Di ruang kelas, angka-angka berdiri kaku, tegak lurus di garis bilangan. Mereka berbeda-beda nilainya. Ada yang besar, ada yang kecil. Tapi ketika guru menuliskan “x = y”, seolah-olah mereka diundang masuk ke dalam satu titik temu, bukan karena identik, tapi karena setara dalam konteks tertentu. Di situlah geometri hati bekerja: menyatukan yang berbeda dalam ruang persamaan.
Kita terlalu sering mendidik anak-anak dengan ketegangan rumus dan kaku logika. Seolah matematika adalah soal benar dan salah yang mutlak, tanpa ruang dialog. Padahal, jika kita renungi, tak ada persamaan tanpa perbedaan. Justru karena x bukan y, maka keduanya bisa saling mencari nilai yang membuat mereka setara. Seperti manusia, bukan? Kita semua tidak sama, tapi bisa berdiri dalam kesetaraan jika hati kita saling menerima.
Kurikulum berbasis cinta hadir bukan untuk melunakkan nalar, tapi untuk melembutkaita terlalu sering mendidik anak-anak dengan ketegangan rumus dan kaku logika. Seolah matematika adalah soal benar dan salah yang mutlak, tanpa ruang dialog. Padahal, jika kita renungi, tak ada persamaan tanpa perbedaan. Justru karena x bukan y, maka keduanya bisa saling mencari nilai yang membuat mereka setara. Seperti manusia, bukan? Kita semua tidak sama, tapi bisa berdiri dalam kesetaraan jika hati kita saling menerima.
Kurikulum berbasis cinta hadir bukan untuk melunakkan nalar, tapi untuk melembutkan cara kita menyampaikannya. Guru matematika yang mengajar dengan cinta akan tahu: angka tidak hanya memecahkan soal, tapi juga membentuk sikap. Saat ia mengajarkan deret, ia sejatinya sedang menanamkan pengharapan—bahwa sesuatu bisa tumbuh perlahan, dari satu ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Saat ia mengajarkan himpunan, ia sedang mengajarkan inklusi. Dan ketika ia mengajarkan pertidaksamaan, ia sedang melatih anak-anak menerima bahwa tidak semua harus sama, tapi semua harus dihargai.
Geometri hati tidak membutuhkan kurva atau vektor. Ia bekerja dalam ruang batin yang hanya bisa dijangkau jika kita mengajar dengan kasih. Seperti titik dan garis dalam bangun datar, anak-anak butuh dihubungkan dengan pengertian, bukan dipaksa sejajar. Mungkin bilangan-bilangan itu berbeda, tapi hati yang mencintai akan selalu menemukan cara agar mereka tetap punya ruang untuk bersanding.
Bukankah pada akhirnya, tugas guru bukan sekadar mencetak jawaban, tetapi membimbing setiap jiwa menuju persamaan dalam keberbedaan? Maka, mari kita ubah ruang kelas jadi ruang geometri hati, di mana cinta menjadi titik pusat, dan segala yang berbeda, menemukan makna untuk saling menyatu.