Seorang kyai besar dari Jakarta pernah menyentil. “Ini rektor atau paranormal?” katanya, melihat ada seseorang membawa sebotol air ke ruang rektorat. Bukan untuk diminum sendiri, tapi untuk didoakan.
Pemandangan seperti ini bukan hal asing di IAIN Parepare. Ada yang datang membawa anaknya yang sakit, meminta dibacakan doa. Ada pasangan suami-istri yang bertahun-tahun menanti keturunan, lalu datang dengan harapan besar. Ada pula yang sekadar ingin meminta nasihat, tapi ujung-ujungnya malah pulang dengan terapi spiritual.
Rektor biasanya sibuk dengan urusan akademik dan birokrasi. Tandatangan surat, rapat senat, memikirkan akreditasi, menghadiri undangan. Tapi di sini, ada tambahan tugas yang tidak tertulis dalam kontrak perjanjian kinerja: menjadi tempat orang mencari keberkahan.
Dan anehnya, banyak yang terbantu. Ada yang sakit dan merasa lebih baik setelah diterapi. Ada yang bertahun-tahun menunggu anak, lalu akhirnya dikaruniai keturunan. Ada yang sekadar datang dengan hati gelisah, lalu pulang dengan hati lebih tenang.
Apakah ini aneh? Bisa jadi. Tapi dalam masyarakat kita, seorang pemimpin sering kali lebih dari sekadar pengambil kebijakan. Ia adalah tempat bertanya, tempat mengadu, bahkan dalam hal-hal yang di luar urusan akademik.
Prof. Hannani tidak menolak siapa pun yang datang. Tidak pula memasang tarif atau membuka praktik seperti tabib. Ia hanya melakukan apa yang ia bisa: membantu dengan doa, dengan pijatan sederhana, dengan kata-kata yang menenangkan. Setidaknya, menemani duduk dan bercakap-cakap, sudah bisa mengurangi beban hidup, katanya.
Dan kalau masih ada yang bertanya, “Ini rektor atau paranormal?”
Jawabannya mungkin sederhana: ini rektor yang kebetulan juga bisa membantumu, dengan cara yang tidak tertulis dalam kurikulum manapun.
Parepare, 2 Ramadhan 1446 H.
mh
