Kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan, khususnya pesantren, terus menjadi sorotan publik. Berita-berita yang muncul di media massa tak jarang memicu perdebatan sengit tentang citra institusi, tanggung jawab, dan upaya perlindungan korban. Di satu sisi, media berfungsi sebagai corong informasi yang penting untuk meningkatkan kesadaran. Namun, di sisi lain, bagaimana para pengelola pesantren sendiri menafsirkan liputan media tersebut? Apakah mereka menerima narasi yang disajikan, atau justru memiliki "bacaan" yang berbeda?
Dalam riset berjudul "Reception of Parepare Islamic Boarding School Administrators to Sexual Violence Reporting" yang dilakukan oleh Mifda Hilmiyah, Alfiansyah Anwar, Yuli Asriani, Nurul Mujaddidah, dan Andi Khaerun Nisa, terungkap bagaimana para administrator pesantren di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, merespons pemberitaan kekerasan seksual. Studi ini menyoroti kompleksitas interpretasi media di tengah upaya menjaga reputasi lembaga pendidikan berbasis agama.
Ketika Citra Pesantren Terancam Stigma Kolektif
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) per Januari 2024 mencatat 25.587 kasus kekerasan seksual di Indonesia. Mayoritas korban adalah perempuan (79,8%) dan pelaku didominasi laki-laki (88,7%). Kelompok usia korban tertinggi berada pada rentang 13–17 tahun. Mirisnya, korban anak-anak mencapai 63,1% dari total kasus, dengan sebagian besar korban (perempuan 45,3% dan laki-laki 70,8%) adalah pelajar atau santri. Di Parepare sendiri, kasus kekerasan seksual juga terungkap, mulai dari pelecehan di rumah sakit hingga kasus yang melibatkan guru sekolah kejuruan swasta.
Kasus-kasus yang terjadi di lingkungan pesantren, seperti yang diberitakan di Batang, Jawa Tengah, pada April 2023 yang melibatkan manajer pesantren dengan 25 santriwati, atau dugaan pelecehan oleh seorang ustaz terhadap 20 santriwati di Maros, Sulawesi Selatan pada Desember 2024, menunjukkan bahwa lembaga pendidikan agama yang seharusnya menjadi tempat aman, justru bisa menjadi lokasi terjadinya kekerasan. Relasi kuasa hierarkis antara kiai/ustaz dan santri, ditambah dengan budaya patriarki serta "kultus individu", menciptakan celah bagi predator untuk beraksi.
Jaringan Pesantren Ramah Anak (JPPRA) pada Oktober 2024 bahkan menyoroti bagaimana citra pesantren yang seharusnya membentuk generasi berakhlak mulia, tercoreng oleh kasus-kasus kekerasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana pesantren, sebagai institusi yang memegang teguh nilai-nilai keagamaan, merespons narasi media yang sering kali cenderung menggeneralisasi.
Beda Bacaan, Beda Respons
Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan analisis resepsi berdasarkan kerangka Stuart Hall, yang mengidentifikasi tiga posisi pembacaan: dominan-hegemonik, negosiasi, atau oposisi. Peneliti mewawancarai empat administrator pesantren di Parepare untuk memahami bagaimana mereka menafsirkan berita kekerasan seksual.
1. Penolakan Generalisasi dan Stigma (Oppositional Reading)
Tiga administrator dari Pondok Pesantren Hidayatullah, Al-Mustakim, dan Zubdatul Asrar secara tegas menolak pembingkaian media yang cenderung menggeneralisasi pesantren sebagai tempat kekerasan seksual. Mereka menekankan bahwa kasus yang dilaporkan adalah tindakan individu, bukan representasi institusi secara keseluruhan.
