Di tengah arus modernisasi pendidikan Islam, pesantren bilingual menjadi fenomena yang kian meluas di Indonesia. Institusi-institusi ini mengemban misi ganda: mempertahankan tradisi keilmuan Islam melalui penguasaan bahasa Arab, sekaligus membekali santri dengan kemampuan bahasa Inggris untuk berinteraksi di kancah global. Namun, di balik penekanan yang seimbang ini, sebuah pertanyaan menarik muncul: bagaimana santriwati, khususnya, menavigasi dan mengembangkan minat terhadap kedua bahasa yang memiliki peran sosiokultural berbeda ini?
Dalam riset berjudul "Sociocultural Factors Shaping Learners' Interest in Arabic and English: A Mixed-Methods Study in a Bilingual Pesantren" yang dilakukan oleh Nurul Hasanah, Muhammad Irwan, Karmila Jamal, Siti Rahmani, dan Syahban Mada Ali dari Institut Agama Islam Negeri Parepare dan Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada, terungkap sebuah pola yang mencolok. Penelitian ini menyoroti bagaimana faktor sosiokultural, pedagogis, dan identitas secara kolektif membentuk minat belajar bahasa pada santriwati, dan hasilnya menunjukkan bahwa minat terhadap bahasa Inggris secara konsisten lebih tinggi dibandingkan bahasa Arab.
Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran (mixed-methods) dengan desain triangulasi konkuren. Data kuantitatif dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur dari 42 santriwati (28 SMP dan 14 SMA) di sebuah pesantren bilingual khusus putri. Kuesioner ini mengukur tingkat minat dalam lima domain: perasaan positif, rasa ingin tahu, nilai pribadi, keterlibatan, dan sikap praktis. Sementara itu, data kualitatif diperoleh dari wawancara semi-terstruktur dengan empat santri SMP, tiga santri SMA, dua guru bahasa Inggris, dan satu guru bahasa Arab yang juga menjabat koordinator bahasa. Kombinasi data ini memberikan gambaran komprehensif tentang dinamika minat belajar bahasa di lingkungan pesantren.
Ketertarikan yang Berbeda: Data Kuantitatif
Hasil analisis kuantitatif menunjukkan pola yang konsisten: santriwati melaporkan minat yang lebih tinggi terhadap bahasa Inggris di kelima domain yang diukur. Bahasa Inggris menunjukkan skor rata-rata yang jauh lebih tinggi untuk perasaan positif (4.02 vs. 3.21), rasa ingin tahu (4.15 vs. 3.10), nilai pribadi (4.22 vs. 3.28), keterlibatan (4.10 vs. 3.05), dan sikap praktis (4.31 vs. 3.40). Ini mengindikasikan bahwa santriwati merasakan pengalaman yang lebih menyenangkan, lebih menarik, dan lebih relevan secara pribadi dengan bahasa Inggris. Meskipun minat terhadap bahasa Arab tetap positif, skornya secara konsisten berada di bawah bahasa Inggris di setiap kategori.
Perbedaan terbesar terlihat pada domain "sikap praktis", di mana santriwati secara signifikan memandang bahasa Inggris lebih "berguna" untuk aplikasi kehidupan nyata, seperti perjalanan, komunikasi, hiburan, atau tujuan akademik. Bahasa Arab, meskipun dihargai secara spiritual dan budaya, dianggap kurang praktis untuk komunikasi sehari-hari. Sementara itu, rasa ingin tahu terhadap bahasa Inggris juga sangat tinggi, mencerminkan persepsi santriwati bahwa bahasa Inggris lebih dinamis dan relevan dengan minat pribadi mereka, seringkali dipicu oleh paparan media digital.
Identitas Religius dan Daya Pikat Dunia Digital
Wawancara kualitatif memberikan penjelasan mendalam di balik angka-angka tersebut. Minat santriwati terhadap bahasa Arab, menurut temuan riset, lebih banyak didorong oleh nilai-nilai keagamaan dan kewajiban institusional daripada preferensi pribadi atau kenikmatan. Seorang santri senior mengungkapkan, "Bahasa Arab penting untuk memahami kitab-kitab agama. Saya harus mempelajarinya, meskipun terkadang terasa sulit dan kurang menarik." Hal ini diperkuat oleh pandangan guru bahasa Arab yang melihat bahasa Arab sebagai bagian dari disiplin keagamaan, bukan sebagai alat komunikasi sehari-hari.
Sebaliknya, bahasa Inggris sangat erat kaitannya dengan kehidupan digital dan aspirasi global santriwati. Banyak partisipan menyebutkan bahwa bahasa Inggris sering muncul secara alami dalam hiburan, media sosial, dan konten daring. Paparan yang sering ini memicu rasa ingin tahu dan keterlibatan emosional. Seorang santri junior berbagi, "Saya menonton YouTube dan TikTok dalam bahasa Inggris hampir setiap hari. Itu membuat saya lebih mudah tertarik karena saya mendengarnya terus-menerus." Guru bahasa Inggris juga mengamati bahwa keakraban digital meningkatkan kepercayaan diri dan kemauan santri untuk berpartisipasi.
Dukungan Lingkungan Sosial dan Interaksi Sebaya
Interaksi dengan teman sebaya juga memainkan peran substansial dalam membentuk minat santriwati terhadap bahasa Inggris. Banyak santriwati melaporkan bahwa berlatih bahasa Inggris dengan teman-teman menciptakan suasana belajar yang positif dan menyenangkan. "Teman-teman saya dan saya sering berlatih berbicara bahasa Inggris bersama. Rasanya menyenangkan karena kami melakukannya secara berkelompok," kata seorang santri junior. Ini menunjukkan bagaimana budaya pertemanan secara alami mendukung pembelajaran bahasa Inggris, menciptakan peluang informal untuk praktik dan memperkuat minat.
