama, dan memulihkan hubungan pascakonflik melalui pertukaran simbolik. Kekuatan tradisi ini terletak pada kemampuannya membentuk harmoni sosial melalui mekanisme non-yudisial yang partisipatif. Namun, selama ini, studi tentang tradisi lokal semacam ini dan prinsip sulh dalam Islam cenderung deskriptif. Penelitian ini hadir menjembatani kesenjangan tersebut, menawarkan kerangka Fiqh Rekonsiliasi (Fiqh al-Sulh) yang kontekstual—mekanisme penyelesaian konflik damai yang berfokus pada perbaikan hubungan, pengakuan kesalahan, dan perlindungan kehormatan individu. Dengan mengintegrasikan Ma'kombongan ke dalam kerangka fiqh ini, riset ini tidak hanya memperkaya pendekatan etis rekonsiliasi dalam Islam, tetapi juga menyajikan model integratif untuk pembangunan perdamaian sosial berbasis komunitas.
Menggali Kearifan Lokal dengan Teori Beralas
Tim peneliti mengadopsi pendekatan kualitatif berbasis etnografi dan teori beralas (grounded theory) untuk menggali konsep Fiqh al-Sulh langsung dari data lapangan. Pendekatan ini memungkinkan pengembangan teori secara induktif dari pengalaman empiris para pelaku komunitas. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan tiga informan kunci: Nurhakki, seorang pengamat budaya; Oktaviandi, dosen IAKN Toraja dan anggota komunitas adat; serta Pawa Palembangan, seorang To Parenge atau hakim adat. Analisis data dilakukan melalui pengodean terbuka, aksial, dan selektif, mengintegrasikan tema-tema menjadi kerangka rekonsiliasi berbasis adat dan fiqh.
Lima Pilar Harmoni dalam Ma'kombongan
Dari analisis mendalam terhadap praktik Ma'kombongan, teridentifikasi lima dimensi utama rekonsiliasi yang menjadi fondasi dalam membangun harmoni sosial. Dimensi-dimensi ini saling melengkapi untuk menciptakan proses rekonsiliasi yang adil, inklusif, dan berlandaskan nilai-nilai luhur.
Pertama, Keadilan Restoratif (al-'adālah al-jabriyyah), yang memprioritaskan pemulihan hubungan dan keseimbangan sosial di atas hukuman. Pengakuan kesalahan secara terbuka oleh pelaku dan tanggung jawab sosial keluarga serta komunitas untuk bersama menanggung konsekuensi konflik, sejalan dengan ajaran Islam tentang islah dan pemaafan (QS. Al-Hujurat: 10). Kedua, Prinsip Kesukarelaan (al-ridā wa al-tawā ʻiyyah), di mana seluruh tahapan rekonsiliasi harus dilandasi ketulusan dan persetujuan bersama. Kehadiran tanpa paksaan, kesepakatan mufakat, dan proses dialogis yang terbuka menjadi indikator utama, merefleksikan prinsip Islam bahwa perdamaian harus datang dari hati nurani (QS. An-Nisa: 114).
Ketiga, Pemulihan Hubungan Sosial (ihyā' al-'alāqāt), bertujuan memastikan hubungan antara pihak yang berselisih pulih sepenuhnya. Kehadiran pelaku dalam acara adat seperti Rambu Solo' menjadi simbol nyata penerimaan kembali ke komunitas, menegaskan kembali ikatan sosial. Ajaran Islam sangat menekankan islah (memperbaiki hubungan), saling memaafkan, dan menjaga ukhuwah (persaudaraan) (QS. Ali Imran: 134). Keempat, Perlindungan Martabat (ʻird), yang menjaga kehormatan individu, keluarga, dan komunitas. Proses rekonsiliasi dirancang agar tidak ada pihak yang dipermalukan, dengan setiap langkah dilakukan secara etis, sopan, dan hormat. Masyarakat Toraja sangat berhati-hati mencegah konflik menjadi aib, sejalan dengan larangan Islam terhadap penghinaan dan gosip (QS. Al-Hujurat: 11-12).
Kelima, Kemaslahatan Bersama (maslahah 'āmmah), sebagai dimensi puncak dalam kerangka rekonsiliasi Ma'kombongan. Kemaslahatan bersama terwujud melalui simbol-simbol kolektif seperti ritual makan bersama dan partisipasi luas masyarakat. Ini menegaskan bahwa rekonsiliasi bukan urusan pribadi, melainkan agenda bersama yang harus dijaga. Konsep kemaslahatan kolektif ini sejalan dengan prinsip maqāșid al-sharī'ah dalam Islam, yang selalu mengutamakan perlindungan dan manfaat kolektif di atas kepentingan pribadi (QS. Al-Anbiya: 107).
Fiqh Rekonsiliasi: Model Inovatif untuk Masyarakat Plural
Integrasi dimensi-dimensi ini menghasilkan kerangka Fiqh Rekonsiliasi (Fiqh al-Sulh) yang baru, berakar pada realitas sosiokultural Toraja sekaligus memperoleh legitimasi normatif dari prinsip-prinsip hukum Islam. Model ini terinspirasi pemikiran Dr. Taha Jabir al-Alwani tentang fiqh al-aqalliyāt (fiqh minoritas), yang menyerukan fleksibilitas metodologi agar syariah dapat diterapkan secara optimal dan kontekstual sesuai kondisi spesifik komunitas. Fiqh Rekonsiliasi ini mewakili interaksi dinamis antara keadilan restoratif, kesukarelaan, pemulihan hubungan sosial, perlindungan martabat, dan kemaslahatan bersama sebagai satu kesatuan yang saling mendukung.
Secara praktis, model ini sangat aplikatif dalam resolusi konflik di tingkat komunitas, menawarkan proses yang lebih manusiawi, inklusif, dan berkelanjutan. Keunggulannya terletak pada kemampuannya menjembatani kesenjangan antara hukum formal dan praktik sosial sehari-hari. Meskipun demikian, adaptasinya ke komunitas lain memerlukan penyesuaian terhadap dinamika lokal, peran aktor, serta struktur kepemimpinan sosial dan agama. Efektivitasnya juga bergantung pada kualitas keterlibatan aktor kunci dan partisipasi masyarakat.
Model Fiqh Rekonsiliasi ini dapat menjadi referensi inovatif dalam pengembangan protokol atau kebijakan resolusi konflik di berbagai daerah. Dengan nilai-nilai universalnya, ia berpotensi diadopsi dan diadaptasi oleh komunitas lain, baik dalam masyarakat Muslim maupun multikultural. Ini menegaskan bahwa kearifan lokal adalah kunci menuju harmoni yang lestari, sekaligus menawarkan dasar dialog lintas budaya untuk membangun perdamaian yang lebih adil dan berkelanjutan di tingkat nasional dan global.
Identitas Riset
Judul: Symbolic Communication in Social Harmony: Ma'kombongan as Cultural Praxis within The Framework of Reconciliation Jurisprudence (Fiqh Al Sulh)
Peneliti: Sulvinajayanti, et.al
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
*Daftar Pustaka / Referensi*
Al-Husaini, T. al-D. A. B. I. M. (1995). Kifayat al-Akhyar. Al-Maarif.
Al-Mawardi. (1994). Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqh Madzhab Al-Imam Al-Shafi'i Radhiyallahu 'anhu: Sharh Mukhtasar Al-Muzani (Vol. 12). Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