Ustadz Abdan Syakur, Pengelola Pondok Pesantren Hidayatullah, berpendapat, "Kalau ada pondok pesantren seperti itu, berarti yang salah itu oknumnya... Tapi kalau kurikulumnya bagus, Islami, Ahlusunnah Waljama'ah, tidak bid'ah, terus salah satu pengurusnya berbuat seperti itu, tidak bisa disalahkan pondok pesantrennya, yang kita salahkan oknumnya." Pernyataan ini menunjukkan sikap defensif institusional, mencoba memisahkan identitas kolektif dari perilaku individu. Ini adalah strategi manajemen citra untuk melindungi reputasi lembaga dari generalisasi negatif.
Senada, Abdullah Hamza, Kepala Pondok Al-Mustakim sekaligus Ketua Forum Pesantren Parepare, menyatakan, "Pemberitaan seperti itu sebenarnya kebanyakan hoaks... banyak hoaks beredar... media sosial, baik media elektronik maupun cetak, cenderung menyudutkan pesantren secara keseluruhan... padahal mungkin hanya satu orang saja yang berbuat seperti itu... oknum itu." Istilah "hoaks" di sini bukan berarti berita palsu secara faktual, melainkan kritik terhadap cara media membingkai informasi yang dianggap bias. Ini menunjukkan bahwa administrator pesantren bukan penerima pasif, melainkan pembaca aktif yang mengevaluasi kredibilitas pesan media.
Direktur Pondok Pesantren Zubdatul Asrar, Dr. Abd. Hamid, juga mengungkapkan kekhawatiran serupa. Ia menegaskan bahwa kasus tersebut "hanya insiden terisolasi dan tidak mencerminkan dunia pesantren secara keseluruhan." Ia berharap media dapat melaporkan secara berimbang agar tidak menciptakan stigma negatif. Pernyataan ini juga diperkuat dengan klarifikasi bahwa pesantren yang dikelolanya khusus putra, dengan santriwati berada di lokasi terpisah, sebagai bentuk pertahanan diri dari potensi tuduhan publik.
Sikap penolakan ini merupakan bentuk oppositional reading terhadap wacana media. Para administrator mempertanyakan akurasi dan pembingkaian berita, menunjukkan bahwa audiens aktif dapat bertindak sebagai kritikus media, tidak hanya menerima mentah-mentah.
2. Pengakuan dan Negosiasi (Negotiated Reading)
Sebaliknya, ada pula posisi pembacaan yang lebih bernuansa, yaitu negotiated reading. Ini ditemukan pada pengelola Pondok Pesantren DDI Li Banat Ujung Lare. Sekretaris DDI Li Banat, Muh. Akib, mengakui realitas kasus kekerasan seksual di beberapa pesantren lain, namun menekankan komitmen pesantrennya untuk mencegah insiden serupa.
"Sebagai pengelola pesantren, kita tentu tidak senang... tapi realitasnya memang terjadi di pesantren-pesantren lain... harapan kami sebagai pengelola pesantren adalah selalu menghindari hal ini, apalagi kami di pesantren Li Banat ini khusus perempuan," ujarnya. Pernyataan ini menunjukkan kesadaran preventif dan pengakuan bahwa kasus serupa dapat menimbulkan kekhawatiran publik. Muh. Akib menerima fakta yang dilaporkan media, namun memodifikasinya dengan menekankan upaya pencegahan dan tanggung jawab institusi terhadap keamanan santriwati.
Literasi Media Berbasis Nilai Agama: Konsep Tabayyun
Para administrator pesantren juga menyoroti pentingnya verifikasi informasi, yang mereka sebut sebagai konsep tabayyun dalam Al-Qur'an. Ustadz Abdan Syakur menjelaskan, "Ada istilah dalam Al-Qur'an namanya tabayyun, artinya cek dulu. Betul tidak di situ diajarkan kekerasan seksual? Atau tidak?" Pendekatan ini menunjukkan praktik literasi media yang tidak hanya berdasarkan metode ilmiah, tetapi juga berlandaskan etika Islam. Mereka tidak langsung menerima isi berita, melainkan menuntut proses klarifikasi yang cermat, menjadikan nilai-nilai agama sebagai filter utama dalam menafsirkan media.
