Mahasiswa tingkat akhir seringkali menganggap proses bimbingan skripsi sebagai medan perjuangan intelektual, tempat mereka mengasah kemampuan berpikir kritis dan analitis. Namun, di balik interaksi akademis ini, tersembunyi dinamika relasi kuasa yang kompleks, terutama di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Dalam riset berjudul “Power Relations in Social Interactions Between Lecturers and Students in Final Project Supervision at Islamic Religious Colleges” yang dilakukan oleh Firman, Andi Nurindah Sari, Ardianto, Mujahidin, Nurlingga Ibrahim, dan Nur Aisya, terungkap bagaimana interaksi sehari-hari antara dosen pembimbing dan mahasiswa, bahkan melalui pesan WhatsApp, menjadi arena reproduksi kekuasaan. Studi ini menyoroti bahwa bimbingan skripsi bukan sekadar proses akademik, tetapi juga situs di mana hierarki dan dominasi terus-menerus ditegaskan, seringkali tanpa disadari.
Bahasa sebagai Alat Dominasi dan Kesantunan Mahasiswa
Penelitian ini menganalisis pola komunikasi digital antara dosen dan mahasiswa, khususnya melalui percakapan WhatsApp. Temuan riset menunjukkan adanya pola asimetris yang konsisten: mahasiswa cenderung menggunakan strategi kesantunan yang berlebihan, seperti sapaan religius, permintaan maaf, dan ucapan terima kasih. Ungkapan-ungkapan ini seringkali panjang dan penuh mitigasi, mencerminkan posisi subordinat mahasiswa dalam relasi kuasa.
Dosen pembimbing, di sisi lain, cenderung membalas dengan bahasa yang singkat, instruktif, dan direktif. Misalnya, dalam kasus permintaan waktu konsultasi, seorang mahasiswa mungkin mengirim pesan panjang berisi sapaan dan permohonan maaf, namun dibalas singkat oleh dosen: “Datang ke LP2M jam 1 siang tepat karena ada kegiatan lain.” Kontras panjangnya tuturan ini, menurut analisis wacana kritis Fairclough, jelas menunjukkan ketidakseimbangan posisi kekuasaan. Dosen menegaskan kontrol atas waktu dan tempat, menyisakan sedikit ruang bagi mahasiswa untuk bernegosiasi.
Disiplin Institusional dan Habitus Kepatuhan
Dinamika kekuasaan ini tidak hanya terbatas pada level linguistik. Teori kekuasaan Foucault membantu menjelaskan bagaimana kekuasaan dosen beroperasi melalui mekanisme disiplin dan normalisasi. Aturan, jadwal, dan sistem akademik menjadi instrumen yang membuat mahasiswa patuh, bahkan tanpa paksaan langsung. Misalnya, ketika seorang dosen mengubah jadwal konsultasi secara sepihak, mahasiswa akan merespons dengan singkat, “Iya, Bu/Pak,” tanpa upaya perlawanan. Kepatuhan ini menunjukkan internalisasi habitus yang terbentuk dalam lingkungan PTKI.
Konsep habitus Bourdieu, yaitu sistem disposisi yang tahan lama dan dapat ditransfer, sangat relevan di sini. Mahasiswa di PTKI tumbuh dalam budaya yang menghargai norma-norma agama, etika kesantunan, dan rasa hormat terhadap otoritas. Habitus ini membentuk kepatuhan mereka, membuat dominasi dosen diterima sebagai sesuatu yang wajar. Dosen, dengan modal budaya dan simbolik yang lebih besar, secara alami memegang otoritas yang tidak dipertanyakan. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik, di mana ketidaksetaraan diterima sebagai hal yang natural, bahkan tanpa perlawanan eksplisit.
Teknologi sebagai Reproduksi Kekuasaan
Era digital membawa dimensi baru dalam relasi kuasa. WhatsApp dan sistem informasi akademik (Sisfo) yang seharusnya menjadi alat fasilitasi, justru berfungsi sebagai instrumen reproduksi kekuasaan. Dosen menggunakan platform ini untuk memberikan instruksi singkat atau meminta mahasiswa mengunggah berkas, dan mahasiswa merespons dengan patuh.
Penelitian ini mencatat bagaimana teknologi bukan sekadar alat netral, melainkan bagian dari praktik diskursif yang memperkuat hierarki yang ada. Misalnya, saat dosen meminta mahasiswa mengunggah file melalui Sisfo dan kemudian memeriksa keberhasilannya, mahasiswa akan menanggapi dengan klarifikasi singkat dan ucapan terima kasih. Teknologi, dalam konteks ini, menjadi perpanjangan dari kontrol administratif yang memungkinkan dosen mempertahankan dominasinya atas waktu, tempat, dan mekanisme bimbingan.
Konteks PTKI: Dilema Antara Nilai dan Demokrasi
Konteks PTKI memberikan karakteristik unik pada dinamika relasi kuasa ini. Norma-norma religius dan budaya kesantunan, yang seharusnya menjadi nilai positif, justru menjadi kerangka yang memperkuat posisi dosen dan membentuk habitus kepatuhan mahasiswa. Interaksi yang dibingkai oleh rasa hormat terhadap otoritas religius dan akademik membuat mahasiswa cenderung tidak mempertanyakan keputusan dosen, bahkan jika itu memengaruhi fleksibilitas waktu mereka.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bimbingan skripsi di PTKI bukan hanya ruang akademik, melainkan juga arena tempat struktur institusional dan budaya membentuk kembali kekuasaan. Pertemuan, jadwal akademik, dan agenda birokrasi berfungsi sebagai instrumen kekuasaan yang membatasi ruang gerak mahasiswa, membuat dominasi dosen tampak alami.
Menuju Bimbingan yang Lebih Egaliter dan Partisipatif
Temuan riset ini memiliki implikasi penting. Dosen pembimbing perlu menyadari posisi kekuasaan yang melekat pada peran mereka. Dominasi yang berlebihan berisiko membatasi partisipasi mahasiswa dan menghambat pengembangan kemandirian akademis mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan pola bimbingan yang lebih dialogis, yang memberi ruang bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapat dan mendorong hubungan akademis yang lebih egaliter.
Institusi PTKI pun memiliki peran strategis. Norma-norma religius dan budaya kesantunan dapat terus dipertahankan sebagai nilai positif, namun perlu diimbangi dengan kesadaran kritis agar tidak bertransformasi menjadi instrumen dominasi simbolik. PTKI dapat merancang kebijakan bimbingan yang lebih fleksibel dan mengoptimalkan teknologi digital sebagai sarana komunikasi dua arah yang partisipatif, bukan hanya alat kontrol administratif. Relasi kuasa mungkin tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, namun dapat dikelola agar bimbingan skripsi menjadi ruang akademik yang lebih dialogis, produktif, dan emansipatoris.
Identitas Riset
Judul: Power Relations in Social Interactions Between Lecturers and Students in Final Project Supervision at Islamic Religious Colleges
Peneliti: Firman, Andi Nurindah Sari, Ardianto, Mujahidin, Nurlingga Ibrahim, Nur Aisya
Institusi: Institut Agama Islam Negeri Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka / Referensi
1. Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Longman, London.
