Prof. Hannani sering berbicara tentang lego-lego. Bukan sekadar bagian dari rumah panggung Bugis-Makassar, tapi sebagai filosofi yang lebih luas. Ia bukan hanya tentang arsitektur, tetapi juga cara hidup, cara berpikir, dan—lebih dari itu—cara membangun dinamika sosial, termasuk di dunia akademik.
Dalam rumah Bugis-Makassar, lego-lego adalah beranda yang menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan privasi. Di sanalah tuan rumah menyambut tamu tanpa harus langsung membawa mereka ke dalam. Di sanalah percakapan ringan berubah menjadi diskusi mendalam.
Ruang ini mengajarkan bahwa ada jeda antara yang publik dan yang personal, bahwa tidak semua harus langsung masuk ke dalam inti. Ada ruang untuk mengenal, untuk menguji, sebelum melangkah lebih jauh.
Di kampus, konsep ini hidup dalam bentuk yang berbeda. Ia ada di selasar fakultas, di gasebo, kursi tunggu panjang gedung dosen, kursi-kursi taman, di bangku panjang dekat masjid.
Tempat-tempat ini adalah lego-lego akademik—ruang perantara di mana mahasiswa dan dosen bertemu dalam suasana yang lebih santai. Bukan ruang kelas yang formal, bukan pula kantor yang penuh birokrasi. Tapi di sanalah gagasan berkembang, pemikiran diuji, dan keberanian berbicara mulai dibentuk.
Kampus yang memahami filosofi lego-lego tahu bahwa belajar tidak hanya terjadi dalam kelas. Ada hal-hal yang hanya bisa dipelajari dalam perbincangan santai, dalam diskusi tak terstruktur, dalam interaksi yang tidak kaku.
Prof. Hannani sering mencontohkan bagaimana di ruang-ruang semacam ini, mahasiswa bisa menemukan kepercayaan diri mereka. Dosen tidak sekadar menjadi pemberi materi, tetapi juga mitra dalam berpikir.
Jika rumah Bugis kehilangan lego-lego, ia kehilangan keterbukaannya. Jika kampus kehilangan lego-lego akademiknya, ia kehilangan dinamika intelektualnya.
Karena itu, menjaga lego-lego—baik dalam tradisi maupun dalam pendidikan—bukan sekadar melestarikan budaya. Ia adalah menjaga keseimbangan. Antara keterbukaan dan batas, antara kebebasan dan adab, antara belajar di dalam kelas dan belajar di luar ruang.
Maka pertanyaannya: masihkah kita punya lego-lego? Ataukah dunia semakin menutup ruang-ruang perantara ini, menggantinya dengan interaksi yang serba instan, tanpa jeda untuk berpikir dan merenung?
Hari ini, ketika kampus mulai lebih banyak berbicara soal efektivitas, efisiensi, dan digitalisasi, pertanyaannya sederhana: apakah masih ada ruang lego-lego dalam dunia akademik?
Ataukah semuanya sudah tergantikan oleh ruang virtual—di mana mahasiswa berdiskusi lewat chat, mengomentari unggahan dosen di forum, dan kehilangan sentuhan obrolan yang sesungguhnya?
Lego-lego bukan sekadar ruang fisik. Ia adalah cara hidup. Jika kampus ingin tetap menjadi tempat lahirnya pemikir besar, lego-lego harus tetap ada.
Sebagai ruang antara. Sebagai ruang diskusi. Sebagai tempat di mana gagasan bisa tumbuh tanpa harus selalu dicatat dalam jurnal ilmiah.
Parepare, 13 Ramadhan 1446 H.