Dampak pada Kepercayaan Publik dan Solidaritas Institusi
Meskipun menolak generalisasi, para administrator pesantren mengakui bahwa liputan berita negatif dapat memengaruhi persepsi publik. Abdan Syakur dari Hidayatullah menyadari, "Pasti... kalau sampai diketahui dan dikenal oleh publik... jumlah santri akan otomatis berkurang... meskipun tidak bisa kita salahkan satu pesantren, tapi namanya pasti tercoreng." Pernyataan ini menunjukkan kesadaran akan risiko reputasi kolektif yang dihadapi lembaga pendidikan berbasis agama. Sebuah kasus tunggal yang terekspos media dapat memicu persepsi negatif yang meluas, memengaruhi seluruh ekosistem pesantren.
Namun, Abdullah Hamza dari Al-Mustakim yakin bahwa kepercayaan publik di Parepare tetap tinggi. "Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren masih 99%... setiap tahun ajaran baru, selalu terjadi ledakan santri yang mendaftar di pesantren-pesantren di Parepare... Kalau tidak percaya, pasti berkurang santrinya. Pesantren-pesantren penuh... itu bukti nyata," katanya. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman langsung masyarakat, tradisi keagamaan, dan peran pesantren sebagai pusat moral lebih berpengaruh daripada narasi media semata dalam membentuk kepercayaan.
Interaksi yang muncul dari liputan berita juga menciptakan rasa solidaritas di antara pesantren di Parepare. Mereka merasa perlu untuk bekerja sama dan saling mengingatkan untuk mencegah kasus serupa. Media, dalam hal ini, berfungsi sebagai katalisator integrasi sosial, mendorong para administrator untuk memperkuat sistem pengawasan internal dan strategi komunikasi yang transparan.
Langkah ke Depan: Membangun Lingkungan Aman dan Berimbang
Penelitian ini menyoroti bahwa media telah berhasil meningkatkan kesadaran tentang isu kekerasan seksual, namun interpretasi antara administrator dan santri bisa berbeda. Administrator cenderung terlibat dalam negosiasi atau oposisi, sementara santri cenderung bersifat dominan-hegemonik (tidak dibahas mendalam dalam riset ini, namun disebutkan sebagai temuan lain). Pemahaman tentang resepsi komunitas pesantren ini krusial agar media dapat lebih sensitif dalam melaporkan isu kekerasan seksual, dan pesantren dapat lebih proaktif dalam menjaga kepercayaan publik.
Ke depan, program literasi media berbasis nilai-nilai agama, seperti tabayyun, perlu diinstitusionalisasikan agar administrator, pengajar, dan santri mampu menilai akurasi berita secara kritis dan etis. Media massa diharapkan menerapkan jurnalisme yang berimbang dan sensitif, menghindari generalisasi yang dapat menstigmatisasi pesantren sebagai institusi keagamaan. Kementerian Agama dan pemerintah daerah juga perlu memperkuat pelatihan pencegahan kekerasan seksual. Riset lanjutan dapat mengeksplorasi perspektif santri dan wali murid secara lebih mendalam untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang penerimaan publik dan efektivitas kebijakan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
Identitas Riset
Judul: Reception of Parepare Islamic Boarding School Administrators to Sexual Violence Reporting
Peneliti: Mifda Hilmiyah, Alfiansyah Anwar, Yuli Asriani, Nurul Mujaddidah, Andi Khaerun Nisa
Institusi: IAIN Parepare (untuk Hilmiyah, Anwar, Asriani, Mujaddidah), International Islamic University Malaysia (untuk Nisa)
Tahun: 2025
DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI
Ade Nasihudin Al Ansori. (7 Oktober 2024). Declaration of Child-Friendly Islamic Boarding Schools: Creating a Safe and Violence-Free Environment! https://www.liputan6.com/health/read/5740860/deklarasi-Islamic Boarding School -ramah-anak-wujudkan-lingkungan-aman-dan-bebas-kekerasan?page=2.