Namun, bahasa Arab jarang muncul dalam komunikasi sebaya di luar kegiatan formal. Santriwati jarang melaporkan penggunaan bahasa Arab secara sukarela di luar jadwal wajib. Kontras ini menyoroti bahwa budaya sebaya lebih mendukung pembelajaran bahasa Inggris melalui kesempatan praktik informal, sementara bahasa Arab tetap terbatas pada konteks kelas yang terstruktur, membatasi keterlibatan spontan.
Strategi Pengajaran: Komunikatif vs. Tekstual
Perbedaan praktik pedagogis juga menjadi faktor penting. Pelajaran bahasa Inggris cenderung lebih interaktif, bervariasi, dan berpusat pada siswa. Guru bahasa Inggris menjelaskan, "Dalam kelas bahasa Inggris, kami menggunakan permainan, video, dan aktivitas berbicara. Itu membuat siswa lebih antusias." Pendekatan ini selaras dengan penelitian yang menunjukkan bahwa pedagogi interaktif dan didukung teknologi meningkatkan kenikmatan, keterlibatan, dan kepercayaan diri belajar.
Sebaliknya, pengajaran bahasa Arab digambarkan lebih banyak berfokus pada teks dan tata bahasa. Santriwati sering menghadapi bahasa Arab melalui nahwu-sharf (tata bahasa Arab), latihan terjemahan, dan membaca teks klasik. Meskipun praktik-praktik ini penting untuk memahami keilmuan Islam, mereka tidak secara alami menumbuhkan keterlibatan afektif bagi pelajar remaja. Seorang guru bahasa Arab mengakui, "Pelajaran bahasa Arab biasanya fokus pada tata bahasa dan terjemahan. Beberapa siswa merasa bosan karena itu." Perbedaan pedagogis ini berkorelasi dengan temuan kuantitatif yang menunjukkan bahwa keterlibatan dan perasaan positif memiliki skor terendah untuk bahasa Arab di semua domain.
Paradoks Dukungan Institusional
Sebuah paradoks muncul dalam penelitian ini: bahasa Arab menerima dukungan institusional yang lebih kuat—melalui aturan harian, penggunaan di asrama, dan legitimasi religius—namun bahasa Inggris menghasilkan internalisasi yang lebih kuat di kalangan santriwati. Penggunaan bahasa Arab di asrama terjadi dalam sistem tugas yang terstruktur, sebagai bagian dari disiplin, bukan inisiatif pribadi. Ini menjelaskan mengapa bahasa Arab mendapat skor nilai pribadi yang moderat tetapi skor keterlibatan yang sangat rendah. Sebaliknya, praktik bahasa Inggris muncul secara organik: santriwati berkolaborasi dengan teman sebaya, merasa percaya diri menggunakannya secara interaktif, dan menghubungkannya dengan impian pribadi. Jumlah paparan (bahasa Arab) tidak menjamin kualitas keterlibatan, terutama ketika paparan didorong oleh kewajiban.
Penelitian ini menyoroti bahwa minat santriwati terhadap bahasa Arab dan Inggris dibentuk oleh ekosistem sosiokultural yang berbeda. Bahasa Inggris diperkuat oleh lingkungan multi-lapisan yang mencakup paparan media/multimedia, praktik sebaya, pedagogi komunikatif, dan nilai aspirasi. Sebaliknya, bahasa Arab beroperasi dalam ekosistem yang lebih sempit: penegakan institusional, identitas religius, dan pedagogi yang berpusat pada kelas. Untuk mempersempit kesenjangan ini, intervensi pedagogis dan kebijakan harus bertujuan untuk memperluas ekosistem bahasa Arab.
Apa Selanjutnya?
Temuan riset ini menggarisbawahi perlunya pesantren untuk melampaui model pembelajaran bahasa Arab yang berbasis kewajiban. Program bahasa Arab perlu mengintegrasikan pendekatan yang lebih komunikatif, didukung teknologi, dan berpusat pada otonomi siswa. Sama seperti bahasa Inggris yang menunjukkan bahwa minat berkembang pesat ketika siswa merasakan kenikmatan, agensi, dan relevansi otentik, prinsip-prinsip serupa dapat diterapkan pada pembelajaran bahasa Arab. Ini dapat mencakup penggunaan media digital yang lebih luas, aktivitas berbasis proyek, dan simulasi percakapan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pesantren perlu membuat jalur akademik bahasa Arab (misalnya, kesempatan studi di Timur Tengah) lebih terlihat dan menarik bagi santriwati. Dengan membingkai ulang bahasa Arab tidak hanya sebagai kebutuhan religius tetapi juga sebagai peluang akademik dan global, pesantren dapat membantu santriwati melihat relevansi yang lebih luas dan mengembangkan minat intrinsik yang lebih dalam. Memperkuat ekosistem pengalaman dan aspirasi bahasa Arab sangat penting untuk mencapai pengembangan bilingual yang seimbang di lingkungan pesantren.
Identitas Riset
Judul: Sociocultural Factors Shaping Learners' Interest in Arabic and English: A Mixed-Methods Study in a Bilingual Pesantren
Peneliti: Nurul Hasanah, Muhammad Irwan, Karmila Jamal, Siti Rahmani, Syahban Mada Ali
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2023
Daftar Pustaka / Referensi
El-Madani, F., & Youssef, A. (2022). Digitalization and the future of Arabic language education: Opportunities and challenges. Arab World English Journal, 13(4), 342-361.
